spot_img
spot_img

Seri Pengajian Ramadan: Meninggalkan Kemubahan untuk Peningkatan Maqom

Penulis: Ahmad Syaikhu*

Tulisan ini adalah lanjutan hasil Pengajian Pasaran yang rutin dilakukan secara live streaming selama Ramadan.

PEMBACA budiman, setelah kita baca dan pahami nasihat awal pada uraian lalu, tentang anjuran agar kita senantiasa beristiqomah dalam taubat dengan segala aspek tahapannya. Sekarang, kita masuk ke pelajaran selanjutnya dari wasiat kedua Syekh Ibrahim al-Matbuli, yakni:Tinggalkanlah kemubahan supaya tercapai tingkat maqom yang lebih tinggi”.

Mubah, pada umumnya, merupakan gambaran hukum yang ringan karena pahala bisa diperoleh dan dosa tidak dikenakan. Menurut ulama, hukum mubah itu perbuatan yang condong dianjurkan, tetapi tidak ada jaminan pahala.

Intinya, mubah dalam Islam, menggambarkan hukum yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudharat. Contohnya: makan, minum, berpakaian, dan berburu, dan seterusnya.

Sedangkan maqom merupakan tingkatan seorang hamba di hadapan Allah. Di kehidupan modern ini, maqom dapat dipahami sebagai usaha atau latihan yang dilakukan ketika ingin memiliki kedekatan dengan Allah.

Baca Juga

Maqamat (Kata dasar/Mufrod: Maqom) menurut pandangan al-Ghazali, adalah jalan atau tahapan-tahapan spiritual yang harus dilalui seorang sufi untuk menuju kepada-Nya. Beberapa tahapan maqomat itu antara lain: Taubat, wara, zuhud, faqir, sabar, tawakal, dan ridha.

Umumnya dalam dunia tasawuf, anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. Secara garis besarnya, tahapan maqomat itu terdiri atas taubat, sabar, qana’ah, wara’, syukur, tawakal, ridha, ma’rifah, dan mahabbah. Tiga maqam terakhir ini sering dianggap sebagai maqam puncak.

Selain maqamat, ada istilah mirip tapi berbeda jalan pengertiannya, yakni yang disebut ahwal (jamak dari hal). Jika maqamat itu keadaan tingkatan seorang hamba dihadapan Tuhannya dengan usaha dan latihan khusus. Maka ahwal ini merupakan suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba tanpa harus dilakukan suatu latihan.

Meninggalkan Kemubahan

Berkaitan dengan tema tulisan ini, menarik kita simak komentar Syekh Ali al-Mursopi, bahwa: Tidak patut bagi seorang murid (murid tarekat) menapaki maqom (iradah) sebelum ia mampu meninggalkan hal-hal mubah.

Lalu memposisikan jalan meninggalkannya itu sebagai perintah syariat, yakni sebagai perintah kesunahan atau keutamaan. Sambil kemudian, berpandangan bahwa penyingkiran mubah itu ibaratnya sebagai larangan yang dimakruhkan.

Komentar di atas sesuai apa yang disepakati ulama tarekat, bahwa orang-orang yang mengisi dirinya untuk memilih rukhsoh (keringanan ibadah) bukan menjalankan azimat (perintah/kewajiban yang seharusnya), maka sama sekali ia tidak pantas memasuki jalan ini (thariqoh).

Sementara itu, Syaikh Ali al-Khowas menimpalinya dengan berkomentar: Allah tidak akan menciptakan mubah kecuali akan memberikan keringanan untuk bangsa Adam, sampai nanti timbul kebosanan dalam diri mereka.

Dengan demikian, jika memang Allah tidak menciptakan pribadi pemalas maka tidak mungkin mubah itu disyaratkan untuk mereka. Hal itu berbanding lurus dengan apa yang dialami para malaikat, mereka diciptakan untuk melaksanakan tugas tanpa merasakan bosan sedikit pun. Sebab itulah malaikat selalu bertasbih siang dan malam.

Dan ketika murid telah membiasakan diri, dengan lebih memilih beribadah azam (perintah yang semestinya) daripada rukhsoh (keringanan ibadah), lanjut Ali al-Khowas, maka seketika itu juga ia mampu mengurangi kemubahan dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai simbol ketaatan, yang tentunya nanti akan dibalas kebajikan pula.

Lalu bagaimana jika mubah itu sulit ditinggalkan?

Kalaupun ia belum mampu menemukan ketaatan dengan meninggalkan kemubahan, maka cobalah ia alihkan, dengan berniat, misalnya ketika menyantap makanan lezat atau berbicara adalah sebagai ajang menampakkan kebaikan atau supaya kuat beribadah. Pendeknya, pada hal mubah, hendaklah diniatkan beribadah, supaya bernilai pahala.

Niat melakukan yang mubah itu tadi, seperti: Tidur dengan secukupnya karena untuk kebugaran, makan tidak sampai kekenyangan tapi untuk kekuatan, tidak banyak berbicara kecuali di waktu yang tepat, serta tidak bergaul kecuali dalam kegiatan positif. Secara otomatis, niat-niat seperti beraktivitas, bersosialisasi atau bergaul dan seterusnya, dapat disejajarkan sebagai kewajiban yang berbuah ibadah.

Artinya, dalam keadaan di atas, melakukan kemubahan pun statusnya akan berubah menjadi suatu kewajiban, tergantung pada status sosial dan situasi dan kondisinya. Pun demikian berlaku dengan sunah. Misalnya ia tidak akan makan kecuali memang sudah disunahkan, berbicara juga ketika disunahkan. Pada situasi itulah, semua yang mubah, apabila diniatkan untuk ibadah maka akan mengandung pahala.

Penjelasan tersebut senada apa yang ditulis dalam kitab Zaburnya Nabi Daud: “Wahai Daud, takutlah dan ancamlah kaummu agar senantiasa menjauhi makanan syahwat (berlebihan, dsb) karena sesungguhnya hal itu membuat hati mereka akan tertutup dari mengenalku”.

Dengan demikian, menurut Ali al-Khowas, sebagaimana yang telah dikutip oleh Abdul Wahab al-Sya’rani dalam Kitab Minahus Saniyah, ia mengatakan, seorang murid tidak akan sampai kepada maqom (sidiq) sebelum ia betul-betul mengagungkan perintah dan larangan Allah.

Sebagai contoh, menjelang tidur, ia niatkan supaya nanti terbangun menunaikan salat malam, menuruti keinginan sebagian syahwat, sebatas untuk mengobati nafsunya agar tidak berontak lari dari ibadah. Karena sesungguhnya lisan nafsu akan terus merayu, dan berkata: Jadilah engkau tujuanku, kalau tidak, akan kubinasakan.

Maka dari sinilah, menunaikan kesunnahan pun menjadi suatu kewajiban, seakan-akan kemakruhan itu juga haram, dan yang haram sebagai bentuk kekufuran, lalu ia akan memandang semua kemubahan itu sebagai bentuk kebaikan, yang mengandung pahala besar.

Seperti itulah niatnya, bergelut dalam kemubahan, menikmati sandang-pangan mewah bukan atas dasar hawa nafsunya atau pamer, tapi dalam upaya menampilkan kenikmatan yang telah diberikan Allah. Sekadar untuk memenuhi anggota badan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Mengakhiri uraian demi uraian di atas, pengarang Minahus Saniyah menutup dengan kutipan dari pernyataan Syaikh Abul Hasan al-Syadzily:

Makanlah makanan yang lezat dan minumlah minuman yang segar sesuai seleramu, tidurlah beralaskan kasur yang empuk, kenakanlah baju yang halus dan lembut. Sesungguhnya, apabila ada di antara kalian yang melakukan itu, kemudian bersyukur, Alhamdulillah. Maka anggota badannya itu telah menunaikan kewajiban, yakni bersyukur.

Berbeda halnya, jika ia menikmati sandang-pangan dan fasilitas tapi dengan segala keterbatasannya, sambil berucap: Alhamdulillah. Namun kemudian ada rasa kesal dan ketidakpuasan atas nikmat yang ia peroleh, maka kondisi itupun sebetulnya, adalah suatu bentuk perbuatan dosa. Karena sesungguhnya orang yang menikmati apa yang Allah perbolehkan tapi masih menyimpan rasa kesal dan tidak puas, sebenarnya saat itulah, ia telah melakukan perbuatan apa yang telah Tuhan haramkan.

Wallahualam bissawab.

Ditulis oleh: Ahmad Syaikhu. Ketua Majlis Dzikir dan Shalawat Rijalul Ansor Kabupaten Tangerang.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

Krisis Keteladanan Pejabat Negara

Jokowi di Persimpangan: Golkar atau Gerindra?

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart