TANGERANG | Sebagai manusia, umat Islam harus meyakini terhadap kekuasaan Tuhan. Segala hal terjadi di alam semesta merupakan seizin Allah. Tak terkecuali pandemi Covid-19.
Namun, keyakinan terhadap kuasa Tuhan ini bukan berarti seseorang pasrah, tidak memiliki kehendak untuk memilih. Pandemi Covid-19 harus dihadapi dengan keseimbangan antara takdir dan ikhtiar.
Pada saat yang sama, kita juga harus selalu siap sedia menghadapi setiap tantangan zaman. Sebab itu sudah pasti terjadi.
Baca Juga
- Mengenal Lebih Dekat Sosok Komala Sari, Seorang Guru yang Kini Menjadi Advokat
- Kong Acong, Pria Asal Balaraja Jelajahi Sumatra Seorang Diri, Hingga Sampai Titik 0 Kilometer
Demikian sepenggal wawancara dengan Ahmad Syaikhu, Ketua Majelis Dzikir dan Shalawat (MDS) Rijalul Ansor Kabupaten Tangerang. Lebih lanjut, dirinya menukil untaian Hikam Ibnu Atho’ilah.
Saat kamu berada dalam keluasan dan kemudahan pada satu urusan, itu menandakan bahwa kebaikan dan belas kasih Tuhan sungguh sangat terasa.
Sebaliknya, jikalau kamu merasakan kegagalan atau ditimpa kemalangan dalam rencana hidup, itu berarti Kekuasaan Allah telah benar-benar nyata.
Situasi dua macam itu pada dasarnya, Allah ingin mendekati dirimu, lalu menampakkan kelembutan-Nya hanya untukmu saja. Agar sedianya engkau layak menjadi kekasih-Nya.
“Sejalan dengan dua kondisi tersebut, sepertinya masih relevan dengan situasi saat ini: Pandemi virus corona,” ujarnya kepada Vinus pada Senin, (15/02).
Lebih lanjut, Syaikhu mengatakan, semua pakar kesehatan di dunia sampai peramal ternama, akhirnya tidak mampu memastikan kapan pandemi berakhir. Sialnya, seluruh sektor sumber kehidupan mengalami kelesuan, bahkan gagal total.
Virus corona, penyakit sedang mewabah ini tidak akan menular tanpa kuasa Tuhan. Hal itu, lantaran penyakit, kematian, rizki, dan ketetapan-ketetapan lainnya, telah Allah takdirkan.
Kuasa Tuhan, kata Alumni Sekolah Demokrasi ini, merupakan suatu rahasia yang tidak bisa diketahui manusia. Maka atas dasar itu, Allah Swt memerintahkan kita bertawakal. Memilih jalan terbaik dalam menghindari setiap keburukan.
Manusia mengejawantahkannya dengan membuat peraturan protokol kesehatan. Hal ini semata-mata untuk menghindari setiap keburukan yang ada. Sekaligus ikhtiar untuk tidak tertular.
Namun, masih menurut Syaikhu, meskipun segala daya upaya dikerahkan untuk meredam keganasan Covid-19 ini, tetapi namanya usaha tetaplah usaha.
“Tinggal bagaimana ke depannya, manusia mau menyadari kelemahannya dan mengakui bahwa kesombongannya tidak akan abadi,” tutur penerima Beasiswa S2 UNUSIA ini.
Lebih lanjut, pria lulusan Universitas Negeri Banten ini menyampaikan, maka dari itu berhentilah kita merasa paling sehat. Berlaku sombong serta yakin tidak akan terjangkit Covid-19.
Jangan pula merasa paling beriman. Artinya kita tidak boleh merasa paling dekat dengan Tuhan. Lalu muncul ungkapan, “Hidup dan mati di tangan Allah”. Perkataan ini, dalam konteks penyebaran Covid-19 terdengar sangat konyol.
Dalam posisi itu, ruang gerak manusia pun dibatasi. Disinilah sifat memaksanya Sang Khalik, yang mesti dipahami sebagai otokritik.
Bukankah Asma’ Al-Qohar itu artinya otoriter, memaksa, kekuasaan absolut, kesewenangan, dan kesombongan.
“Oleh karenanya, sudah seharusnya sifat itu hanya dimiliki Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita jangan sekali-kali mencomot hingga menampilkan karakter tersebut untuk kepentingan sesaat. Apalagi, buat menakut-nakuti kaum lemah,” tandasnya.
Itulah paparan Ahmad Syaikhu saat bincang dengan Vinus, seputar pandemi dan kuasa Tuhan. Dalam program Satu Jam Bersama Tokoh Muda Banten.
Akhmad Syaikhu merupakan pria kelahiran Gunung Kaler. Saat ini tinggal di Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang. Ayah dua orang anak ini produktif menulis di berbagai media.
Dalam dua tahun terkahir, Ia aktif sebagai dosen STISNU Nusantara Tangerang. Selain itu, Syaikhu juga kini menjabat Wakil Ketua PC GP Ansor Kabupaten Tangerang. |We