Oleh: Diana Eka Sri Agustin*
PEMERINTAH melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI tengah membahas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%.
Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Nantinya, jasa pendidikan tak lagi dikecualikan dalam lingkup non Jasa Kena Pajak (JKP).
Bukan hal yang mengejutkan jika pemerintah merencanakan pajak di sektor pendidikan. Karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, pendidikan dianggap sebagai komoditas ekonomi.
Baca Juga
- Menyoal Beban Ganda Perempuan di Tengah Pandemi
- Menjemput Tugas Manusia, Sebagai Hamba Sekaligus Khalifah
Hal ini juga tertuang dalam UU Perdagangan Pasal 4 ayat (2) huruf d, bahwa jasa pendidikan memang menjadi salah satu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Dari fakta kebijakan ini dapat menggambarkan lepasnya tanggung jawab negara untuk melayani pendidikan secara berkualitas dan gratis.
Sebaliknya negara sibuk mencari celah memperbanyak pungutan dari rakyat. Bahkan pendidikan anak negeri yang sudah sekarat tak luput menjadi incaran pajak. Bukankah ini fakta bahwa pendidikan dalam sistem kapitalis merupakan jasa yang dikomersilkan.
Kenyataan bahwa pendidikan dikomersialisasi tidak dapat dihindarkan, karena kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh negara dan pungutan pajak atas jasa pendidikan komersial dianggap sah-sah saja. Sebab dalam sistem ekonomi kapitalis pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara.
Sementara itu, Indonesia merupakan negara yang berlimpah Sumber Daya Alam (SDA), tetapi kesejahteraan masyarakatnya sangat buruk. Ditambah pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan negara lain.
Inilah aturan main kapitalis yang membebaskan dan memberikan karpet merah untuk negara asing menguasai kekayaan rakyat. Padahal jika SDA dikelola mandiri, hasil pendapatannya pasti akan sangat besar dan mampu memenuhi kebutuhan rakyat tanpa harus mengambil pajak dari rakyat.
Disisi lain, kita dapat melihat dengan jelas bahwa rencana pemerintah di atas menunjukkan pengaruh sistem kapitalis, dimana menjadikan negara telah kehilangan perannya sebagai pelayan negara.
Sebagai dalih bahwa pemerintah hanya mengambil pajak dari sebagian lembaga pendidikan seperti sekolah swasta berskala internasional. Ini menjadi bukti bahwa negara lepas tanggung jawab dan berlagak jadi pemalak.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem Islam. Karena dalam Islam, pendidikan termasuk kebutuhan dasar publik yang mutlak menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak boleh mengambil keuntungan ataupun pajak, yang ada negaralah yang harus membiayai dan biayanya sendiri berasal dari baitul mal.
Dan dalam sistem Islam pula, negara dalam naungan Khilafah menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai.
Negara juga akan mampu menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli dibidangnya. Sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru ataupun pegawai yang bekerja di bidang pendidikan.
Di dalam sistem Islam, tidak akan kita temui pejabat-pejabat yang dengan mudah membelanjakan harta atau bahkan mengambil harta yang di luar haknya. Karena mereka sangat paham apa yang disampaikan oleh Rasullullah dalam sebuah riwayat.
”Wahai manusia, sesungguhnya akan ada beberapa orang diantara kalian yang mengambil harta Allah dengan cara yang tidak benar. Waspadalah, pada hari kiamat nanti orang-orang seperti itu akan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari).
Dapat disimpulkan bahwa hadist tersebut dialamatkan kepada orang-orang yang bertanggung jawab terhadap harta kekayaan orang banyak. Mereka memiliki amanah untuk mengurus rakyat, jadi tidak boleh mengeluarkan harta tersebut yang menjadi tanggung jawabnya kecuali ada hal-hal yang memang haknya sesuai dengan yang di tetapkan oleh Allah.
Mereka juga tidak diperbolehkan memungut harta tanpa adanya hak, baik itu pajak, retribusi, ataupun pungutan-pungutan yang lainnya.
Rasa tanggung jawab yang besar pada pemerintahan negara dengan sistem Islam, membuat sejumlah penguasa pada masa itu sangat takut untuk sekadar memanfaatkan cahaya lilin yang mereka beli dengan uang negara. Karena mereka merasa bersalah telah menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan saat ini. Sikap para pemimpin di dunia pada hari ini jauh berbeda dengan keadaan pada masa kekhilafahan.
Di sistem sekuler seperti saat ini, mereka menguasai dan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan milik publik dan mengabaikan kepentingan rakyat. Wallahualam bissawab.
*Penulis merupakan writer freelancer.