spot_img
spot_img

Rizieq Shihab dan Paradoks Penegakan Hukum

Oleh: Abdul Haris*

RAMADAN kali ini seolah kita diajak menarik diri untuk kembali merenungkan kehidupan sosial yang penuh dengan ketidakadilan. Bagaimana mungkin menjalankan ibadah wajib sementara ibadah lain terbengkalai.

Kita tidak boleh menutup mata atas ketidakadilan yang sedang dipertontonkan rezim. Sebagai muslim wajib bersuara. Dengan berbagai cara. Semampunya.

Saat ini, hukum seperti hanya untuk kaum lemah. Menghakimi atas mereka yang seolah musuh negara. Sementara yang selalu tunduk dan dekat dengan kekuasaan terlihat aman.

Paling anyar, publik dipertontonkan dengan kondisi hukum yang legitimasinya tidak sesuai dengan substansi. Masih pada tataran prosedural. Dan itu juga terkesan dipaksakan.

Baca Juga

Terkait persoalan Habib Rizieq Shihab (HRS) misalnya. Betul-betul sangat disayangkan. Peristiwa kriminalisasi ulama begitu kentara. Negara seperti sedang mengejar target. Memenjarakan sang Habib.

Beberapa hari lalu, Imam besar FPI ini baru saja meraih gelar Ph.D di Universitas Sains Islam (Usim) Malasyia. Padahal sedang dibui. Artinya, kita dapat melihat betapa terbukanya pemikiran beliau.

Habib Rizieq Shihab nampaknya bukan sekadar ulama. Jauh dari itu, ia sosok intelektual mumpuni. Jarang dimiliki oleh banyak orang. Namun sayang, ia harus berhadapan dengan hukum.

Seperti yang kita ketahui, HRS diadili karena dianggap melanggar protokol kesehatan. Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan.

Foto: Ilustrasi Habib Rizieq Shihab (Google/Istimewa).

Juga Pasal 212 KUHP mengatur perihal perlawanan terhadap pejabat yang sedang menjalankan tugasnya. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”

Sebenarnya kejadian seperti yang dialami oleh HRS, menjadi tolak ukur kita betapa lemahnya legitimasi hukum di Indonesia. Memproduksi hukum dengan sangat banyak, tetapi implementasinya paradoks.

Padahal prinsip dalam penegakan hukum: semua yang melanggar bisa diadili seadil-adilnya. Tidak pandang bulu.

Padahal banyak kejadian serupa, yaitu melakukan kerumunan di tengah-tengah masyarakat. Pada saat Pilkada tahun lalu. Banyak pejabat tidak mengindahkan peraturan kekarantinaan. Namun tidak ada yang diadili. 

Jika kita melihat sejarah, kejadian serupa juga pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 1964, Buya Hamka pernah dipenjarakan oleh penguasa rezim saat itu, Presiden Sukarno.

Sudah cukup sering pemerintah melakukan hal ini pada ulama yang di anggap berseberangan dengan negara. Tetapi para ulama-ulama tetap berdiri tegak dengan sikap nasionalismenya.

Saat ini banyak sekali orang-orang yang mahir menggunakan identitas untuk mengelabui umat. Mengatasnamakan agama untuk kepentingan kelompoknya.

Sebagai anak bangsa, publik harus cerdas, bisa membaca dan melihat fenomena tersebut. Tinggal disadari, saat ini sedang berada di kelompok mana.

* Penulis adalah Kader HMI Komisariat Tigaraksa Cabang Jakarta Barat. Saat ini menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Bima Tangerang (HMBT).

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

Data Bersih, Pilkada Rapih

Data Raksasa di Pilkada, No Drama!

Melawan Perang Dusta di Pilkada

KPU, Putusan MK, dan Gerakan Mahasiswa

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart