BPD, bicaralah!
Berbicaralah tentang kepentingan umum.
Bukan saatnya lagi BPD main kucing-kucingan dengan Kepala Desa.
DIAM menunggu Siltap (penghasilan tetap) dan Tukin (tunjangan kinerja) tak akan melahirkan peradaban desa. Cobalah tengok kiri dan kanan. Barangkali warga enggan berisik, tapi terpaksa berbisik: Jangan sampai ada lagi hak-hak dan aspirasi masyarakat terabaikan, sia-sia di tengah jalan.
Selama ini, desa masih dijadikan objek atas proyek-proyek pembangunan. Citra desa identik dengan orang yang kalah, miskin, pinggiran, keterbelakangan, dan kebodohan.
Sebagaimana yang dijelaskan Rumadi (2016), enak tidaknya kue pembangunan, ukurannya selalu lidah orang kota. Lidah orang desa harus disesuaikan dengan selera lidah orang kota.
Baca Juga
- Urgensi Profesionalisme Pendamping Desa
- Cerita Kades Gembong, Rela Tinggalkan Pangkat dan Jabatan Demi Membangun Desa
Buatlah masyarakat tergerak dan berpartisipasi dalam arah kebijakan pembangunan desa. Tentu berdasarkan segenap kondisi sosial dan penggalian potensi desa yang ada.
Ingat, tugas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ialah berperan mengawal aspirasi masyarakat, menjaga kewibawaan dan kestabilan, serta mempelopori penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Jika itu sudah dilakukan, seharusnya bisa kita lihat dan temukan di setiap kantor-kantor di Kabupaten Tangerang. Misal, ada papan timeline rencana kegiatan per-semester tahun berjalan anggaran, untuk menentukan arah musyawarah di desa, dan seterusnya.
Selain urgensi pembangunan infrastruktur (fisik), isu-isu strategis tentang pentingnya penguatan pemberdayaan, baik secara individu atau terlembaga, perlu digalakkan ke arah pencerdasan kehidupan bangsa.
Itulah yang harus jadi sasaran utama tentang bagaimana seharusnya pembahasan RKPDES (Rencana Kegiatan Pembangunan Desa) kedepannya. Agar seluruh kalangan tercerahkan akan hak-haknya, tentang bagaimana pengelolaan aset desa yang baik dan benar. Nantinya menjadi produk unggulan desa.
Di samping itu, ajaklah elit-elit desa dan kalangan bawah beserta dengan keluh-kesahnya. Berbicaralah soal pembangunan yang tepat sasaran dan berkeadilan. Dahulukanlah kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Bermitralah bersama kepala desa beserta unsur masyarakat desa: tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin. Agar berpartisipasi dalam forum-forum atau musyawarah tertinggi desa.
Bicarakanlah hal-hal yang bersifat strategis sesuai dengan UU Nomor 6 tahun 2014 Pasal 55. Tampung dan salurkan aspirasi mereka dalam rancangan peraturan desa, kemudian sepakati. Lalu lakukan pengawasan kinerjanya. Itulah fungsinya BPD.
Setelah itu, ciptakanlah suasana kondusif, tertib, dan aman. Lingkungan yang menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat di masyarakat. Serta menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan desa.
Peran BPD dan Musyawarah
Musyawarah sangat menentukan dalam memutuskan suatu perkara. “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Dalam Ta’limul Muta’allim, Imam Az-Zarnuji membahas, ada tiga macam sikap orang dalam bermusyawarah. Yakni sempurna, separuh, dan tidak bernilai.
Pertama, sikap sempurna ialah orang yang punya gagasan dan berani berbicara. Kedua, sikap separuh ialah orang yang memiliki pendapat tetapi ia tidak mau berpartisipasi, atau ikut bermusyawarah. Hanya diam.
Terakhir, sikap yang tidak bernilai ialah orang yang miskin ide dan tidak mau bermusyawarah.
Oleh karenanya, tidak ada penyesalan jika suatu persoalan diselesaikan melalui musyawarah. Sayidina Ali ra. berkata, “Tiada seorangpun yang rusak karena musyawarah”.
Di era otonomi daerah ini, BPD merupakan lembaga perwujudan demokrasi. Sukses tidaknya penyelenggaraan pemerintahan desa, tergantung pada peran aktif BPD.
Sebab BPD merupakan parlemennya desa. Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 Pasal 63, menyatakan BPD berkewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Oleh sebab itu, sesuai amanat UU Desa tadi, pro-aktiflah. Karena BPD sedianya menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat desa. Bukan ABS, asal bapak senang. Suarakanlah, bahwa Pancasila itu bukan tentang simbol dan jargon belaka.
Itulah cara memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kesinambungan Penanaman Nilai Pancasila
Sejarah mengatakan, lahirnya Pancasila berawal dari kesepakatan perwakilan. Diputuskan sebagai dasar negara kita, tak lain ialah berasal dari musyawarah.
Pancasila bukan melulu berapa kali kita memperingati hari kesaktiannya, tapi bagaimana penanamannya. Karena, sila-sila Pancasila itu saling melengkapi, satu kesatuan. Tidak terpisah-pisah.
Dalam hal ini, sila ke-empat jelas menyatakan: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
BPD dalam musyawarah di desa, bersama pemerintah desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD menyepakati hal yang bersifat strategis.
Sebab musyawarah desa merupakan forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di desa. Termasuk masyarakatnya.
Tentu dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh pemerintah sesa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat. Hasilnya kemudian, menjadi pegangan bagi perangkat pemerintah desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya.
Kesinambungan penanaman Pancasila di level desa, dilihat dari sejauh mana BPD bersama pemerintah desa disiplin dan berpedoman dalam peraturan dan perundang-undangan terkait. Dalam hal ini Pedoman penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa yang diatur melalui Permendagri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
Undang-undang desa mengamanatkan Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa. Mereka berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
Setidaknya di dalamnya diatur bahwa: Peraturan Desa (Perdes) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama BPD.
Ada tiga jenis peraturan di Desa. Pertama, peraturan desa yang berisi materi-materi pelaksana kewenangan desa dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kedua, peraturan bersama kepala desa berisi materi-materi kerjasama desa. Dan ketiga, peraturan kepala desa Blberisi materi-materi pelaksana peraturan desa, peraturan bersama kepala desa dan tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perdes merupakan kerangka hukum kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di lingkup desa. Penetapan peraturan desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa.
Perdes juga merupakan salah satu bentuk peraturan perundang- undangan yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa. Fungsinya untuk membatasi kekuasaan, mengatur kehidupan masyarakat desa, dalam rangka mencapai tujuan Negara Indonesia.
Dengan demikian, kita meyakini bahwa jika fungsi dan peran BPD ini terus dimaksimalkan, niscaya aspirasi masyarakat sejahtera, demokratis, dan berkeadilan sesuai dengan pengelolaan pemerintahan yang baik, dengan sendirinya akan tersalurkan dan terwujud sebagaimana pengamalan dalam nilai-nilai Pancasila.
*Ditulis oleh: Ahmad Syaikhu. Pendamping Desa Kecamatan Kemiri dan Penulis Buku Islam Nusantara dan Zikiran Sultan: Tradisi yang Terlupakan.