Oleh: Eko Supriatno*
“Kalah dengan kecurangan, intimidasi, dan intervensi kekuasaan
adalah menang secara moral”
PELAKSANAAN Pilkada Pandeglang 9 Desember lalu meninggalkan berbagai persoalan khususnya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Ini bukan lagi tentang menang kalah, tapi prinsip berdemokrasi. Calon bupati Thoni-Imat berkali-kali menyampaikan siap menang dan siap kalah. Namun prosesnya harus di atas Pilkada yang jujur adil, dan demokratis.
Kemenangan yang diperoleh dengan menghalalkan segala cara tak akan menghasilkan kepemimpinan yang kuat dan diakui. Kekalahan yang dibiarkan begitu saja berarti mengabaikan suara pendukung yang jumlahnya 223.220 suara (35,9 persen).
Baca Juga
- Satu Jam Bersama Ahmad Syaikhu, Bincang Seputar Pandemi dan Kuasa Tuhan
- PMII Isvil Siap Sinis Dengan Senior dan Cabang
Thoni-Imat telah menunjukkan sikap tegas dengan menarik diri dari proses rekapitulasi suara yang cacat hukum dengan tidak menandatangani rekapitulasi hasil perolehan dalam pleno terbuka, Selasa (16/12/2020). Kemudian, Thoni-Imat juga mengisi form keberatan karena dinilai telah terjadi kecurangan secara sistematis di Pilkada Pandeglang.
Pilkada Pandeglang 9 Desember 2020 memang bersejarah. Ini kali pertama Pandeglang menentukan pilihan di antara dua pasangan Cabup-Cawabup yang berhadapan terbuka.
Head to head antara Irna Narulita-Tanto Warsono Arban (Intan) dan Thoni Mukson-Miftahul Tamamy (Toat) telah membuat polarisasi kekuatan politik. Perbedaan pilihan telah membelah hampir semua lini, mulai dari pemerintahan, partai politik, ormas, media massa, sampai keluarga.
Permohonan Thoni Mukson – Miftahul Tamamy (Toat) tak lain untuk mencari keadilan. Keadilan terhadap suara masyarakat sesungguhnya yang mereka yakini telah dibajak secara TSM oleh penyelenggara pemilu bekerja sama dengan pihak lain. Thoni-Imat tak ingin bupati terpilih adalah hasil rekayasa kecurangan, akrobat birokrasi, atau kongkalikong birokrasi.
Bupati semacam itu pasti akan mengabdi pada kepentingan pribadi, keluarga, komplotannya dan mengorbankan kepentingan masyarakat.
Pilkada Pandeglang 9 Desember 2020 telah menjadi sarana pemerkosaan demokrasi. Karena pemerintahan yang lahir dari pemerkosaan suara masyarakat akan berdampak pada seluruh legitimasinya, dan tak akan punya legitimasi kuat memimpin masyarakat.
Thoni-Imat tidak mau berkuasa di atas ketidakbenaran. Mereka juga tidak mau menerima mandat di atas kecurangan.
Menggugat Hasil Pilkada
Menggugat hasil Pilkada mengindikasikan bahwa kita perlu “membangun kesadaran” dengan ikhtiar melalui proses hukum untuk menyelesaikan ketidak puasan melalui jalur yustisi.
Cabup Thoni-Imat berkali-kali menyampaikan, mendukung adanya Pilkada yang damai dan menginginkan tidak adanya kampanye negatif, kecurangan, kampanye hitam, kekerasan, intimidasi, penyalahgunaan kewenangan, tanpa adanya mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan manipulasi suara adalah jurus-jurus yang “biasa” petahana lakukan dalam rangka memperkosa kedaulatan rakyat demi hasrat kemenangan.
Bagi Thoni-Imat, politik adalah sesuatu yang mulia, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan syarat, tujuan politik adalah pengabdian untuk melayani masyarakat. Output dari politik adalah Policy (kebijakan) dan leadership (kepemimpinan). Maka, peduli politik adalah peduli kepada kebijakan, kepemimpinan dan pengabdian.
Pilkada tidak boleh menjadi momentum di mana masyarakat hanya dijadikan komoditas politik, hanya dibutuhkan untuk mendulang jumlah suara semata. Apalagi dengan cara yang melanggar hak hakikinya sebagai seorang pemegang kedaulatan.
Bagi Thoni-Imat, demokrasi bukanlah ramuan mujarab untuk mengobati segala penyakit. Layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, demokrasi juga memiliki efek samping yang bisa jadi tidak menguntungkan bagi banyak pihak. Thoni-Imat sadar, dalam setiap perjalanan berdemokrasi tidak selalu berlangsung mulus, tetapi akan selalu ada resiko-resiko yang muncul.
Berdemokrasi adalah suatu pilihan, bukan sebuah jaminan bahwa segalanya akan berjalan lebih baik. Pilkada serentak sejatinya adalah proses demokrasi. Di mana masyarakat adalah pemegang hak tunggal kedaulatannya. Masyarakat lah pemilik kebebasan hakiki dalam menentukan pilihannya, berdasarkan penilaian dari masing-masing individu. Pilkada adalah referendum kedaulatan masyarakat.
Menguji Kredibilitas MK
Di masa lalu negara dan aparatnya menjadi pihak yang berada di posisi yang tinggi di mata hukum. Tak mudah menyeret institusi ini ke tanggung jawab secara hukum. Namun, peristiwa ini memberi pelajaran baru bahwa lembaga milik negara jika bertindak secara hukum dituntut siap mempertanggungjawabkannya secara hukum.
Ya, tanggung jawab memutus perkara itu kini berada di pundak Mahkamah Konstitusi (MK). Beban untuk mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya bagi masyarakat berada di genggaman lembaga hasil amandemen UUD 1945 ini.
Beban ini menjadikan posisi MK menjadi sangat dilematis mengingat keputusan dari kasus ini akan menimbulkan implikasi yang sangat luas bagi kehidupan politik di negara ini.
Sudah terdapat aturan terbaru yang mengatur Mahkamah Konstitusi (MK), tidak lagi sekadar memutuskan perkara ke sisi formal dan materiil gugatan, tetapi lebih mengarah ke substansi.
Penulis belum meyakini Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan sikap progresif dan moderat terkait penanganan perselisihan hasil pilkada. Iya, penulis menyakini MK masih terjebak pada sekedar masalah angka perolehan suara.
MK kelihatannya belum berupaya mewujudkan keadilan substantif melalui Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 dan PMK Nomor 7 dan 8 Tahun 2020, dalam hal secara “merdeka” memberi kesempatan pada pemohon untuk menyampaikan dalil-dalil permohonannya.
Dalam permohonannya, Thoni Mukson–Miftahul Tamamy (Toat) tidak hanya ke MK, tapi sudah menempuh upaya hukum dengan melaporkan KPU dan Bawaslu Pandeglang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Thoni-Imat meyakini, Bawaslu Pandeglang melakukan pembiaran terhadap masifnya pelanggaran yang terjadi saat proses Pilkada. Selain itu, dia juga menduga ada intervensi dari yang dilakukan Paslon Irna-Tanto kepada Bawaslu.
Thoni-Imat dari awal menyayangkan, hasil keputusan Bawaslu yang membuktikan adanya politik uang tidak menjadi dasar bagi lembaga penyelenggara pemilu mendiskualifikasi pasangan Irna-Tanto. Thoni-Imat menduga Bawaslu Kabupaten Pandeglang telah melakukan tindakan unprofessional conduct.
Sebuah Pelajaran
Gugatan Pilkada Pandeglang Thoni-Imat memberi pelajaran bahwa pemilu dan lembaga penyelenggaranya dapat digugat secara hukum. Negara dituntut untuk terbuka dalam memutuskan kebijakan demi kehidupan bersama, serta mampu mencegah terjadinya ketidakjelasan dalam proses demokrasi.
Dituntut bisa mendengarkan aspirasi dari segenap masyarakat. Kewenangan negara dengan demikian semakin diawasi dan dibatasi. Pemilu adalah pekerjaan besar dalam kehidupan bernegara yang tidak bisa dibuat main-main.
Gugatan Pilkada Pandeglang Thoni-Imat merupakan bagian dari pendidikan politik yang sehat.
*Eko Supriatno adalah penulis buku Nalar Kewarganegaraan.