
BADAI korupsi kembali menyelimuti Pemprov Banten, justru di tahun terakhir kepemimpinan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy atau WH-Andika.
Selain pengadaan lahan gedung UPT Samsat Malimping, dua kasus lainnya adalah dugaan korupsi dana hibah ponpes dan pengadaan masker menjadi sorotan kepemimpinan WH-Andika.
Namun uniknya, rentetan kasus dugaan korupsi itu terjadi di saat Pemprov Banten di bawah kepemimpinan WH-Andika meraih opini WTP BPK RI.
Dikutip dari Republika, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kembali memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten Tahun Anggaran 2021. Atas capaian itu, BPK RI memberikan apresiasi tidak hanya terhadap pengelolaan keuangan, tetapi juga apresiasi itu diberikan terhadap capaian kinerja dalam berbagai sektor.
Baca Juga
- Banten dan Ketimpangan Pembangunan
- Refleksi HUT Banten ke-21: Korupsi, Kemiskinan, dan Pengangguran Masih Jadi Persoalan
Raihan opini WTP ini merupakan keenam kalinya diperoleh Pemprov Banten, dimana sejak tahun 2016 sudah memperoleh predikat opini WTP.
Pencapaian itu, diklaim sebagai bukti konkret kinerja Gubernur Banten Wahidin Halim dan Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy dalam mewujudkan pemerintahan yang baik atau good governance.
BPK berkeyakinan penuh memberikan opini WTP berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK atas LKPD Provinsi Banten TA 2021, termasuk implementasi atas rencana aksi yang telah dilakukan oleh Pemprov Banten.
Lantas publik terheran–heran. Bagaimana mungkin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah mengeluarkan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan penggunaan anggaran pemerintah daerah, masih melaporkan adanya potensi kebocoran keuangan daerah.
Hal serupa tidak hanya dialami Pemprov Banten. Banyak daerah lain yang laporan keuangannya memperoleh pendapat WTP, tetapi kemudian dilaporkan adanya penyimpangan anggaran.
Keheranan tersebut juga dialami oleh banyak masyarakat pemerhati pertanggungjawaban keuangan negara. Jawaban yang diberikan untuk kenyataan ini adalah bahwa pernyataan pendapat WTP terhadap laporan keuangan tidak berkaitan langsung dengan ada/tidaknya penyelewengan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa ada beberapa jenis pernyataan pendapat (opini) yang dapat diberikan oleh auditor eksternal. Salah satunya, yang terbaik, adalah WTP. Dengan pendapat ini, auditor mengatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh auditee telah bebas dari salah saji yang materiil (signifikan).
Bebas dari salah saji materiil mengandung arti bahwa angka–angka yang disajikan dalam laporan keuangan tidak dinyatakan terlalu besar/kecil secara materiil sesuai klasifikasi penyajian yang benar serta telah terdapat pengungkapan/penjelasan yang cukup memadai.
Valuasi, pengakuan, dan pengungkapan untuk setiap pos klasifikasi ditentukan oleh standar akuntansi yang diakui profesi. Untuk dapat menyatakan pendapat, auditor harus sudah melaksanakan prosedur audit untuk mengumpulkan bukti yang cukup dan tepat. Pengumpulan bukti harus dilakukan sesuai dengan standar audit yang diakui oleh profesi.
Beberapa dari prosedur yang harus dilakukan sesuai dengan standar audit adalah memahami lingkungan usaha auditee untuk mengevaluasi risiko inheren yang terkandung dalam audit serta memahami pengendalian intern untuk mengevaluasi risiko pengendalian yang terkandung di dalamnya.
Baik risiko intern maupun risiko pengendalian akan memengaruhi kemungkinan dapat dideteksinya salah saji materiil selama audit. Di samping itu, kecurangan (fraud) juga wajib dikaji dalam tahap audit tersebut. Dalam khazanah audit, kecurangan dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu pelaporan keuangan yang curang (fraudulent financial reporting) dan pencurian aset (misappropriation of assets).
Pelaporan keuangan yang curang dilakukan dengan mengutak-atik laporan keuangan sedemikian rupa sehingga hasilnya sesuai dengan keinginan pembuat. Pencurian aset sudah jelas dari kalimatnya. Kecurangan di lembaga pemerintah/negara pada umumnya masih dalam taraf pencurian aset.
Dampak Curang!
Apa pengaruh adanya kecurangan terhadap salah saji laporan keuangan pemerintah? Jika melalui proses audit, kerugian negara akibat kecurangan telah terbukti maka kerugian tersebut, seharusnya tidak dilaporkan dalam pos aktiva/aset.
Kalau kerugian berhubungan dengan pelaksanaan program/proyek maka kerugian itu tidak boleh dilaporkan sebagai biaya program/proyek. Ada dua kemungkinan untuk melaporkan kerugian karena kecurangan.
Jika kerugian dapat ditagihkan atau dituntutkan adanya ganti rugi dari pihak yang menyebabkan terjadinya kerugian maka pos yang layak untuk pelaporan adalah piutang.

Sebaliknya apabila tuntutan ganti rugi tidak dimungkinkan maka perlu pos tersendiri untuk melaporkan adanya kerugian karena kecurangan. Hal yang sama, barangkali, berlaku jika terjadi ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran.
Dengan bentuk pelaporan yang demikian masyarakat bisa mengetahui seberapa bersih dan efisiennya pengelolaan anggaran di sektor pemerintah/negara.
Kerugian negara akibat kecurangan tidak mengenal konsep materialitas. Kecurangan sebesar Rp 1,- tetap merupakan kecurangan. Pelaporan kerugian negara akibat kecurangan, betapa pun kecilnya, dimaksudkan untuk menunjukkan bersih tidaknya pengelolaan keuangan negara.
Bebas dari kecurangan merupakan ciri khas dalam akuntabilitas publik. Namun, kalau dilihat dari wacana yang ada bahwa penggelembungan harga, dalam anggaran dapat berkisar antara 30–50 persen maka kemungkinan kerugian negara itu tentulah cukup material (besar) secara relatif.
Evaluasi
BPK merupakan auditor eksternal bagi lembaga-lembaga pemerintahan/negara. Lembaga-lembaga ini adalah auditee. BPK memberikan pendapat terhadap unit satuan kerja di pemerintah baik pusat atau daerah, maupun lembaga-lembaga negara yang lain.
Oleh karena itu, ia tentu sudah melakukan prosedur sesuai dengan standar audit yang ditentukan.
Evaluasi lingkungan usaha, pengendalian intern, dan kemungkinan terjadinya kecurangan harus disesuaikan dengan kondisi di mana audit beroperasi. Untuk mencegah munculnya keheranan-keheranan seperti disebutkan di atas, ada baiknya kita ulas kondisi yang memungkinkan terjadinya kecurangan dalam kaitannya dengan operasi satuan kerja lembaga-lembaga pemerintah/negara.
Kecurangan terhadap pengelolaan keuangan negara atau sering disebut dengan korupsi, bukan hal yang aneh di Indonesia. Masyarakat Transparansi Internasional menahbiskan Indonesia pada peringkat ke-100 terburuk dari 183 negara di dunia dalam hal korupsi. Lingkungan usaha unit satuan kerja di lembaga pemerintah/negara berada dalam kondisi ini.
Oleh karena itu, siapa pun auditor eksternal yang mengaudit lembaga-lembaga tersebut harus sudah menempatkan risiko terjadinya kecurangan pada tingkat yang cukup tinggi. Sementara itu, pada waktu mengevaluasi risiko pengendalian, perhatian tidak cukup hanya diberikan pada kebijakan dan prosedur serta monitoring yang diterapkan dalam proses pengelolaan anggaran.
Bagian paling penting untuk dikaji adalah faktor yang dapat mengakibatkan tumpulnya sistem pengendalian intern, yaitu adanya kolusi atau kongkalikong. Tingkat penyebaran kongkalikong di Tanah Air ini tampaknya sudah sangat meluas ke seluruh sistem.
Kongkalikong tidak hanya terjadi pada tingkat operasional, tetapi telah menohok pada level puncak manajemen. Tidak itu saja, kongkalikong ternyata juga telah melibatkan pihak eksekutif, legislatif, dan pengusaha.
Kongkalikong telah mencakupi tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring.
Kongkalikong tidak mudah dideteksi. Kebijakan dan prosedur yang ditentukan bisa saja telah diikuti dengan saksama. Pandangan yang sekarang ini dianut adalah bahwa jika pengeluaran anggaran telah dilakukan sesuai dengan kebijakan/prosedur maka pengeluaran tersebut akan dianggap sah.
Audit terhadap anggaran yang bebas dari kecurangan seharusnya meretas lebih dalam dari sekadar ketaatan pada kebijakan dan prosedur. Untuk seorang auditor, tentu ada cara untuk dapat mendeteksinya. Akan lebih baik lagi kalau sistem transaksi dan pembayaran yang diberlakukan telah dirancang untuk menghindari terjadinya kongkalikong tersebut.
WTP memang tidak menjamin bebasnya lembaga pemerintah/negara terkait dari kecurangan. Namun, pendapat itu sering digunakan sebagai mantra kebersihan bagi auditee. Masyarakat awam, yang tidak tahu seluk-beluk audit, sering terkesima dengan kenyataan ini.
Agar informasi yang tersebar tidak menyesatkan, ada baiknya jika pemberian pendapat WTP bagi lembaga pemerintah/negara dilakukan dengan lebih hati–hati. Di samping itu, bentuk pelaporan keuangan yang memungkinkan diungkapkannya kerugian negara karena kecurangan perlu dipikirkan.
*Ditulis Oleh: Eko Supriatno, M.Si., M.Pd. Dosen UNMA Banten dan Penekun Kajian di Laboratorium Sosial.