spot_img

Puasa Korupsi Hibah

Penulis: Eko Supriatno. Beliau adalah Pembina Future Leader for Anti Corruption (FLAC) Regional Banten.

SEBAGAI umat Islam kita patut bersukur karena bisa dipertemukan kembali dengan tamu agung, yaitu bulan suci Ramadan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadan kali ini cukup semarak dengan berbagai ritual ibadah. Selain puasa dan salat wajib lima waktu, juga ada salat sunah tarawih berjamaah, tadarus Al-qur’an, zakat, dan iktikaf di masjid, mushala, atau surau.

Tiap malam selama Ramadan, hampir semua masjid dan musala penuh sesak oleh umat Islam yang beribadah.

Puasa kali ini hadir di tengah kondisi Banten yang belum sembuh dari berbagai krisis, terutama krisis kejujuran.

Baca Juga

A. Muhaimin Iskandar dalam bukunya Inspiring Ramadhan (2010) menjelaskan, pada hakikatnya puasa bukan terletak pada menahan haus dan lapar, tetapi pada kemampuan untuk mentransendensikan puasa agar menjadi umat yang bertakwa dalam arti yang sesungguhnya, yaitu komitmen hidup untuk selalu memperjuangkan kebenaran, kejujuran, dan nilai-nilai keadilan.

Puasa yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan merupakan sebuah upaya untuk mengantarkan manusia pada derajat takwa yang sebenarnya. Puasa adalah media paling efektif bagi seluruh umat manusia untuk menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter luhur.

Sebab, bulan puasa akan mendidik kita untuk kembali pada fitrah. Fitrah dari segala perbuatan yang dilarang oleh agama termasuk praktik korupsi. Bagi penulis, korupsi sesungguhnya adalah ‘tragedi kemanusiaan’.

Sebuah ironi besar lantas menampar ‘kekhusuan puasa’ dan wajah Islam di negeri ini. Kurang lebih 90% penduduk Indonesia adalah muslim.

Sementara Banten adalah provinsi dengan jumlah penduduk muslim terbesar di Indonesia yaitu 94,67% (Sumber BPS 2020) masih saja ditahbiskan sebagai daerah terkorup dengan predikat nyaris sempurna. Padahal, setiap tahun selama sebulan penuh mereka dilatih menahan diri dan mengasah jiwa melalui ibadah puasa.

Ya, Indonesia dan Banten belum dapat melepas predikat sebagai negara dan daerah dengan tingkat korupsi tinggi. Korupsi bahkan cenderung meluas dan ‘berjamaah’ melibatkan pejabat dari berbagai tingkatan.

Karena mayoritas penduduk muslim, dapat dipastikan bahwa mayoritas pelaku korupsi adalah beragama Islam. Melihat fenomena ini, tak berlebihan bila dikatakan bahwa tak ada korelasi antara kemarakan kegiatan ibadah dan rendahnya tingkat korupsi. Padahal mestinya berbanding terbalik: makin marak kegiatan ibadah, makin rendah tingkat korupsi.

Foto: Ilustrasi korupsi (Google/Istimewa).

Yang tidak bisa dimengerti, mengapa tindak pidana korupsi, justru terjadi di ‘daerah’ sebagai mayoritas warga yang beragama islam?

Perintah Allah Swt. untuk tidak mencuri, mengambil milik orang lain, atau korupsi, yang ada dalam Al-Qur’an tampaknya tak punya pengaruh lagi.

Meski nama Allah Swt. tiap saat disebut, tapi tanpa malu, korupsi juga terus dilakukan. Malah, seolah generasi baru koruptor tiada habis-habisnya bermunculan, meski sebagian koruptor kakap sudah ditangkap dan dipenjara.

Ini menjadi refleksi dan tantangan tersendiri bagi umat Islam, terutama ulama dan umara. Kembali ke Ramadan, tujuan berpuasa adalah agar kita menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah Ayat (183) yang artinya:

“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa’’.

Untuk mencapai derajat takwa, kita meninggalkan larangan-Nya dan mengerjakan perintah-Nya, serta beramal saleh atau mengerjakan kebaikan. baik menyangkut kesalehan individual, yakni hubungan kita dengan Allah atau hablum minallah, dan kesalehan sosial, yakni hubungan antarmanusia atau hablum minannas.

Ritual keagamaan idealnya harus membuahkan perilaku terpuji, bukan buruk dan jahat seperti korupsi. Sayang, ritual keagamaan tidak menghasilkan buah perubahan hidup secara konkret. Banyak yang hanya mencari pujian agar citranya terdongkrak. Tindak korupsinya tidak ketahuan.

Puasa bagi yang tersangkut korupsi masih sebatas menghasilkan kesalehan individual, belum kesalehan sosial. Kesalehan individual ini pun masih bias atau fatamorgana, karena sejatinya dengan melakukan korupsi, berarti kita tidak takut kepada Allah. Kita tidak takut melakukan dosa.

Bagaimana dengan kesalehan sosial? Bagi yang tersangkut korupsi, masih jauh. Pasalnya korupsi adalah antisosial. Korupsi merupakan merampas hak orang lain, mengambil uang yang bukan miliknya. Lebih tegas lagi uang negara, uang yang sebagian besar berasal dari pajak rakyat.

Foto: Ilustrasi korupsi dana hibah Ponpes (Google/Istimewa).

Korupsi Hibah Bansos Ponpes

Menurut tokoh pendiri Banten sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (​PBMA) KH. Embay Mulya Syarief, jika terbukti ada tindakan korupsi dana hibah Ponpes, perbuatan itu sangat memalukan baik bagi pemerintahan maupun umat muslim di Banten.

Ya, bagi penulis Banten ini begitu ahli menghancurkan diri sendiri lewat korupsi. Bayangkan, lewat simbol-simbol agama yang meriah di luar, semarak pula korupsi di semua lini kehidupan.

Korupsi sesungguhnya merupakan masalah paling besar dan mendesak dituntaskan karena sangat menghambat upaya meraih kemajuan dan kebaikan bersama (bonum commune).

Lagi pula, korupsi semakin pelik dan rumit karena ‘berjamaah’. Mereka bahkan tega mempermainkan kepercayaan rakyat dan menistakan agama.

Maka, publik sangat mendukung langkah Kejaksaan Tinggi Banten untuk mengusut kasus dugaan korupsi dana bantuan Pondok Pesantren tahun anggaran 2020 senilai Rp 117 miliar yang tengah menjadi sorotan publik. Kejati telah menetapkan satu orang tersangka kasus tersebut.

Seperti kita, sebelumnya Gubernur Banten Wahidin Halim juga sangat kesal ketika menanggapi kasus korupsi dana bantuan Pondok Pesantren (8/4/2021). Wahidin Halim menganggap kasus ini memberi efek buruk semua lini.

Infonya, Wahidin Halim (WH) sendiri yang melaporkan program bantuan dana ponpes atau pondok pesantren di Banten tahun anggaran 2020 ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten. Langkah pelaporan dilakukan dalam rangka memberi penegasan terhadap sikap Pemprov Banten. Pihaknya tak ingin membuka ruang yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu yang memiliki niat untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Diakuinya, untuk memberangus tindak pidana korupsi memang tak mudah. Diperlukan sebuah kerja keras, komitmen, dan kesungguhan dalam rangka membangun integritas. WH juga menjamin, tidak akan memberi pembelaan jika yang terbukti melakukan penyelewengan adalah dari jajarannya.

Bagi penulis, inilah momentum dan sudah saatnya pemerintah daerah untuk berpikir strategis agar dana hibah benar-benar menjadi penunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah sesuai urgensi dan kepentingan daerahnya.

Tak berlebihan juga, penulis apresiasi terhadap sebuah lembaga yaitu Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (ALIPP) yang membawa persoalan ini ke Kejati Banten untuk melakukan tindakan hukum terhadap para terlapor yang diduga melakukan korupsi.

Baca Juga

Direktur Eksekutif ALIPP Uday Suhada sendiri yang langsung menyerahkan laporan dugaan korupsi hibah Ponpes di Banten ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten dan meminta kejaksaan tidak tebang pilih dan harus menuntaskan penanganan kasus tersebut.

Ini harus kita support dan dukung, karena pada masa lalu, gara-gara berani mengungkap kasus seperti ini, para aktivis antikorupsi dikriminalisasi dan coba terus diperlemah dari berbagai sisi. Jelas upaya Banten untuk meraih kemajuan dan disegani hanya akan angan-angan, jika civil society sebagai lembaga kontrol sosial andalan pemberantasan korupsi, akhirnya dimandulkan, apalagi dipandang sebelah mata.

Momentum Berantas Korupsi

Membidik korupsi hibah bansos pondok pesantren adalah lemahnya aspek pengawasan dalam proses perencanaan, penganggaran, dan realisasi anggaran hibah dan bansos. Memang agak membingungkan!

Mengharapkan pengawasan internal dari inspektorat, itu hanya sia-sia manakala eksekutif justru ikut dalam penyelewengan dana hibah dan bansos tersebut.

Mengharapkan pengawasan DPRD pun sia-sia, karena bisa jadi wakil rakyat juga telah ikut menjadi bagian dari dana hibah dan bansos.

Kesimpulannya adalah masyarakatlah yang harus terus mengawal kasus ini. penulis pikir kasus ini akan banyak melibatkan para pejabat, termasuk banyak pejabat tinggi aktif.

Kita support dan berharap Kejaksaan Tinggi Banten untuk semangat dan serius dalam mengusut tuntas kasus ini. Sebab, andai kata benar ditemukan dan banyak yang terlibat pihak pejabat Pemprov Banten, maka perlu dikembangkan jangan-jangan modus yang sama juga terjadi di banyak kasus-kasus yang lain.

Foto: Kantor Kejaksaan Tinggi Banten (Google/Istimewa).

Publik Banten sungguh menaruh harapan pada Kejati. Untuk itu, inilah ‘momentum berantas korupsi’ melalui kejaksaan di Banten untuk bisa mendorong agar masyarakat Banten lebih proaktif melakukan pengamatan di lingkungannya masing-masing. Bilamana ditemukan indikasi adanya dugaan korupsi Bansos di daerahnya, dapat segera melaporkan kepada aparat hukum.

Momentum Puasa

Puasa dengan nuansa religius yang khusyuk, rasa lapar yang menghadirkan empati, akan membawa kita pada kesalehan sosial sekaligus kesadaran bahwa manusia adalah hamba yang setiap jengkal perilakunya akan dimintai pertanggungjawaban.

Momentum puasa sesungguhnya membawa hikmah yang luar biasa. Sayangnya justru umat Islam sendirilah yang mendekonstruksi dengan mengorup makna dan keagungannya.

Meminjam Sabda Rasulullah, betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa pun, melainkan lapar dan dahaga.

Akibatnya, kita terjebak sekadar pada gempita ritualitas semata. Namun gagal beroleh lautan hikmah darinya.

Maka, Ramadan kali ini hendaknya kita jadikan ladang untuk menanam kesalehan individual dan kesalehan sosial dalam arti sebenar-benarnya. Dengan berpuasa, salat fardu, tarawih, tadaru,s dan iktikaf kita dapat memupuk kesalehan individual. Dengan berzakat kita dapat memupuk kesalehan sosial.

Pendek kata, puasa jangan hanya menghasilkan lapar dan dahaga. Tanpa upaya membersihkan hati dan meninggalkan perilaku korup. Dengan berpuasa, kita pupuk kesalehan individual sekaligus kesalehan sosial.

Dengan berpuasa, kita berusaha menjadi pribadi yang bertakwa. Bila sudah begini, insya Allah Indonesia dan Banten akan terbebas dari korupsi.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart