Oleh: Muhamad Jafar Toha*
SIAPA dari kita yang hari ini pernah mendengar tentang kutipan “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu,” yang sering kali diucapkan oleh beberapa filsuf Islam kontemporer, seperti Dr. Fahrudin Faiz.
Tentu, kutipan tersebut sudah sangatlah tidak asing bagi kita yang hari ini sedang melakukan pencarian jati diri. Namun dalam beberapa narasi kitab klasik sering sekali disalahartikan sebagai hadis Nabi Muhammad saw.
Padahal, beberapa para cendekiawan Islam seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Az-Zarkasyi, dan Ibnu Athaillah, beranggapan bahwa ini bukanlah hadis Nabi. Melainkan hanya ungkapan dari perkataan seorang ulama sufi yang terkenal, Yahya bin Muadz Ar-Razi.
Terkait persoalan autentisitas, An-Nawawi menegaskan, ungkapan itu tidak mempunyai validitas yang kuat sebagai hadis Nabi Muhammad saw.
Baca Juga
Sementara Imam As-Sayuthi, mengutip pendapat An-Nawawi dalam karyanya Al-Hawi lil Fatawa pada sub bahasan Al-Qaulul Asybah fi Haddisti Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu, bahwa Imam Nawawi pernah ditanya terkait ungkapan tersebut di dalam kumpulan fatwanya, lantas ia menjawab bahwa ungkapan itu tidak mempunyai validitas sebagai hadis Nabi Muhammad saw.
Namun, bukan berarti penulis melarang menggunakan ungkapan tersebut. Melainkan untuk membedakan mana hadis Nabi Muhammad saw., dan mana ungkapan-ungkapan ulama.
Karena khawatir kita terperangkap salah satu hadis sahihnya yang menyebutkan, “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menduduki singgasananya di dalam neraka.”
Dalam perspektif penulis, mengenai ungkapan ulama sufi Yahya bin Muadz Ar-Razi tentang man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu yang mana jika seseorang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya ini sangatlah dalam dari segi filosofis.
Hal terkecil tentang peringatan untuk bagaimana kita mampu mengelola dan mengeksplorasi diri kita sendiri sebagai manusia untuk mengoptimalkan dalam pencarian jati diri. Tentu banyak metode untuk menggali siapa sebenarnya kita dan untuk apa kita.
Mari berangkat dari tentang proses penciptaan manusia di bumi. Pada substansinya manusia ini diberikan dua tugas. Pertama sebagai hamba untuk beribadah dan membangun hubungan vertikal dengan Tuhannya. Perintah ini sangatlah jelas jika kita mengutip QS. Az-Zariyat ayat 56, “Tuhan tidak akan mencipatakn jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadanya.”
Selain mempunyai tugas sebagai hamba, manusia juga diberikan tugas sebagai khalifah. Agar ia bisa mengatur, mengelola, dan membangun hubungan secara horizontal. Seperti diterangkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 perlu proses yang panjang untuk bias menjadi khalifah sejatinya.
Maka perbedaan antara manusia satu dengan manusia lainnya bukan dengan seberapa hebat dia, seberapa besar dia. Cara membedakannya ialah dengan cara berpikirnya. Dengan demikian kita bisa membedakan mana manusia yang mendekati kekhalifahannya.
Sabrang Mowo Damar Panuluh pernah menerangkan untuk bagaimana kita mampu meningkatkan cara berpikir kita. Beliau juga menegaskan, cara berpikir kita tidak bisa dibedakan dengan kelas pendidikan formal kita. Sedari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
Namun ada beberapa cara berpikir kita yang perlu ditingkatkan. Pertama cara berpikir deklaratif. Menurut Sabrang, dengan cara berpikir “atau”. Kedua cara berpikir Kumulatif, yaitu menggunakan kata “dan”. Kemudian yang ketiga cara berpikir Serial, mengunakan kata “jika-maka”. Terakhir, cara berpikir parallel yang menggunakan kata “jika-maka lebih banyak”.
Contoh, kamu sedang mencari uang dan ketika pulang ke kampung, kamu melihat ada beberapa jenis buah-buahan. Ada jeruk, semangka, mangga dan lain-lain. Kemudian, bagaimana kamu mencari uang? Itu tergantung dengan bagaimana menggunakan cara berpikir kamu.
Kalau menggunakan cara berpikir deklaratif (atau), kamu hanya akan menjual salah satu buah-buahan yang ada di kampungmu. Jika menggunakan cara berpikir kumulatif (dan), kamu akan menjual semua buah-buahan yang ada di kampungmu.
Kemudian, jika kamu meningkatkan cara berpikirmu kembali, kamu akan menggunakan cara berpikir serial (jika-maka), cara ini membuatmu berpikir untuk melakukan kreativitas seperti mengelola buah-buahan yang ada di kampungmu menjadi parsel. Jika kamu menggiling buah tersebut maka akan menjadi jus.
Terakhir cara berpikir parallel (jika-maka tapi lebih banyak). Cara berpikir yang terakhir ini lebih kreatif dan inovasi mengenai buah-buahan yang kamu kelola, tapi lebih banyak prodak yang dihasilkan. Contoh dari buah manga digiling menjadi jus, buah manga di potong menjadi rujak. Kita bisa menghasilkan lebih banyak prodak dari satu bahan.
Artinya, jika menggunakan cara berpikir parallel, kita lebih terus bergerak dan berinovasi. Sehingga kemungkinannya lebih banyak dalam menjawab setiap trend yang beredar.
Semakin tinggi cara berpikir manusia, maka ia semakin adaptatif terhadap keadaan. Maka semakin terhidar ia dari kesulitan. Sesuai dengan apa yang dikutip dalam QS. Al-Insyarah ayat 5, bahwa bersama setiap kesulitan ada kemudahan.
Ayat tersebut mengajarkan kita untuk lebih menggunakan cara berpikir parallel agar lebih adaptif terhadap keadaan. Tentunya, redaksi dalam kutipan ini kemudahan tidak datang setelah kesulitan, melainkan kemudahan datang bersama kesulitan. Sehingga kita dapat merespons keadaan dengan berbagai kemungkinan pilihan untuk mengeluarkan kita dalam posisi-posisi sebagai khalifah.
Memang, untuk menggali kemampuan, potensi, bakat, dan keterampilan, kita perlu diasah secara terus menerus dalam belajar. Agar kita mampu menghadapi tantangan zaman yang setiap tahun, bulan, hari, dan detik terus berkembang.
Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk menjalankan tugas dan fungsi kita sebagai khalifah. Orang-orang yang akan memimpin di kemudian hari, mengatur, dan mengelola setelah orang-orang terdahulu meninggalkan tentunya. Peran-peran kekhalifahan ini perlu dipersiapkan dan dipupuk sedemikian rupa dengan proses yang matang.
Agar kemudian, ketika kita semua telah dihadapkan dengan kekhalifahannya, mampu memberikan yang terbaik kepada seluruh alam. Baik manusia, alam, hewan, dan semesta.
Semoga dengan tulisan ini bisa memancing dan memantik kita semua untuk terus berproses menuju manusia yang sejati. Manusia yang diberi tugas kehambaan dan kekhalifahannya. Wallahualam bissawab.
*Penulis saat ini sebagai Ketua Umum KNPI Kabupaten Lebak.