Oleh: Eko Supriatno*
ALIRAN Hakekok Balakasuta telah menggemparkan kembali masyarakat Pandeglang. Tepatnya di Desa Karang bolong, Kecamatan Cigeulis.
Hakekok Balakasuta adalah kelompok ajaran spiritual asal Kecamatan Cigeulis. Salah satu ritualnya ialah mandi bertelanjang tubuh bersama, bertujuan untuk menyucikan diri.
Munculnya aliran Hakekok Balakasuta di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten bukan sesuatu yang baru.
Penulis mencoba melihat dari sudut pandang sosial, mudahnya masyarakat terpengaruh sebuah pemahaman baru tidak terlepas dari tekanan ekonomi dan sosial yang tengah dihadapi. Tekanan tersebut dengan sangat mudah mengubah pemikiran seseorang.
Baca Juga
- Tidak Sesuai Izin Lokasi, Tiga Perusahaan Dipanggil Dewan
- Tubagus Falak, Ulama Kelahiran Banten yang Layak Jadi Pahlawan Nasional
Masyarakat kita ini kan menghadapi banyak sekali masalah. Apalagi bicara Pandeglang. Sebuah Kabupaten dengan angka kemiskinan tertinggi di Provinsi Banten, mencapai 10,25 persen dari jumlah penduduknya, sekitar 1.2 juta jiwa. Kondisi ini menjadi sangat ironis, mengingat Kabupaten Pandeglang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah ruah.
Dari perspektif sosiologi, fenomena Hakekok Balakasuta merupakan respons atas perubahan sosial yang dilandasi oleh keagamaan yang rapuh, frustasi, kecewa, kemiskinan, bentuk pelarian dari beban sosial dan salah kaprahnya dalam memahami agama.
Jadi ketika ada orang yang tidak jelas tetapi bisa menghadirkan harapan baru, bisa memberi jalan, memberi kehidupan yang lebih baik kepada mereka, ya masyarakat dengan sangat mudah mempercayainya.
Jadi ini sesungguhnya adalah persoalan kehidupan yang lebih baik. Hakekok Balakasuta itu menghadirkan harapan-harapan indah yang orang kemudian bertentangan dengan agama. Bagi orang yang susah itu juga mungkin dalam keadaan terpaksa mengikutinya karena ada harapan baru.
Kemunculan Hakekok Balakasuta sebagai aliran agama (religious subculture) yang menyimpang tentunya akan memicu konflik internal antarpenganut agama (conflict from within).
Apabila dilihat dari perspektif Teologi Sosial, tentu saja telah mendistorsi budaya setempat. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya:
Pertama, pengaruh berbagai krisis yang melanda. Misal imbas Covid-19 yang tidak kunjung selesai, memberikan tekanan psikologis sehingga urang Banten cepat frustasi dan bertindak tidak rasional.
Kedua, pengaruh modernisasi yang mendorong urang Banten individualistis. Artinya, tidak memperhatikan lingkungan sekitar sehingga dijadikan kesempatan oleh orang yang tidak baik melakukan aktivitasnya tanpa gangguan tetangga. Hal tersebut dibuktikan ketika terjadi penangkapan para pengikut Hakekok Balakasuta, tetangga merasa terkejut karena tidak mengetahui sebelumnya.
Ketiga, urang Banten telah mengalami krisis identitas, terkhusus pesoalan kurang ikatan kesukuan. Coba kita lihat seperti marga pada suku Batak atau trah pada masyarakat Jawa, mereka mampu mengikat berbagai latar belakang individu dalam kesatuan primordialnya. Jadi ketika ada orang yang berbeda dari sisi agama dan kepercayaan, urang Banten menganggapnya orang lain yang perlu disingkirkan.
Keempat, mulai menghilangnya budaya gotong royong, sabilulungan, silih asah-asih-asuh, karena tersisih oleh budaya transaksional. Komodifikasi budaya yang selalu diorientasikan kepada transaksi ekonomi. Inilah yang menghilangkan perasaan kebersamaan di antara anggota masyarakat.
Kelima, faktor lain yang membuat masyarakat mudah terpengaruh yakni masih lemahnya tingkat pendidikan masyarakat, baik dari segi formal maupun ilmu agama.
Baca Juga
Untuk menangkalnya, penulis berpandangan tentang pentingnya peningkatan pendidikan baik agama maupun dari segi formal. Di sisi lain mereka juga harus mendapat pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja.
Peranan pemerintah dalam hal ini kementerian agama juga harus memiliki solusi untuk mengantisipasi hal itu. Kemenag harus turun tangan untuk mencegah hal tersebut tidak kembali terjadi.
Misal: Pegawai Kemenag mulai sekarang harus punya tugas ganda, yaitu bekerja untuk mengajarkan masyarakat, sekaligus memberi optimisme tentang pandangan-pandangan keagamaan yang benar.
Penulis menyarankan pemerintah agar dalam hal penanganan fenomena Hakekok Balakasuta ini tidak menggunakan pendekatan yang gegabah.
Penulis mengkritik pemerintah selama ini “gagap” dan tidak mempunyai strategi serta peta jalan kebudayaan untuk menghadapi fenomena seperti ini.
Perlu dipahami! Tugas pemerintah itu adalah mengidentifikasi mana yang terindikasi menyimpang, kriminal dan mana yang kultural. Tentunya identifikasi ini bisa dilakukan oleh OPD terkait di tiap daerah masing-masing.
Langkah Bijak
Terkait fenomena Hakekok Balakasuta ini, tentunya perlu langkah-langkah bijaksana yang dilakukan oleh masyarakat, ormas, MUI, dan pemerintah, saran penulis:
Pertama, misal diantaranya anggota masyarakat sebaiknya menerima kembali dengan tangan terbuka dan tanpa diskriminasi terhadap eks pengikut Hakekok Balakasuta yang kembali ke kampong halamannya. Mereka harus dirangkul kembali karena mereka sebenarnya hanyalah korban indoktrinisasi. Mereka perlu diajak dialog secara terbuka dan elegan tentang paham keislaman ataupun keagamaan.
Kedua, ormas, terkhusus ormas keagamaan seharusnya berada di garda depan membawa kesejukan, menenangkan, dan meminimalisasi konflik di masyarakat. Ormas harus bertindak secara bijaksana dan arif, tidak “mengompori”, sehingga semakin membesarkan konflik. Eks Hakekok Balakasuta sebaiknya dirangkul, diberikan pendampingan, edukasi, dan advokasi kepada eks Hakekok Balakasuta untuk kembali ke jalan yang benar, bukan sekadar menyalahkan dan menyesatkan, apalagi mengusirnya.
Ketiga, MUI harus lebih kaffah dalam bekerja, fatwa yang dikeluarkan MUI harapannya tidak hanya mengeluarkan fatwa sesat dan menyimpang Hakekok Balakasuta saja, tetapi juga mengeluarkan fatwa penyeimbang. Yaitu kewajiban masyarakat untuk menerima dan berbuat baik kepada eks pengikut Hakekok Balakasuta.
Fatwa penyeimbang ini sangat diperlukan sebagai langkah preventif munculnya tindakan anarkistis di masyarakat sebagai dampak fatwa sesat MUI terhadap Hakekok Balakasuta. Jangan sampai fatwa sesat MUI terhadap Hakekok Balakasuta menjadi “legitimasi” bagi sekelompok orang untuk melakukan pembakaran, pengusiran, penyerangan, pengrusakan, dan anarkistis.
Keempat, pemerintah dengan aparat dan penegak hukumnya harus memainkan perannya sebagai pelindung setiap warga negara dan penjaga stabilitas masyarakat. Masyarakat secara luas harus dilindungi di berbagai sisi. Artinya eks pengikut Hakekok Balakasuta juga harus mendapatkan perlindungan dan hak atas rasa aman.
Kelima, pentingnya pemberdayaan umat, keterlibatan seluruh komponen, mulai dari pemerintah daerah, tokoh organisasi kemasyarakatan, dan semua komponen keumatan lainya. Untuk bahu-membahu berdakwah dengan cara yang ramah dan tidak marah-marah, sesuai dengan bahasa keseharian. Salah satu strategi yang paling utama adalah dengan pemberdayaan melalui pendidikan.
Keenam, pentingnya peningkatan kesejahteraan umat peran zakat, wakaf, dan gerakan filantropi Islam lainnya harus ditingkatkan dan diperluas penyebarannya. Harapannya kesejahteraan umat semakin membaik.
*Eko Supriatno, M.Si., M.Pd adalah Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Banten, Departemen Riset dan Kebijakan ICMI Banten, Penekun Kajian di Forum Silaturahmi Bangsa Provinsi Banten, Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Persada (Persatuan Dosen Agama Islam) Nusantara Provinsi Banten.