spot_img
spot_img

Negara Gagal Maknai Demokrasi

Oleh: Abdul Haris

HIRUK pikuk yang terjadi belakangan ini membuat rezim gagap dan panik menghadapi umat yang sedang mencintai demokrasi. Setelah dua tahun lalu pasca pesta demokrasi pemilu capres, dimenangkan Joko Widodo.

Kini rezim kembali melakukan kepanikan dengan gaya yang sama. Mengancam, menakut-nakuti rakyat sipil, dan lain-lain.

Pasalnya, ada seorang ulama yang telah pulang dari luar menuju negerinya sendiri. Dalam hal ini rezim menunjukan kepanikannya. Dengan melibatkan banyak kekuatan untuk memagari umat yang sedang menyambut ulama.

Kecintaan umat pada sosok beliau (HRS), bukan kecintaan secara individualisnya. Tetapi, terletak pada sosok sang pembawa islam penegak amar ma’ruf nahi munkar.

Baca Juga

Umat memandang beliau sebagai sosok yang mempunyai nasab pada Nabi besar Muhammad SAW., Yaitu kekasih Allah. Tuhan seru sekalian alam.

Kepulangan ulama yang satu ini membawa kedamaian bagi sebagian besar umat Islam yang rindu padanya. Di satu sisi, secara personal beliau hanya seorang rakyat sipil biasa yang rindu pada negaranya. Tetapi di sisi lain, secara keulamaan beliau adalah sosok dirindukan oleh umat Islam. Hal itu tak bisa dipungkiri. Negara harus mengakuinya.

Jika kita bandingkan dengan kisah berikut, sangat jauh sekali perbedaannya. Ada seorang ulama berkebangsaan Iran, bernama Khomeini. Kepulangannya dari pengasingan di Paris, Perancis, pada 31 Januari 1979 disambut oleh jutaan umat.

Lebih dari 500 wartawan seluruh penjuru dunia ikut mendaftar, hanya untuk bisa terbang dalam satu pesawat yang sama untuk menyambut kedatangan Khomeini. Setelah 15 tahun tinggal di Paris.

Ulama bersorban hitam dan berjenggot panjang ini memang pulang untuk sebuah misi transparan, yaitu jelas ingin menumbangkan rezim Iran, Syah Reza Pahlevi. Sudah berkuasa selama bertahun-tahun.

Kekuasaannya tak tertandingi. Layaknya kaisar persia zaman dahulu. Tak lama kedatangan Khomeini, rezim Iran tumbang.

Dalam kisah di atas tentu sangat jauh sekali perbedaannya dengan kepulangan ulama HRS yang hanya rindu pada negaranya. Tidak ada niat untuk memecah belah, apalagi menumbangkan rezim.

Lalu ada apa dengan rezim kita ini? Kenapa begitu panik melihat kecintaan umat terhadap sosok beliau?

Foto: Ilustrasi kepulangan Habib Rizieq (detik.com)

Penegak Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Secara epistemologi dalam aliran teologi yang dikemukakann oleh Rasulullah SAW. pada kitab hadist Kuttub Al-Sittah, jika kita melihat beliau (HRS) berdakwah sudah sama persis dengan apa yang di kemukan dalam kitab tersebut.

Banyak ulama di antara sekian ulama hanya melakukan amar ma’ruf. Tetapi, tidak melakukan nahi munkar. Ulama-ulama ini hanya mengajak umat pada jenis-jenis ibadah ritualisasi. Seperti salat, puasa, zikir, dan lain-lain.

Tetapi ketika ada kezaliman di mana-mana, ulama-ulama ini hanya berdiam diri, menunggu takdir tanpa ikhtiar nyata. Padahal Allah telah menyeru kepada umat manusia bahwa berdoa tanpa ikhtiar adalah suatu yang kesia-siaan.

Tertera jelas dalam Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 11, yang artinya sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Sedangkan beliau (HRS), melakukan dakwah sesuai dengan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu tidak hanya mengajak umat untuk menjalankan salat, puasa, zikir, tetapi juga mengajak nahi munkar. Ketika ada ketidakadilan, maka harus langsung turun tangan.

Memang cara beliau dan pengikutnya agak sedikit keras. Tetapi itu cara masing-masing ulama berdakwah. Jika kita membaca sejarah pada zaman Nabi, beliau ini mirip dengan cara berdakwahnya Umar bin Khatab. Keras tapi penuh kasih sayang.

Foto: Ilustrasi Habib Rizieq dan Presiden Jokowi (Google/istimewa).

Semua Berlomba-lomba Menunjukan Kekuatan

Kedatangan ulama satu ini membuat seluruh stakeholder rezim panik dan tak tau arah. Semuanya ikut berlomba-lomba untuk mengambil alih tugas dan wewenang. Mengurusi ulama yang pulang kampung.

Dari mulai menteri, DPR, POLRI, TNI, Ormas-ormas, sampai underbow partai. Tak tanggung-tanggung dua Kapolda di copot dan 1 gubernur dipanggil untuk memberikan keterangan.

Jelas ini menciderai makna reformasi dan demokrasi yang telah disepakati tertuang dalam Konstitusi. Kebebasan berpikir dan bersuara kini hanya bisa berorientasi pada ucapan yang menyanjung-nyanjungkan kinerja pemerintah. Tidak untuk melawan pikiran-pikiran ulung dan melawan kezaliman, sekalipun itu datangnya dari arah pintu rezim.

Penulis berpikir, pemerintah lebih baik fokus mengurusi kemiskinan, ketimpangan, dan perbaikan ekonomi di masa pandemi ini. Ketimbang ngurusin terlalu out of the box kedatangan ulama.

*Penulis adalah Kader HMI Jakarta Barat dan Ketua Himpunan Mahasiswa Bima Tangerang.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

Data Bersih, Pilkada Rapih

Data Raksasa di Pilkada, No Drama!

Melawan Perang Dusta di Pilkada

KPU, Putusan MK, dan Gerakan Mahasiswa

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart