Oleh: Abdul Haris
SETELAH awal penyebaran Covid-19 dianggap sepele, kini pemerintah kembali menganggap enteng kondisi saat ini: Pilkada akan tetap dilanjutkan di tengah pandemi.
Tentu ini sangat berisiko. Baik di tatanan perekonomian maupun kesehatan. Padahal selama ini sudah maksimal diupayakan penanganannya.
Hal ini seperti menggali dan menutup lubang yang sama. Dengan kata lain, menyembuhkan luka lalu kemudian membiarkan luka untuk kembali merana.
Kita maphum Pilkada adalah sistem demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang. Tingkat urgensinya tinggi. Harus dilakukan demi berjalannya sistem pemerintahan.
Baca Juga
- Jika Pilkada Terus Dilanjut Saat Pandemi Covid-19, Azyumardi Azra Akan Golput
- Khawatir Kasus Covid-19 Meningkat, Aktivis Banten Minta Pilkada Ditunda
Namun, demokrasi tidak melulu bicara jabatan. Tetapi bagaimana melihat kondisi saat ini dan ke depan. Jika ada potensi merugikan ekonomi dan kesehatan bangsa maka jangan dilakukan. Poinnya adalah kita pentingkan kemanusiaan.
Memang pelaksanaan Pilkada harus tetap dijalankan, agar pemerintahan di 208 daerah tidak mandek. Hanya saja waktunya tidak pas. Karena berpotensi meningkatnya angka penyebaran Covid-19.
Walaupun pemerintah sudah mengimbau kepada jajaran dan masyarakat pada umumnya, agar menjalankan protokol kesehatan saat Pilkada. Namun, itu tidak menjamin bahwa angka terkonfirmasi Covid-19 tidak akan naik.
Kita tahu persis bagaimana gaya hidup masyarakat Indonesia. Semakin hari semakin tidak terkendali dengan aturan-aturan protokol kesehatan.
Sudah diatur saja masih meningkat angka penyebaran Covid-19. Apalagi membiarkan perayaan demokrasi ini terus berjalan.
Seperti ucapan pengamat LIPI Siti Zuhro melalui Kompas.com., Dia menilai terlalu naif jika alasan mengurangi pelaksanaan tugas sebagai alasan agar Pilkada tetap jalan.
Kekhawatiran Partai Politik
Penulis menilai, jika Pilkada ditunda, partai politik khawatir tidak ada aktivitas pembagian jatah. Ini sangat logis dan tentu pragmatis.
Kita sering melihat perhelatan hingar bingar Pilkada, partai politik menganggap pemilihan umum adalah ajang untuk mengaktualisasikan diri: Kekuasaan harus dimenangkan.
Jika Pilkada ditunda, aktivitas-aktivitas kepartaian mandek. Sebab dari aktivitas itulah pundi-pundi kekuasaan berjalan.
Itulah mengapa sebagian partai politik menginginkan Pilkada tetap lanjut. Bagi partai politik yang masih waras dan mempunyai sisi kemanusiaan, tentu mempunyai prinsip untuk menunda Pilkada tersebut. Bagi yang tak waras hanya bermuara pada kekuasaan semata.
Bibutuhkan Sisi Kemanusiaan Pemangku Kebijakan
Pilkada 2020 adalah pemilihan kepala daerah yang dilematis bagi pemangku kebijakan. Pemerintah menginginkan Pilkada terus berjalan, agar 208 daerah tidak mengalami kemandekan kepemimpinan. Di sisi lain, pemerintah ditekan oleh kondisi pandemi yang harus segera disembuhkan.
Dalam hal ini DPR, pemerintah, dan KPU sebagai penyelenggara pesta demokrasi harus memiliki ketegasan. Harus memiliki sisi kemanusiaan di atas kepentingan pesta demokrasi.
Sebagai pemegang wewenang, jangan sampai keputusan Pilkada tetap dijalankan karena hasil mendengar lobi-lobi atau hasutan kekuasaan. Hanya mementingkan aktivitas kepartaian.
Beberapa Gagasan
Jika Pilkada tetap dijalankan itu sah-sah saja. Tetapi kondisi seperti ini berisiko sekali apabila tetap melakukan sistem datang ke TPS langsung.
Ada baiknya mencoba gunakan dengan cara E-voting. Dengan mengandalkan sistem digitalisasi yang berbentuk aplikasi.
Masyarakat yang mempunyai hak pilih cukup login menggunakan data valid berupa nama, nomor KTP, alamat, dan disertai sidik jari. Itu lebih praktis dan muda dijangkau.
Untuk daerah-daerah berpotensi tidak terjangkau internet, tugas pemerintah memaksimalkan potensi agar tersalurnya internet di daerah tersebut.
*Penulis adalah Kader HMI Jakarta Barat dan Ketua Himpunan Mahasiswa Bima Tangerang.