Oleh: Gefrina Djohan*
“Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kita sebagai kaum perempuan serta harus mendapatkan pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki” (RA. Kartini, 21 April 1879).
PERNYATAAN Raden Ajeng Kartini begitu menginspirasi seiring dengan menggeloranya semangat nasionalisme yang muncul di kalangan perempuan Indonesia. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan diperoleh.
Beberapa tokoh penting terukir dalam sejarah perjalanan bangsa, sebagaimana R. Dewi Sartika yang kemudian mendirikan organisasi Keutamaan Istri (1904), Ny. C. Th. Van Deventer dengan Kartini Fonds (1912), dan Ny. H. Siti Walidah Ahmad Dahlan mendirikan organisasi sayap perempuan Muhamadiyah: Aisyah (1917).
Selanjutnya seakan menjamur lahir berbagai organisasi perempuan di kawasan pulau Jawa, seperti Pawiyatan Wanito di Malang (1915), Wanito Hadi di Jepara (1915), Purborini di Tegal (1917), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanita Rukun Sentosa di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Setia di Surabaya (1919), Wanito Utomo dan Wanita Katolik di Yogyakarta (1920).
Baca Juga
Sejauh itu organisasi perempuan juga bermunculan di luar Jawa, seperti Keradjinan Amai Setia di Kota Gadang Bukit Tinggi, tercatat 11 Februari 1914 dengan ketua pertamanya Siti Rohana Kudus. Selanjutnya Keoetamaan Istri Minangkabau di Padang Panjang, Serikat Kaoem Iboe Soematra dan Ina Tuni di Ambon.
Hal yang lebih menakjubkan kaum perempuan juga mengembangkan dunia jurnalis dengan munculkan berbagai surat kabar. Di mana isu-isu perempuan disuarakan dengan lantang, antara lain surat kabar Poetri Hindia yang terbit di Bandung (1909), Wanito Sworo yang terbit di Brebes (1913), Soenting Melajoe yang terbit di Bukittinggi (1918), Isteri Oetomo di Semarang, Soearan Perempoean di Padang dan Perempoean Bergerak di Medan.
Momentum yang sangat penting dimana perempuan juga mengambil peranan pada momentum Kebangkitan Nasional pada peristiwa lahirnya Sumpah Pemuda, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan I di Yogyakarta (1928) mendirikan Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) diketuai oleh Ny. Sukanto. Dilanjutkan dengan Kongres Perempuan II di Jakarta pada tanggal 22 Desember 1930 yang kemudian dikukuhkan menjadi hari Ibu.
Gerakan dan dinamika perempuan di Indonesia pada awalnya adalah karena keprihatinan terhadap pendidikan perempuan yang dinilai sangat terbelakang.
Oleh karenanya pendidikan menjadi simbol perjuangan dimulai dari memberikan bantuan, bimbingan, dan penerangan kepada perempuan pribumi dalam menuntut pelajaran agar bisa menyatakan pendapat di muka umum, mengajar anak-anak gadis agar mampu membaca, menulis, berhitung, dan punya keterampilan kerumahtanggaan. Agar kelak dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Perkumpulan atau organisasi apapun bentuknya menjadi sarana dan prasarana aktualisasi diri dalam kerangka menyongsong masa depan yang lebih baik. Yang terpenting adalah kebangkitan rasa nasionalisme tumbuh dan berkembang subur kemudian menghantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.
Dari 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 2021, usia Indonesia mencapai 76 tahun. Sebuah perjalanan panjang dari pengalaman mengenyam kemerdekaan. Akan tetapi persoalan yang melingkupi perempuan tidak menjadi lebih sederhana, bahkan persoalan perempuan selalu terkait dengan persoalan yang dihadapi anak.
Sebab perempuan dan anak adalah kelompok yang dianggap rentan dari berbagai ancaman kekerasan. Misalnya saja permasalahan perempuan dan anak ketika berhadapan dengan mukum.
Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap merugikan secara fisik dan psikis. Bahkan perempuan dan anak yang menjadi korban seringkali makin terpojokan ketika berhadapan dengan hukum
Sampai saat ini yang dirasakan belum optimal adalah implementasi pidana tambahan dalam UU 23/2004, aparat penegak hukum belum memahami konsep relasi kuasa, hingga kesulitan menghadirkan alat bukti dan menghadirkan korban di persidangan.
Tentu saja nantinya diharapkan para penegak hukum memiliki perspektif terhadap perempuan dan anak berhadapan dengan hukum yang menjadi korban kekerasan.
Isu-isu yang terkait dengan perempuan selain persoalan kekerasan dan hukum, yang tidak kalah pentingnya yaitu kesehatan, ekonomi, sosial dan politik.
Persoalan sosial yang sangat pelik saat ini seakan beriringan dengan persoalan kemanusiaan menghadapi tantangan pandemi Covid-19 yang masih belum usai. Kaum perempuan memiliki korelasi dengan situasi dan kondisi anak-anak Indonesia dengan ancaman stunting misalnya.
Diketahui, jumlah kasus stunting di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 27,67 persen. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8 persen pada tahun 2013. Namun, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen.
Permasalahan stunting (gagal tumbuh) masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah Indonesia, dan itu tidak lepas dari persoalan yang dihadapkan kepada perempuan yang memiliki tanggung jawab besar terhadap tumbuh kembangnya anak.
Refleksi 17 Agustus 2021 tidaklah semata-mata hanya sekadar mengenang peristiwa-peristiwa deklarasi kemerdekaan bangsa. Gelora nasionalisme yang pernah tumbuh dikalangan perempuan Indonesia harus menjadi api yang terus berkobar menerangi kemajuan bangsa.
Kita semua rindu akan suara lantang perempuan Indonesia untuk nasib bangsa yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak dasar perempuan dan anak.
Cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang utuh yang tidak pernah meninggalkan perempuan dan anak. Memberi perhatian yang konsisten dan sistemik terhadapnya demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik.
*Penulis merupakan dosen FISIP UIN Jakarta, Pengurus Komisi Perempuan, Remaja, dan Rumah Tangga MUI.