
SERANG| Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten kembali menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengelolaan dan pengangkutan sampah tahun 2024 senilai Rp75,9 miliar.
Kali ini, penyidik menahan TB Apriliandhi Kusumah Perbangsa yang menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek tersebut, pada Rabu, (16/04).
Tersangka tampak menangis saat keluar dari ruang penyidikan Kejati Banten pada pukul 17.20 WIB. Tanpa memberikan pernyataan kepada wartawan, ia langsung digiring menuju mobil tahanan untuk kemudian dibawa ke Rutan Kelas IIB Pandeglang.
Baca Juga
- Kejati Banten Tahan Direktur PT EPP Terkait Dugaan Korupsi Proyek Sampah di Tangsel
- Anggota DPRD Banten Ditahan, Usai Terbitkan Cek Bodong
Kasi Penkum Kejati Banten Rangga Adekresna mengatakan, penetapan tersangka kepada TB Apriliandhi lantaran dirinya berperan sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam proyek pengelolaan dan pembuangan sampah di Dinas LH Kota Tangsel.
“Tim penyidik kembali melakukan penahanan tersangka atas nama TAKP yang menjabat sebagai KPA dan merangkap sebagai PPK dalam perkara dugaan korupsi kegiatan pekerjaan jasa layanan pengangkutan sampah dan pengelolaan sampah di Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel 2024,” ungkapnya.
Tersangka yang juga menjabat sebagai Kabid Kebersihan di Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Tangsel itu memiliki sejumlah peran penting dalam proses penunjukan dan pelaksanaan proyek senilai Rp75,9 miliar yang dimenangkan oleh PT EPP.
“HPS yang ditetapkan oleh tersangka selaku pejabat pembuat komitmen atau PPK dan dijadikan sebagai dasar referensi harga pada saat negosiasi harga ternyata tidak disusun secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Sebagai PPK, tersangka juga tidak melakukan fungsinya melakukan klarifikasi teknis pada perusahaan PT EPP dalam E-Katalog. Kontrak pengangkutan dan pengelolaan sampah juga tidak disusun dengan benar.
“Karena tidak mengatur sama sekali tujuan lokasi pengangkutan sampah dan tidak mengatur bagaimana teknis pengolahan sampah yang harus dilakukan oleh PT EPP,” tambah Rangga.
Bahkan saat proses pelaksanaan proyek tersebut, tersangka selaku PPK membiarkan perusahaan PT EPP membuang sampah bukan pada lokasi sesuai kriteria. Padahal, seluruh pembayaran proyeknya yaitu Rp 75,9 miliar sudah dibayarkan sepenuhnya atau 100 persen.
“Meskipun terdapat kelengkapan persyaratan administrasi pencairan pembayaran yang tidak dipenuhi oleh PT EPP,” pungkasnya.
Pada 2024, tiga tersangka terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan sampah di Tangsel, termasuk Kadis Lingkungan Hidup Tangsel Wahyunoto Lukman dan SYM dari PT EPP. Mereka diduga merekayasa proses tender dengan menyiasati agar perusahaan tampak layak menangani proyek tersebut.
Rangga menyampaikan bahwa awalnya PT EPP hanya bergerak di bidang pengangkutan sampah. Atas permintaan tersangka Wahyunoto, SYM diminta menambahkan KBLI agar PT EPP tercatat sebagai perusahaan pengelolaan sampah.
“Dalam mempersiapkan proses pengadaan pekerjaan untuk memenangkan PT EPP dalam proses tender, WL telah bersekongkol dengan SYM,” ujarnya.
Tender senilai Rp 75,9 miliar itu kemudian dibagi dua. Yaitu anggaran untuk pengangkutan sampah Rp 50,7 miliar dan pengelolaan Rp 25,2 miliar.
Kedua tersangka lalu mendirikan CV Bak Sampai Induk Rumpintama (BSIR). Wahyunoto menunjuk Sulaeman, penjaga kebunnya, sebagai direktur operasional, dan Agus Syamsudin sebagai direktur utama. Kesepakatan dibuat pada Januari 2024 di Cibodas, Rumpin, Bogor.
CV BSIR ini menurut Rangga adalah perusahaan yang didesain oleh kedua tersangka sebagai sub kontraktor untuk item pengelolaan sampah. Padahal, baik CV BSIR dan PT EPP tidak memiliki kapasitas dan pengalaman dalam pengelolaan sampah.
“Karena PT EPP tidak memiliki kapasitas dan pegalaman dalam pekerjaan pengelolaan sampah,” tegasnya. |Fjr