Oleh: Abdul Haris*
WAJAH pendidikan Indonesia terlihat masih suram. Harusnya bangsa yang sebentar lagi memasuki usia satu abad, menjadi lokomotif kemajuan peradaban ilmu pengetahuan.
Hari ini, tanggal 2 Mei 2021 diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia (Hardiknas). Publik merayakan seremonialnya dengan penuh suka cita. Seakan sudah memperoleh kejayaannya di bidang pendidikan.
Di sisi lain, baru-baru ini sebuah lembaga penelitian bernama The Social Progress Imperative merilis hasil penelitian tentang tingkat pendidikan di seluruh dunia. Tersaji melalui Index Kemajuan Sosial.
Terdapat 20 negara dengan tingkat sistem pendidikan terbaik. Ada Korea Selatan, Jepang, Amerika, Ceko, dan 16 negara lain. Di antara 20 negara itu tidak terdapat nama Indonesia.
Lalu urutan keberapa sistem pendidikan Indonesia. Jangan-jangan masuk paling rendah. Wallahualam.
Baca Juga
- Terhimpit Masalah Ekonomi, Ibu Rumah Tangga di Solear Gantung Diri
- WarNU LSmart Luncurkan Program Sedekah Sembako Murah
Jika kita kembali melihat dan merenung pada konteks ini, sangat jauh sekali dari harapan untuk bisa mengangkat harkat dan martabat negara. Dunia pendidikan kita terlalu fokus pada yang remeh temeh. Tidak berani mengambil langkah konkret untuk merubah sistem.
Kalau sodara punya waktu, berjalanlah ke daerah-daerah. Kita akan menemukan posisi bagaimana praktik pragmatisme pendidikan dilakukan. Bahkan menyerupai perusahaan.
Awal tahun lalu, di salah satu daerah Sumatera Utara, ada sebuah universitas yang rektornya terbukti melakukan Swaplagiarisme, tetapi tetap melenggang mulus menjadi rektor. Barangkali ada semacam intervensi dari Jakarta (?).
Di atas merupakan satu contoh betapa buruknya dunia pendidikan di Indonesia. Bagaimana bisa mahasiswanya dapat mencontoh karya ilmiah yang baik apabila rektor saja tidak menjadi teladan yang baik dalam berkarya.
Matinya Khazanah Keilmuan di Kampus-Kampus
Di dunia yang serba modern ini, kita dituntut untuk terus berinovasi dan kreatif dalam segala hal. Dunia kerja tidak lagi pada hal-hal yang formal. Seperti PNS, tentara, polisi, dan semacamnya.
Dewasa ini, kita memasuki arena yang lebih fleksibel dan penuh tantangan. Oleh karenanya dituntut untuk aktif dalam segala hal, termasuk mengasah skill dan memperbanyak literasi, juga meningkatkan diskusi.
Penulis yang masih menyandang status mahasiswa ini jarang sekali melihat di pojok-pojok kampus terdapat mahasiswa atau mahasiswi yang berdiskusi soal keilmuan yang lebih menggugah pikiran.
Mereka lebih aktif dalam membentuk suatu kelompok yang kemudian membicarakan kehidupan sosialita mengenai individualnya. Ketimbang berdiskusi yang berbau kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang bersifat kolektif.
Artinya kampus tidak lagi menjadi wadah intelektual bagi generasi kita. Tidak lagi menjadi tolak ukur untuk menguji pikiran, melainkan institusi yang bernilai komersial.
Kampus Harus Kembali Menjadi Laboratorium Ilmu
Penulis percaya, lembaga pendidikan entah itu statusnya swasta atau negeri, harus mengembalikan kepercayaan publik terkait kualitas dan intergritasnya. Sebab di sinilah anak-anak bangsa diuji dan dibentuk pikiran kedewasaannya.
Kampus mempunyai tanggung jawab moral memberikan keleluasaan pada mahasiswa-mahasiswinya untuk bereskpresi dalam hal lain di luar mata kuliah wajib. Karena dunia setelah kuliah berbanding terbalik dengan dunia kampus.
Terakhir, Presiden Joko Widodo baru saja melantik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang digabung dengan riset dan teknologi (Kemenristek). Hal ini semakin tidak terarah dunia pendidikan di Indonesia.
Pasalnya, dalam keadaan terpisah saja pemerintah tidak maksimal, apalagi digabung. Fokus kerja akan terpecah. Sehingga dunia pendidikan semakin terlihat pragmatis.
* Penulis adalah Kader HMI Komisariat Tigaraksa Cabang Jakarta Barat. Saat ini menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Bima Tangerang (HMBT).