spot_img

Phobia Logo Halal

Foto: Logo Halal Majelis Ulama Indonesia dan Kementrian Agama Republik Indonesia.

INDONESIA merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari beragam etnis atau suku bangsa. Keragaman suku bangsa inilah yang memberikan warna bagi keindahan Indonesia. Indah secara kasat mata, juga indah secara batin.

Suku bangsa yang beragam dan banyak jumlahnya ini, memiliki nilai, norma, dan filosofi masing-masing. Ketiganya menjadi rujukan dan pedoman hidup. Satu dengan yang lain berbeda. Inilah yang kerap disebut sebagai local wisdom.

Yang punya local wisdom adalah masing-masing suku bangsa. Kearifan ini yang kemudian berkontribusi dan membentuk wajah Indonesia. Indonesia berdiri di atas kebhinekaan. Mengelola kebhinekaan menjadi persatuan, merupakan rahmat.

Baca Juga

“Indonesia”nya sendiri tidak memiliki local wisdom. Ukuran satu negara itu bukan lokal. Tapi global. Namun, menyebut global wisdom itu kontradiktif. Kearifan itu sifatnya unik. Maka, pada yang global —perkara yang diketahui secara luas— kita tidak akan menemukan keunikan.

Itulah mengapa misalnya, Presiden Jokowi kerap berganti busana pada setiap acara kenegaraan. Seperti misalnya saat pidato dalam sidang MPR. Beliau tampil unik, dengan memakai pakaian adat. Beliau ingin menampilkan local wisdom.

Tahun lalu pakai pakaian adat Baduy. Tahun 2017 pakai songkok Bugis. Tahun 2018 menggunakan pakaian adat Aceh. Tahun 2019 mengenakan baju adat Sasak NTB. Dan tahun 2020 memakai baju adat suku Sabu NTT.

Walau beliau adalah Presiden Republik Indonesia, maka ketika hendak menampilkan local wisdom, mesti memilih dan merujuk kepada khazanah kekayaan yang dimiliki oleh bangsa kita ini. Kongkretnya, dengan menggunakan pakaian adat suku tertentu.

Saya masih ingat ketika tahun kemarin Presiden memilih pakaian adat Baduy. Banyak yang bertanya, mengapa memilih Baduy? Yang bertanya sepertinya lupa, bahwa tahun-tahun sebelumnya pun Presiden menggunakan pakaian adat.

Mengapa memilih songkok Bugis? Mengapa menggunakan pakaian adat Aceh? Mengapa mengenakan baju adat Sasak? Mengapa memakai baju adat suku Sabu? Artinya —walaupun setiap pertanyaan akhirnya mendapatkan jawaban sebagai penjelasan— selalu ada tanya atas setiap pilihan.

Dengan kata lain, ketika tahun lalu menanyakan mengapa pakai baju adat Baduy, maka andai tahun lalu itu Presiden pakai baju adat lainnya, misalnya Sunda, Minang, Toraja, dan yang lainnya, saya yakin pertanyaan itu akan tetap ada. Memang demikianlah tabiat manusia.

Foto: Gedung Kementrian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (Istimewa).

Nah, bila baru-baru ini Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan mengambil alih sertifikasi halal dari MUI dan dikelola langsung oleh pemerintah lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH, lalu gaduh, tidak terlepas dari perkara tanya tadi. Perkara yang telah menjadi tabiat manusia tersebut.

Yang lucu, pertanyaan yang mengemuka itu bukan perkara yang substantif. Yang ditanyakan adalah bentuk logo halal. Logo halal yang mirip gunungan dalam pewayangan itu dianggap tidak mencerminkan keindonesiaan. Logo itu dianggap jawasentris, karena wayang identik dengan Jawa.

Untuk menjawab dan menjelaskan pertanyaan ini, selain pihak Kementerian Agama sudah menyampaikan dasar dan filosofinya, juga tidak harus saya jelaskan ulang. Mengapa? Karena penjelasan diatas tentang pakaian adat suku tertentu yang digunakan Presiden secara bergilir, adalah jawabannya.

Walaupun sejatinya, sikap phobia atas logo ini, bisa berubah bila kita mau melihat dari sudut pandang yang berbeda. Coba perhatikan kembali, dari pada mirip gunungan, dari sudut arah yang berbeda, malah seperti kubah mesjid, lho. Ya, benar. Menyerupai gunungan karena ada dalam filosofinya.

Mengapa tidak dibuat dengan filosofi Siger dari Lampung, Rencong dari Aceh, Kujang dari Jawa Barat, atau Mandau dari Kalimantan? Sekali lagi, jawabannya adalah seperti sikap Presiden yang memilih baju adat tertentu pada setiap acara kenegaraan. Bergilir dan ada waktunya.

Namun demikianlah, pada orang yang tidak suka —padahal dilarang karena tak suka lalu tak adil— yang dicari itu celah salah. Logo halal Mesir dianggap yahudisasi, karena hurufnya mirip yang dipakai Ibrani. Logo halal Brunei dianggap kristenisasi, karena ujung kubah mirip katedral.

Penjelasan bergaya analogi ini memang tidak lugas. Sengaja saya buat demikian, agar pembaca ada kemauan untuk mencerna. Supaya tidak seperti kebiasaan sebagian dari kita selama ini; menerima broadcast, lalu tanpa kupas dan kaji, langsung Copas dan bagi. Wallahualam.

*Ditulis oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq. Penulis adalah warga biasa. 

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Ikon Kartini dan Pemanjaan Belanda

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart