spot_img

Banten dan Ketimpangan Pembangunan

Foto: Eko Supriatno (Penulis).

KETIMPANGAN masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Provinsi Banten yang mahaberat.

Gemuruh pembangunan selama bertahun-tahun tidak hanya memperbesar kue ekonomi yang tercermin pada besaran PDB yang terus meninggi, tapi pembangunan juga menghasilkan residu yang tak dikehendaki: ketimpangan antarwilayah, disparitas antarsektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk.

Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten September 2020 meningkat. Gini Ratio pada September 2020 sebesar 0,365.

Pada September 2020, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,365. Angka ini naik 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2020 yang sebesar 0,363.

Baca Juga

Gini Ratio di daerah perkotaan pada September 2020 tercatat sebesar 0,361 naik dibanding bulan Maret 2020 sebesar 0,360. Sedangkan Gini Ratio di daerah perdesaan pada September 2020 masih sama seperti Maret 2020 yaitu sebesar 0,296.

Pada September 2020, distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,71 persen. Artinya pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Jika dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 18,99 persen dan di daerah perdesaan sebesar 22,00 persen.

Kesenjangan sosial menjadi persoalan pelik yang hampir terjadi di setiap daerah. Terlebih selama pandemi Covid-19 tingkat kemiskinan di beberapa daerah meningkat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, selama September 2020- Maret 2021 terjadi peningkatan persentase penduduk miskin yang ada di Provinsi Banten. Persentasenha pada bulan September 2020 sebesar 6,63% dan meningkat 0,03 persen pada bulan Maret 2021.

Angka tersebut menjadi jumlah tertinggi dalam kurun waktu 9 tahun terakhir, dengan total penduduk miskin yang ada berjumlah 867,23 ribu jiwa. Dapat dikatakan fluktuatif atau menunjukkan gejala yang selalu berubah. 

Berdasarkan data BPS trend tingkat kemiskinan di pedesaan lebih besar jika dibandingkan dengan perkotaan. Pada bulan Maret 2021 persentase yang ada di pedesaan sebesar 8,49% atau 2,56% lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di wilayah perkotaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa disparitas kemiskinan antara daerah perkotaan dengan pedesaan masih cukup tinggi.

Fenomena tersebut seharusnya mendapat perhatian lebih oleh pemerintah daerah setempat guna mengentaskan tingkat kemiskinan yang ada di Provinsi Banten. Terlebih selama pandemi covid-19, Provinsi Banten menjadi salah satu daerah dengan kasus positif tertinggi menyebabkan lumpuhnya perekonomian untuk sementara waktu.

Bahkan tidak sedikit masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya. Sehingga mengakibatkan naiknya angka kemiskinan di daerah tersebut.

Sepanjang bulan September 2020-Maret 2021 terjadi kenaikan Garis Kemiskinan sebesar 2,96 persen, yang mulanya Rp515.110,- menjadi Rp530.363,- per kapita. Garis Kemiskinan sendiri merupakan jumlah minimal pendapatan yang harus dipenuhi agar dapat mencukupi kebutuhan pokok di suatu wilayah. Penduduk yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

Jika diperhatikan dengan saksama terjadi penurunan nilai indeks kedalaman kemiskinan (P1) yang semula 0,141 menjadi 1,088, jumlah tersebut tentu menjadi indikasi bahwa rata-rata pengeluaran penduduk daerah setempat semakin mendekati Garis Kemiskinan.

Meskipun selama pandemi Covid-19 pemerintah sudah memberikan bantuan sosial tetap saja masyarakat harus menekan pengeluaran agar dapat bertahan dan mencukupi kebutuhannya selama pandemi covid-19. Selama bulan September 2020-Maret 2021 juga terjadi penurunan nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) yang pada bulan September 2020 berada di angka 0,345 turun menjadi 0,265 pada bulan Maret 2021. Maknanya pengeluaran masyarakat Provinsi Banten di kalangan masyarakat miskin semakin mengecil.

Untuk mengatasi ketimpangan yang ada, pemerintah dapat mengukur besaran kesenjangan pengeluaran penduduknya dengan menggunakan indikator Gini Ratio. Besaran Gini Ratio Banten yaitu sebesar 0,365, jumlah tersebut masih sama dengan bulan September 2020 yang berarti tidak ada perubahan ketimpangan pendapatan penduduk sepanjang bulan September 2020-Maret 2021. 

Namun, jumlah tersebut masih di bawah rerata Gini Ratio nasional yang terletak pada angka 0,384.

Beberapa kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah untuk mengatasi kesenjangan tersebut seperti memberikan bantuan sosial berupa sembako atau bahan makanan agar tidak disalahgunakan untuk membeli keperluan lainnya.

Sebab sekitar 70% pengeluaran penduduk miskin digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan, menjaga kestabilan harga bahan makanan yang sering dikonsumsi masyarakat laiknya beras dan telur. Dengan berbagai upaya tersebut diharapkan pemerintah dapat meningkatkan taraf hidup yang layak sehingga tingkat kemiskinan yang ada di setiap daerah dapat mengecil.

Foto: Ilustrasi ekonomi (Istimewa).

Selain memberikan bantuan berupa sembako, pemerintah daerah juga bisa melakukan pemberdayaan masyarakat atau pelatihan keterampilan agar masyarakatnya dapat menciptakan sumber penghasilan baru. Seperti pelatihan merajut dan menjahit bagi ibu rumah tangga atau keterampilan beternak dan bercocok tanam bagi kepala keluarga.

Dengan demikian, masyarakatnya memiliki keterampilan untuk berwirausaha, sehingga mereka yang mengalami dampak atas pandemi Covid-19 tidak berlarut dalam kesulitan ekonomi.

Sebab, pada dasarnya permasalahan sosial khususnya kemiskinan menjadi fenomena yang harus ditangani dengan tepat oleh pemerintah daerah. Tidak menutup kemungkinan bahwa permasalahan sosial dapat menjadi penyebab dari kejahatan sosial. Semakin kecil tingkat kemiskinan diharapkan semakin baik taraf hidup masyarakatnya yang ada sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial antar wilayah di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi satu dekade terakhir hanya dinikmati segelintir pihak. Pembangunan tidak menyejahterakan semua lapisan. Upaya WH-Andika membalik arah pembangunan lewat pemerintahan belum mengikis persoalan ketimpangan.

Perekonomian Banten pada triwulan III 2020 mengalami perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara quarter to quarter, terdapat pertumbuhan sebesar 4,55%. Namun secara year on year masih terkontraksi cukup sebesar -5,77%.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada triwulan III 2020 secara umum didorong oleh masih berlanjutnya penurunan seluruh komponen dari sisi pengeluaran serta penurunan hampir seluruh sektor utama dari sisi lapangan usaha. Kondisi tersebut didorong oleh pandemi Covid-19 yang masih berlanjut walaupun sudah menunjukkan perbaikan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) wilayah Banten mengalami penurunan pada tahun 2020. Pos Pendapatan APBD wilayah Banten yang meliputi Provinsi Banten, 3 Kotamadya, dan 5 Kabupaten mengalami penurunan sebesar -2,9% dibandingkan tahun 2019.

Di sisi lain, pos Belanja wilayah Banten hanya meningkat sebesar 1,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Sampai dengan triwulan III 2020, realisasi pendapatan provinsi maupun kabupaten/kota mencapai 68,4% sedangkan realisasi belanja terealisasi 50,9%.

Sama halnya dengan APBD Provinsi Banten, realisasi Dana Transfer ke wilayah Banten dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat lebih rendah dibanding realisasi triwulan yang sama tahun 2019. Realisasi mencapai 62,4% hingga triwulan III 2020, lebih rendah dibandingkan triwulan II 2019 sebesar 38,6%.

Inflasi Provinsi Banten pada triwulan III 2020 tercatat sebesar 1,63% (yoy), lebih rendah dibandingkan historis inflasi 3 tahun terakhir maupun inflasi triwulan II 2020 yang masing-masing sebesar 3,46% (yoy) dan 2,49% (yoy).

Angka tersebut berada dibawah realisasi inflasi regional Jawa yang mencapai 1,66% (yoy) namun di atas inflasi nasional yang tercatat sebesar 1,46% (yoy). Berlanjutnya penurunan Iaju inflasi pada triwulan III didorong oleh menurunnya tekanan pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau dikarenakan tersedianya pasokan yang cukup di pasaran ditengah masih berlangsungnya PSBB di beberapa wilayah di Provinsi Banten.

Stabilitas keuangan di Provinsi Banten pada triwulan III 2020 dalam kondisi yang baik. Tercermin dari trent positif pertumbuhan indikator utama perbankan antara lain aset, DPK, dan penyaluran kredit yang berada dalam kondisi positif serta risiko kredit yang masih berada di bawah batas 5%. Aset tumbuh sebesar 8,03% (yoy), DPK tumbuh 7,75% (yoy), kredit tumbuh 2,36% (yoy). Dari sisi Non Performing Loan di level 2,51% (yoy).

Dari sisi kinerja keuangan korporasi, adanya pandemi Covid-19, membuat kinerja keuangan korporasi pada triwulan II 2020 terpantau sedikit menurun. Dalam laporan keuangan perusahaan sampai dengan triwulan II 2020, rasio rentabilitas korporasi yang ditunjukkan oleh rasio Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE) dan profit margin menunjukkan arah yang menurun. 

Tingkat ROA mengalami penurunan dari 6,11% di triwulan I 2020 menjadi 5,43% di triwulan II 2020. Demikian juga dengan ROE mengalami penurunan dari 12,29% menjadi 11,53% di triwulan I 2020. Kondisi serupa juga terjadi pada tingkat profit margin juga menunjukkan penurunan dari 9,72% menjadi 9,36%.

Sementara itu, dari sisi intermediasi perbankan di Provinsi Banten tercatat mengalami penurunan yang dicerminkan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR) yang menurun.  Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 164,61% menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 175,27%. Dari sisi risiko, rasio Non Performing Loan (NPL) tercatat meningkat yaitu 2,51%, lebih tinggi dari tw II 2020 sebesar 2,28%. Namun demikian, rasio NPL tersebut masih berada di bawah threshold sebesar 5%.

Foto: Kawasan Pusat Pemerintahah Provinsi Banten (Istimewa).

Seiring membaiknya pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada triwulan III 2020, kinerja transaksi Sistem Pembayaran (SP) tercatat mengalami peningkatan. Transaksi non tunai melalui RTGS maupun kliring tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. 

Namun demikian, transaksi KUPVA BB tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Penurunan transaksi valuta asing antara lain didorong oleh berkurangnya kunjungan ke luar negeri sehubungan dengan penyebaran virus corona yang berlangsung sejak Desember 2019.

Dari sisi Sistem Pembayaran Tunai, pada triwulan III 2020, total perputaran uang melalui Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Banten tercatat mengalami net outflow sebesar Rp1,74 triliun, meningkat dibandingkan dengan posisi periode sebelumnya yang mencatat net outflow sebesar Rp1,71 triliun.

Kondisi net outflow tersebut terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran pemerintah untuk jaring pengaman sosial dan penyediaan layanan kesehatan khususnya untuk menghadapi pandemi Covid-19.

Kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Banten pada periode Agustus 2020 mengalami penurunan seiring dengan menurunnya jumlah angkatan kerja disertai dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Lebih lanjut, pandemi Covid-19 telah menyebabkan kesejahteraan hidup masyarakat di Provinsi Banten mengalami penurunan. Penurunan ini dicerminkan oleh meningkatnya angka kemiskinan baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Garis Kemiskinan yang meningkat sebesar 4,74% dengan jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten menjadi 5,90%. Lebih lanjut, kenaikan angka kemiskinan tersebut mendorong meningkatnya ketimpangan masyarakat sebagaimana ditunjukkan oleh angka gini ratio pada Maret 2020.  Gini Ratio Provinsi Banten meningkat 0,363 pada Maret 2020. 

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada triwulan berjalan diperkirakan membaik dibanding triwulan sebelumnya, Namun, pertumbuhan keseluruhan pada tahun 2020 diperkirakan menurun dibandingkan pertumbuhan tahun 2019. Di sisi penawaran, sebagian lapangan usaha utama diperkirakan akan tumbuh meningkat antara lain industri pengolahan, perdagangan, pertanian, akomodasi & makan minum, dan transportasi & pergudangan.

Di sisi perkembangan harga, pada triwulan berjalan masih akan mencatatkan tren inflasi. Namun, laju inflasi Provinsi Banten pada triwulan IV 2020 diperkirakan lebih rendah dibandingkan triwulan III 2020 disebabkan tren penurunan harga komoditas emas perhiasan.

Berdasarkan kelompok komoditas, inflasi tersebut akan didominasi oleh kelompok bahan makanan, makanan dan minuman jadi serta tembakau dan kelompok barang pribadi lainnya. Secara tahunan, inflasi pada tahun 2020 diperkirakan lebih rendah dibanding tahun 2019. 

Masih berlakunya PSBB hingga pertengahan triwulan IV dan masih tertahannya konsumsi masyarakat menjadi downside factor yang menahan laju inflasi lanjutan sehingga inflasi pada tahun 2020 diprakirakan berada dibawah sasaran inflasi nasional sebesar 3,0% ± 1%.

Pada triwulan I 2021, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melanjutkan tren peningkatan. Hal ini didorong oleh peningkatan Konsumsi Rumah Tangga karena dilanjutkannya stimulus fiskal oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Masuknya vaksin Covid-19 di Indonesia pada awal Desmeber dan pada awal Januari diprakirakan mendorong optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Secara keseluruhan, pada tahun 2021 ekonomi diprakirakan akan kembali meningkat dikarenakan base effect yaitu terkontraksinya perekonomian pada tahun 2020.

Lebih lanjut, adanya vaksin dan penerapan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin menjadi prasyarat bagi tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dari sisi perkembangan harga, pada tahun 2021, inflasi diprakirakan masih berada pada sasaran inflasi nasional sebesar 3,0% ± 1%.

Ketimpangan antarsektor terjadi karena kue pertumbuhan tidak terbagi merata (untuk semua pelaku ekonomi). Kue pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak ditopang sektor modern (nontradable).

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable versus nontradable ini memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor nontradable bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir.

Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dari sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan daerah lain, misalnya. Namun juga menyentuh dimensi kesejahteraan; tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera.

Memang ada argumen yang selalu jadi apologi; kesenjangan pendapatan biasa terjadi pada tahap awal pembangunan. Namun, bagi Indonesia argumen ini sulit diterima. 

Salah satu strategi Pemerintah yang berhasil yang patut dicatat adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. Mengawali pembangunan dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di perdesaan, pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM berpendidikan dan berketerampilan tinggi.

Harus disadari benar, selain jadi lokus kemiskinan, saat ini kualitas SDM perdesaan juga amat rendah. Penguasaan modal (lahan dan pendanaan) terbatas.

Kapasitas desa yang lemah semakin tunadaya (powerless) akibat kebijakan pembangunan nasional menempatkan desa/perdesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain atau di kota, oleh pihak lain).

Untuk mengikis ketimpangan, pembangunan perdesaan lewat dua cara menjadi keniscayaan.

Pertama, Desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan bertumpu pada pendekatan administratif. Desa harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah.

Kedua, Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat perdesaan. Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior.

Desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik. Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa. Perlahan tapi pasti, kemiskinan akan terkikis. 

*Ditulis oleh: Eko Supriatno. Dosen, Penulis, Pekerja sosial di Laboratorium Sosial, dan Direktur pada Banten Religion and Culture Center (BRCC).

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

Krisis Keteladanan Pejabat Negara

Jokowi di Persimpangan: Golkar atau Gerindra?

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart