PENDAMPING itu bisa memiliki dua karakter: hadirnya sebagai hantu yang menakutkan atau tampil sebagai malaikat yang menyelamatkan. Keduanya jelas berbeda.
Jika pembawaannya adalah citra diri kebaikan maka akan tampak kemanfaatannya. Tapi kalau sebaliknya, hadirnya sebagai hantu, tentu keberadaannya sangat tidak diharapkan. Bahkan akan dijauhi.
Kita tidak ingin karakter seperti hantu. Tapi bagaimana ia mampu hadir sebagai malaikat, utusan yang membawa misi kabar gembira dan memberi petunjuk sebagai pedoman hidup. Dalam hal ini misi: Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014.
Sebagaimana malaikat yang memiliki sifat-sifat terpuji. Begitu juga dengan pendamping desa. Memang betul, pendamping desa hanyalah manusia biasa. Namun setidaknya, integritas dan kredibilitasnya tetap jadi modal utama.
Baca Juga
- LAKPESDAM NU Tangerang Ajak Civil Society Melek Isu Desa
- Anda Sopan Kami Curiga, Jangan-Jangan Calon Kepala Desa
Sebab pendamping adalah penyambung lidah Kementerian Desa, ia mengemban amanah Undang-Undang Desa agar terlaksana dan dipahami dengan baik oleh semua elemen masyarakat desa. Jika ini teruji, keberadaannya pun senantiasa akan dinantikan sebagai pencerahan dan solusi.
Tentang Integritas dan kredibilitas ini perlu jadi perhatian bersama. Dalam hal apa saja. Integritas menurut KBBI, adalah mutu, sifat, dan keadaan yang menggambarkan kesatuan yang utuh. Sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan, kejujuran, dan Kredibilitas adalah perihal dapat dipercaya.
Pendamping, Anak Dari Kementerian Desa
Perlu dicatat, pendamping itu mendampingi hampir seluruh kalangan masyarakat desa terutama pemerintah desa. Karena itulah, kegiatan pendampingan desa bukanlah semata-mata mendampingi pelaksanaan proyek yang masuk ke desa, bukan pula sekadar mendampingi dan mengawasi penggunaan dana desa. Namun, bagaimana melakukan pendampingan secara utuh terhadap desa.
Oleh karenanya kerja-kerja para pendamping desa memiliki tanggung jawab dalam upaya mengembangkan kapasitas pemerintahan, mengorganisir dan membangun kesadaran kritis warga masyarakat, memperkuat organisasi-organisasi warga, memfasilitasi pembangunan partisipatif sampai pada upaya mengisi ruang-ruang kosong di antara pemerintah dan masyarakat. (Eko Putro Sandjojo:2016)
Maka dari itu jika ini dipahami, profesionalisme seorang pendamping tidak akan diragukan lagi, dan bukan perdebatan. Selain itu, ia juga dituntut harus selesai dengan dirinya.
Sehingga ketika menghadapi persoalan-persoalan, maka mindset-nya adalah motivator yang terus belajar dan pemberi solusi dari berbagai masalah yang ada di desa.
Integritas dan kredibilitas inilah yang harus kuat-melekat, sebab bukan tidak mungkin, selain nantinya nilai-nilai Pancasila terinternalisasi dalam pengamalan kehidupan masyarakat di desa. Pun, tidak menutup kemungkinan, pengangkatan P3K bagi Pendamping Desa atau Tenaga Pendamping Profesional (TPP) bukan isapan jempol lagi.
Tenaga Pendamping Profesional (TPP) adalah kepanjangan tangan dari Kementerian Desa, dalam hal ini ia menjelajahi hampir di pelosok desa se-Indonesia, dengan membawa misi yang tak mudah. Mendampingi, memfasilitasi, dan memantau serta mendata jalannya pembangunan desa yang merata, adil, dan tepat sasaran.
Dari sinilah profesionalisme pendamping desa diuji. Maka masuk akal bila Gus Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, Abdul Halim Iskandar, dalam satu pertemuan berani berstatment bahwa Pendamping Desa itu anak Kandung Kementrian Desa.
Kerja Pendampingan, Kerja Pemberdayaan
Terlihat sederhana, namun ternyata fakta di lapangan sangat dinamis. Pasalnya, struktur organisasi masyarakat tidak semuanya memahami jalan ceritanya. Ada ketegangan antar internal, tokoh, dan kepentingan elit desa atau golongan. Bahkan ada yang tidak peduli sama sekali dengan kondisi sosial desanya.
Oleh karenanya diperlukan kesadaran bersama, serta yang paling penting adalah intensitas penguatan dan pengembangan kapasitas dari lembaga-lembaga kemasyarakatan desa, perangkat desa, dan lain sebagainya, tentang pentingnya pemahaman implementasi hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Terutama dari setiap peranan individu yang berpartisipasi. Dalam hal ini, musyawarah atau forum warga untuk ikut menentukan arah kebijakan pembangunan di desanya.
Dengan demikian tugas Pendamping Desa sebenarnya tidak ringan. Bagaimana tidak, ia harus, sekali pun tidak harus menyadarkan, menyampaikan kepada seluruh elemen masyarakat yang berbagai jenis karakter dan berbeda kepentingan.
Intinya, pendamping desa harus memfasilitasi jalannya proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan desa sampai kepada laporan pertanggungjawaban.
Kesempatan Menanamkan Pancasila
Melihat kondisi kerja pendampingan yang begitu istimewa tapi berat. Namun disitulah kesempatan bagi pendamping untuk mengambil peranan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Itu artinya kerjanya adalah membawa misi penerapan dan penanaman nilai-nilai ideologi kebangsaan.
Misalnya dalam upaya memberikan pemahaman penanaman nilai Pancasila, yang terejawantah melalui Musyawarah Desa atau Musdes.
Musyawarah ini merupakan forum pengambilan keputusan yang sudah dikenal sejak lama dan menjadi bagian dari dasar negara Indonesia dari Sila ke-empat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Bahwa Musdes adalah proses musyawarah antara Badan permusyawaratan desa (BPD), Pemerintah desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
Dalam hal ini pun dijelaskan dengan runut oleh Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, pasal 54 bahwa:
1) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Penjelasannya dari Ayat (1) tersebut, yakni Musyawarah Desa merupakan forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat Desa.
Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat pemerintah desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya. Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.
Dalam hal ini, upaya pendamping adalah memberikan pengertian kepada masyarakat, terutama pemerintah desa dan lembaga terkait, bahwa forum warga atau musyawarah desa ini adalah forum tertinggi desa, tidak boleh terlewati, atau dianggap sekedar formalitas saja.
Sebab dalam forum ini ada hak-hak masyarakat desa yang harus diperhatikan dan dipenuhi aspirasinya dalam menentukan jalannya arah kebijakan pembangunan desa. Dan pemerintah desa adalah pengemban amanat hasil dari keputusan musyawarah desa tersebut.
Ketika musyawarah desa ini menjadi suatu keniscayaan dan sudah membudaya. Disitulah desa telah mampu memenuhi hak asasi manusia, yang tidak lain pengamalan dari sila ke-dua: kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sehingga terciptalah gotong-royong dalam Persatuan Indonesia (sila ke-tiga), dimana sila ini menjadi kekuatan dan karakter desa yang melekat: gotong-royong dan guyub.
Jika sudah demikian, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sila ke-lima akan terbangun dan terwujud melalui tatanan masyarakat yang saling menghargai satu sama lain sesuai dengan karakteristik desa berasaskan (UU Desa 6: 2014 Pasal 3): rekognisi; subsidiaritas; keberagaman; kebersamaan; kegotong-royongan; kekeluargaan; musyawarah; demokrasi; kemandirian; partisipasi; kesetaraan; pemberdayaan; dan keberlanjutan.
Karakteristik itulah yang sebenarnya muncul dari pengalaman sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa: Semua asas di atas dibangun berdasarkan kultur masyarakat Indonesia yang berketuhanan.
Ketuhanan secara berkeadaban, toleran dan saling menghormati.
*Pendamping Desa Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Penulis Buku Islam Nusantara dan Zikiran Sultan: Tradisi yang Terlupakan.