Oleh: Endi Biaro*
NETIZEN kita nyaris jatuh menjadi nekrofilia (mencandu kehancuran, menyukai kekelaman, dan pesta pora atas musibah pihak lain).
Akar kekerasan di dunia maya ini ada yang sifatnya lumrah. Sudah lazim terjadi. Semacam disposisi mental (kecenderungan agresif), frustasi sosial yang butuh ditumpahkan, atau lantaran miskin narasi dan minus literasi (hingga mudah diprovokasi).
Bisa juga karena —mengutip teori Tedd Gur, bersumber dari deprivasi relatif. Semacam suasana kejiwaan yang labil, marah, kecewa, dan persepsi diperlakukan tak adil.
Berbalik punggung dengan lelaku netizen yang kian barbar.
Baca Juga
- Sasar Dakwah Digital, LDNU Tangerang Gelar Pelatihan Website
- Kerap Makan Korban, Warga Rajeg Keluhkan Jalan Licin Akibat Tumpahan Tanah Galian
Para pegiat Medsos senyatanya adalah objek permainan. Jutaan netizen, sesungguhnya penikmat siklus komunikasi alami. Berselancar di dunia maya untuk rupa-ruap hal bermanfaat.
Hanya saja, mesin buzzer datang merangsek kesadaran publik.
Mereka mengobarkan api permusuhan, guna memetik surplus keuntungan bagi mereka sendiri atau kelompoknya.
Operasi buzzer persis menikam pertahanan terakhir publik, yakni rasa empati dan nurani.
Metode buzzer mencari titik terlemah manusia, yakni memancing amarah dan menyulut letupan kebencian.
Mereka sengaja merekayasa dusta, memelintir fitnah, menggoreng info sesat, agar siapapun, ikut terbakar. Kegaduhan adalah pasar bisnis mereka.
Tak heran jika rangkaian serangan buzzer adalah sekitar agama dan keimanan. Karena mereka tahu persis, khalayak Indonesia menghormati dan mencintai simbol-simbol religi.
Liciknya, bola sansak yang mereka pukul beruntun, seringkali ke agama Islam. Muslihat keji mereka olah saban hari. Selalu ada yang dipersoalkan. Mulai dari isu hijab, kue klepon, poligami, hijrah, sampai proyek isu radikal dan terorisme.
Pancingan ini kerap jitu. Setiap lansiran rekayasa isu hadir, maka mendapat respons riuh rendah. Akhirnya, konsentrasi publik yang mestinya mengarah ke soal darurat dan penting, jadi terabaikan.
Saat ini, publik dan semua kekuatan sipil mestinya mengarah ke kasus-kasus raksasa. Semacam korupsi, kemerosotan demokrasi, ancama utang, Corona, hingga krisis ekonomi dan kesulitan hidup yang mencekik.
Tapi karena propaganda buzzer penguasa, maka isu-isu publik selalu buyar sasaran. Akhirnya, para garong dan koruptor terus berpesta pora.
Kerusakan lain yang diakibatkan buzzer adalah: menjadikan netizen kita saling serang, mengobarkan kebencian, polarisasi, dan berwatak brutal.
Hingga itu, tak heran jika saat ini Netizen Indonesia dianggap paling tak sopan dan kurang ajar diantara negara-negara lain.
Sisi lain yang memperburuk diskusi publik oleh netizen adalah hilangnya keseimbangan dari wacana tanding.
Sulit menghadirkan isu alternatif yang sehat, karena segera dikerubuti buzzer. Publik kehilangan kesempatan menyimak narasi akademik, argumentasi ilmiah, dan keterangan objektif para pakar.
Beberapa opinion leader yang bersikap kritis misalnya, kini memilih bungkam. Karena tak henti dibantai kaum pendengung. Ini yang terjadi pada, misalnya, Kwik Kian Gie, Salim Said, Susi Pudjiastuti, dan yang lainnya.
Lanskap diskusi publik kemudian pincang. Semata mempertontonkan adu keras, adu kasar, adu vulgar.
Sialnya, asas penting dalam dialog publik, yakni kesetaraan dan kebebasan, juga digergaji.
Pihak yang kritis terhadap negara digergaji tanpa ampun. Sementara yang pro, bebas bicara semaunya.
Mengutip Juergen Habermas, ruang publik (isu publik) akan melahirkan ide dan gagasan sehat jika ada jaminan kesetaraan.
Semua faktor ini luruh dalam dunia netizen tanah air. Maka yang menguat adalah “the market of lemon”, alias membanjirnya isu busuk dan kotor.
* Penulis adalah pegiat literasi.