spot_img

Seri Pengajian Ramadan: Permulaan dan Puncak Pertaubatan

Penulis: Ahmad Syaikhu.

PEMBACA budiman. Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah Swt. Tulisan ini merupakan sebuah wasiat sederhana tentang pendekatan diri, seorang hamba, kepada Sang Khalik.

Penulis mengutip, dengan terjemahan bebas, dari hasil beberapa pertemuan pengajian pasaran di bulan suci Ramadan 1444 H atau Maret 2023. Kitabnya Minahus Saniyah, karya Syaikh al-Arif Abi Ishaq Ibrahim al-Matbuli, lalu dikomentari atau disyarahi oleh Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani.

Wasiat pertama: Wahai saudaraku. Luruskanlah istiqomahmu dalam pertaubatan.

Taubat artinya kembali. Yakni kembali dari perbuatan atau perilaku tercela menuju perbuatan terpuji sebagaimana anjuran syari’at.

Baca Juga

Menurut Syaikh Wahab Sya’rani, di dalam pertaubatan itu sendiri ada dua proses, yakni bidayah dan nihayah.

Bidayah: Taubat Permulaan

Bidayah artinya awalan, tanda sesuatu dimulai, atau permulaan. Maka dengan demikian, permulaan hamba memasuki pintu taubat ialah mesti diawali dengan menjauhkan diri dari segala perbuatan dosa besar, seperti: sengaja meninggalkan kewajiban dalam beragama, penganiayaan dan pembunuhan, perzinahan atau memperkosa, perjudian, penyalahgunaan obat terlarang dan minuman keras, penipuan atau korupsi hingga menimbulkan kerugian besar di masyarakat dan negara, merampok atau mengeksploitasi kepentingan umum untuk kepentingan pribadi atau golongan, dan lain-lain.

Setelah sekuat tenaga menyingkirkan perbuatan dosa besar. Saatnya menjauhkan diri dari perilaku yang menimbulkan dosa-dosa kecil. Seperti: pamer kekayaan, membuang sampah di pinggir jalan atau sungai, parkir sembarangan sehingga membuat jalanan macet, membuat keonaran dan mengganggu ketertiban umum, menebar kebencian, dan sebagainya.

Sekiranya dosa besar dan dosa kecil itu konsisten dapat disingkirkan semuanya. Barulah fokus dengan membiasakan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dimakruhkan syariat, baik dalam beribadah maupun pergaulan sehari-hari. Seperti: Salat di tengah jalan raya padahal tersedia masjid dan musola, bertakbir untuk kepentingan politik sesaat, meludah ketika salat, makan halal berlebihan, dan sebagainya.

Perbuatan dosa besar, dosa kecil, sampai hal yang makruh sudah tuntas disingkirkan. Kemudian beralih, pelan-pelan, mengidentifikasi diri mana saja perilaku yang dapat mengurangi wibawa dan merendahkan martabat sebagai manusia mulia.

Sebut saja misalnya: Mengorek-ngorek lubang hidung di tengah obrolan, meludah atau buang ingus sembarangan, buang angin (kentut) di muka umum, berjoget-joget ria di sosial media seperti tik-tok, dan seterusnya.

Berhasil meniadakan perbuatan buruk tadi, sampailah kita pada memusatkan perhatian, fokus terhadap kebaikan, baik yang berhubungan antar sesama maupun kepada Sang Pencipta. Seperti: memperbanyak amalan sunnah, berderma untuk kemanusiaan, aktif dalam kegiatan sosial, dan seterusnya.

Kendati segala aktivitas positif telah menjadi habits. Namun tetap kita harus waspada. Jangan sampai merasa puas dan berhenti sampai di situ saja.

Anggaplah kebaikan kita bukanlah apa-apa, dan belum seberapa. Sebab selama hayat di kandung badan, berarti masih banyak segala kebaikan yang belum kita lakukan.

Demikianlah, rentetan tahapan taubat bidayah itu. Seiyanya, harus kita nikmati sebagai proses.

Pandanglah diri kita ini sebagai orang yang terasing di dunia. Sebab walaupun proses itu telah kita tapaki satu persatu, kadang-kadang ada saja kelalaian yang masih kita perbuat, baik disengaja maupun tak disengaja.

Oleh sebab itu, jika begitu keadaannya, marilah kita masuk ke dalam golongan, orang-orang yang fokus pada taubatan nasuha, yakni bersungguh-sungguh dalam bertaubat. Di mana di sepanjang hidup kita selalu dilingkupi dengan pertaubatan.

Jikalau ada yang terlintas dalam benak pikiran atau hati kita, pada satu perilaku yang bukan atas kehendak atau keridhoan Allah Swt, seketika itu juga, kita diwajibkan langsung bertaubat kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

Itulah uraian tentang bidayah taubat, sebagaimana yang dijelaskan dalam Minahus Saniyah. Semoga pertaubatan kita senantiasa menjadi telaga air untuk kita reguk dan sekaligus membersihkan diri sebagai kebutuhan dasar hidup.

Nihayah: Puncak Pertaubatan

Lalu setelah bidayah, ialah nihayah. Yakni, puncak pertaubatan. Ketika kita lalai dan melupakan Allah walaupun itu sekejap mata, maka saat itu juga kita diwajibkan untuk bertaubat. Di sinilah makna, yang disebut dengan tujuan, arti puncak pertaubatan hamba kepada Sang Khalik-Nya.

Dalam pada itu, karena panjangnya tahapan pertaubatan itu (bidayah wa nihayah), sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Syaikh as-Sya’rani tadi, tentu ulama tidak semuanya sependapat seperti di atas.

Bahkan kebanyakan ahli tariqoh menegaskan, sesungguhnya orang yang telah menyesali atas segala perbuatan dosanya serta berjanji tidak akan mengulanginya, maka pertaubatannya sudah diterima.

Alasannya, mana mungkin Allah berfirman berkisah singkat tentang penerimaan taubatnya Nabi Adam yang cukup ditebus dengan rasa penyesalan yang begitu mendalam (Al ‘itirafa wa nadam). Jadi, kalaulah memang betul ada syarat lain yang lebih krusial, maka sudah barang pasti Tuhan pun akan bercerita panjang tentang kisah itu.

Persyaratan Taubat

Telah masyhur bahwa para ulama berpendapat, syarat taubat itu ialah (al-iqla) kapok dan tidak akan mengulanginya lagi. Itu bukan tanpa alasan, tentu saja diambil melalui proses istinbat (penggalian hukum). Sebab penyesalan seseorang atas perbuatannya, biasanya ditandai dengan munculnya rasa kapok dan bertekad, enggan mengulangi perbuatan dosa itu lagi.

Tentu sudah kita mafhum, umumnya taubat hanya akan diterima berkaitan dengan hak-hak Allah dan hal yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang menzalimi diri sendiri.

Terkecuali syirik, menyekutukan Allah. Syirik ini tidak bisa dimaafkan. Walaupun memang syirik itu juga termasuk kategori menganiaya diri sendiri.

Dan satu lagi, sesuatu dosa yang ada kaitannya dengan hubungan manusia, tentu sekali lagi, taubatnya ini belum tentu diterima, namun harus minta taubat langsung kepada orang yang bersangkutan.

Sebut saja misalnya, kita pernah merampas atau menganiaya atau menzalimi seseorang atau kaum lemah. Sehingga membuat orang tersebut kehilangan harapan dan menimbulkan traumatik, akhirnya gairah hidupnya tidak lagi utuh.

Maka satu-satunya jalan agar pertaubatan kita diterima ialah memohon maaf kepada yang bersangkutan. Wallahualam bissawab.

Ditulis oleh: Ahmad Syaikhu. Ketua Majlis Dzikir dan Shalawat Rijalul Ansor Kabupaten Tangerang.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

Krisis Keteladanan Pejabat Negara

Jokowi di Persimpangan: Golkar atau Gerindra?

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart