Oleh: Eko Supriatno*
TANGGAPAN Gubernur Banten atas apa yang dibacakan Wakil Gubernur Andika Hazrumy terlihat ‘kurang begitu respek’ terhadap Raperda usulan DPRD Banten. Terkhusus tentang Raperda Fasilitasi Pondok Pesantren pada 18 Maret 2021.
Mari simak Bahasa Gubernur Banten tentang tanggapan Raperda:
“Raperda tersebut harus dikaji ulang agar tidak bertentangan dengan aturan di atasnya. Terlebih, jangan membuat peraturan-peraturan daerah yang nanti malah menahan kontribusi pelayanan daerah. Hal itu malah akan menjerat diri sendiri”.
Menurut penulis ini adalah logika yang aneh!
Seharusnya, kehadiran Perda Pondok Pesantren ini dijadikan momentum menunaikan janji politik Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pada saat kampanye dulu.
Baca Juga
- Anggota DPRD Banten Sosialisasi Raperda Pondok Pesantren
- Gerakkan Ekonomi Nahdliyin, LPNU Tangerang Gelar Musyawarah Kerja
Bukankah Gubernur dan Wakil Gubernur Banten terpilih periode 2017-2022, Wahidin Halim dan Andika Hazrumy (WH-Andika) berkomitmen untuk ‘berlari kencang’ dalam merealisasikan janji-janji politik. Terutama perjuangan untuk ‘memfasislitasi’ Pondok Pesantren?
Secara filosofis, bukankah dalam moto dan lambang Provinsi Banten sangat jelas tergambar dan tertulis Iman dan Taqwa dengan latar belakang menara dan Kaibon. Hal itu menunjukkan karakteristik sosial budaya yang religious, terutama Banten sebagai kota Pondok Pesantren?
Saran penulis, seharusnya Gubernur dan Wakil Gubernur Banten coba melihat dan belajar ke Jawa Barat. Di mana Pemprov Jabar telah resmi mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pesantren menjadi Peraturan Daerah (Perda).
Jawa Barat akhirnya mendapatkan apresiasi dari Kementerian Agama. Lantaran Jabar adalah provinsi pertama (di Indonesia) yang memiliki perda untuk pesantren.
Kehadiran Perda Pesantren ini membuat ribuan sekolah keagamaan berbasis pondok di Jabar bisa didukung dan dibantu secara resmi. Sehingga visi Jabar Juara Lahir Batin bisa terwujud tanpa diskriminasi.
Memang ‘keren’ Jabar ini, tidak ada istilah peraturan daerah yang akan menjerat diri sendiri. Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar dibuat cepat. Provinsi itu ‘berlari kencang’ tidak ada jeda terlalu lama dalam menjembatani perda ke dalam hal teknis yang dibutuhkan.
Menjadi Ironi
Pondok Pesantren (Ponpes) merupakan lembaga pendidikan khas Indonesia, tidak terkecuali Banten.
Sejarah dan masyarakat Banten yang khas adalah pesantren. Karena cita rasa Banten, maka pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan yang memiliki keterikatan dan keterkaitan historis dengan sejarah perkembangan Islam di Banten sejak abad kehidupan para Wali Songo hingga saat ini.
Pondok Pesantren adalah saksi dan pelaku sejarah bagi perjuangan. Serta jatuh-bangunnya sang Tanah Jawara dalam mengukuhkan eksistensi ke-Bantenannya.
Sejarah eksistensi Provinsi Banten tidak dapat dipisahkan dengan pesantren. Bahkan, pesantren menjadi salah satu icon Banten. Sehingga pesantren ‘dinobatkan’ sebagai salah satu warisan pendidikan dan kebudayaan masyarakatnya.
Sejak awal penyebaran Islam di Banten, pesantren didirikan sebagai pusat informasi keislaman bagi masyarakat Banten. Sekaligus juga tempat bermusyawarah bagi masyarakat lokal demi mencari solusi terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Keberadaan pesantren di Banten dari dulu hingga sekarang telah banyak melahirkan para intelektual lokal. Kemudian memberi peran aktif dalam perkembangan dan pengembangan Banten.
Maka menjadi ‘tidak wajar’ jika keberadaan Ponpes, terkhusus pesantren salafiyah tidak tersentuh secara pasti dan konkret oleh APBN atau APBD. Sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab negara atau pemerintah daerah.
Pada faktanya, di saat seluruh lembaga pendidikan mendapatkan alokasi dana dari APBN atau APBD untuk pengembangan dan pemberdayaan, Ponpes hanya mendapat bantuan yang secara ekstrem-nya berdasarkan “Iba dan kasihan”. Bukan karena faktor komitmen memajukan keberadaan pesantren secara sistematis. Atau menunggu pengelola pesantren mengajukan bantuan dan itupun sifatnya tidak menentu.
Baca Juga
- Jalan Bijak Menyoal ‘Hakekok Balakasuta’
- GEMA Mathla’ul Anwar Kecam Aksi Terorisme di Gereja Katedral Makassar
Inilah yang seharusnya menjadi ironi masyarakat Banten terhadap pesantren. Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memiliki sejarah panjang bagi terbentuknya Republik Indonesia dan Provinsi Banten, seharusnya pesantren mendapatkan perhatian sebagaimana yang diperoleh oleh lembaga pendidikan pada umumnya.
Relevansi signifikansi
Menurut penulis, ada beberapa relevansi dan signifikansi Raperda Pondok Pesantren di Banten, di antaranya:
Pertama, kenapa dibutuhkan peraturan daerah (perda) tentang pesantren di Banten? Karena Banten merupakan provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak di Indonesia.
Kementerian Agama mencatat ada 26.973 pondok pesantren yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jawa Barat memiliki jumlah paling banyak, yakni 8.343 pondok pesantren. Lalu, diikuti oleh Banten, memiliki jumlah pesantren yang tercatat sekitar 5000 pesantren dengan jumlah santri sekitar 200 ribu orang. Jawa Timur dan Jawa Tengah di kisaran 3-4 ribu Ponpes.
Kedua, amanah UU Nomor 18 Tahun 2019. Perlu dipahami! Raperda Fasilitasi Pondok Pesantren itu telah ditandai dengan dimana pemerintah pusat telah mengundangkan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Untuk itu, bagi pemerintah daerah, seharusnya UU ini menjadi dasar hukum untuk mendukung dan memfasilitasi pemberdayaan pengembangan pesantren.
UU No 18 Tahun 2019 telah menjadi instrumen regulative. Sekaligus klausul imperatif bagi pemerintah untuk mengafirmasi dan memfasilitasi eksistensi pesantren.
Sebab, UU No 18 Tahun 2019 pasal 46 ayat 1–3 maupun pasal 48 ayat 3 menyinggung tentang peran serta pemerintah daerah dalam pengembangan pesantren. Dengan demikian, terdapat pasal-pasal yang bermakna perintah atributif dari UU tersebut kepada pemerintah daerah untuk menyusun perda yang terkait dengan pesantren.
Ketiga, memiliki banyak manfaat. Raperda ini memiliki manfaat serta tujuan dalam hal memfasilitasi Ponpes yang berada di Wilayah Banten. Dengan adanya UU No 18 Tahun 2019, kesenjangan antara sekolah umum dan pesantren semakin menyempit. Meskipun pesantren memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan lembaga pendidikan lainnya, ijazah lulusan pesantren akan diakui setara dengan ijazah lulusan sekolah umum.
Keempat, momentum dan monumental. Pandangan penulis, seharusnya perda pesantren ini benar-benar menjadi perda yang monumental di Provinsi Banten dalam hal memberikan dukungan serta pengakuan penuh terhadap pesantren. Momentum kebangkitan pesantren secara genuine, khususnya soal anggaran. Pesantren menjadi setara dengan lembaga pendidikan formal lain.
Momentum ini harus dimanfaatkan pesantren untuk menyempurnakan manajemen. Banyak hal di pesantren yang harus mendapat perhatian pemerintah. Salah satunya adalah banyaknya karya ilmiah, teknologi pondok pesantren yang belum tersebar luas ke masyarakat. Di antaranya manajemen dakwah, kebersihan pondok melalui pengelolahan sampah dengan teknologi tepat guna, mendaur ulang sampah di Ponpes dan ketersediaan air bersih.
Asumsi penulis, ada 3 (Tiga) fungsi Ponpes yang harus dioptimalkan, yakni soal pendidikan, dakwah dan pemberdayaan pondok pesantren. Raperda ini tujuan utamanya adalah untuk memperkuat dua hal yakni dakwah dan pemberdayaan pondok pesantren.
Sementara itu, untuk fungsi dakwah, pesantren telah terbukti secara konsisten berdakwah di jalur Islam rahmatan lil alamin serta menjadi benteng kukuh untuk membendung ideologi-ideologi anti-Pancasila.
Kemudian, dalam konteks pemberdayaan masyarakat, banyak pesantren di Banten yang mengembangkan BMT (baitul mal wat tamwil) atau lembaga keuangan mikro yang bersinergi dengan masyarakat.
Urgensi Perda
Problematika pesantren terkhusus pesantren tradisional di Banten, sangatlah mempunyai tantangan yang multidimensi.
Diantaranya mengenai kurikulum, metode pembelajaran, sarana prasarana, dan administrasi.
Permasalahan kurikulum di pesantren terkait dengan pemberian pelajaran umum yang tidak efektif. Barangkali sekarang ini praktis semua pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Tetapi tampaknya dilaksanakan secara setengah-setengah, sekadar memenuhi syarat atau agar tidak dinamakan kolot saja.
Kelemahan pendidikan pesantren yang lain adalah suasana pembelajaran yang pasif. Hal ini masih banyak dijumpai di pesantren yang salah satu sebabnya adalah minimnya kreativitas dan juga inovasi guru terhadap pengembangan metodologi pembelajaran aktif. Sehingga membuat daya kritis santri menjadi lemah.
Maka agar nalar kritis tumbuh di pesantren, para pendidiknya harus mau melakukan formulasi pola pendidikan dengan menyertakan metodologi modern. Oleh karena itu, dengan semangat ‘Urgensi Perda Pondok Pesantren’, nantinya pesantren-pesantren akan segera membenahi dirinya. Menerapkan kaidah-kaidah manajemen yang berlaku dalam rangka optimalisasi administrasi.
Ke dapan, pesantren salafiyah di Banten bisa sebagai pusat pengembangan ilmu ke-Islaman yang berkarakter ke-Bantenan.
Hal ini sangat penting bagi tatanan kebangsaan dimasa mendatang bagi Provinsi Banten. Dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia yang multi kultural etnis dan agama.
Urgensi Perda Pondok Pesantren bertujuan agar dapat menjadi pendidikan alternatif yang terjangkau oleh masyarakat kurang mampu. Dengan tidak memprioritaskan biaya tinggi dan mahal. Salafiyah dapat menjadi wadah pendidikan yang turut mencerdaskan bangsa dan masyarakat kurang mampu secara finansial. Sehingga dapat membantu dan menjadi partner pemerintah dalam upaya peningkatan kecerdasan masyarakat.
Berdasar segenap fungsi dan potensi yang dimiliki pesantren tersebut, untuk itu seyogyanya seluruh elemen keagamaan punya kewajiban untuk mendukung pengembangan pesantren-pesantren di Banten demi percepatan pembangunan daerah.
Caranya, fraksi-fraksi di DPRD Banten agar terus ikhtiar keukeuh untuk memanfaatkan hak inisiatif DPRD untuk mengajukan usulan raperda tentang pesantren di Banten. Tujuannya, fungsi pesantren yang begitu besar bagi pembangunan nasional maupun daerah tersebut mendapatkan rekognisi, afrimasi, dan fasilitasi dari Pemerintah Provinsi Banten.
Pemprov Banten sangat urgen membutuhkan payung hukum dalam bentuk Perda tentang Pondok Pesantren dalam upaya mengoptimalkan pemberdayaan pesantren dan para santri di Banten. Perda tersebut dimungkinkan terkait dengan kearifan lokal mengenai keberadaan pesantren tersebut.
Pemprov Banten kedepan, segera menggagas membuat lembaga atau organisasi resmi untuk mewadahi perwakilan-perwakilan dari Ponpes yang ada di Banten. Organisasi ini diharapkan nantinya menjadi think tank (wadah pemikir) Pemerintah Provinsi Banten dalam melaksanakan amanat Perda Pesantren.
Pemprov Banten harus sedikit punya inovasi program unggulan terkait pesantren maupun keumatan. Misal One Pesantren One Product (OPOP), Satu Desa Satu Hafidz (Sadesha), Magrib Mengaji, hingga English for Ulama.
*Penulis adalah Mahasantri di Pesantren Riyadlul Awamil Cangkudu dan Penekun Kajian di Forum Silaturahmi Bangsa.