
Oleh: Endi Biaro*
LEBARAN Santri terjadi ketika tetangga sebelah mati. Lebaran dukun politik, terjadi ketika musim Pilkades digelar Oktober nanti.
Lebaran santri? Tahulah kita, tahlilan tujuh hari tujuh malam, artinya anak buah kyai itu kebagian rokok Dji Sam Soe dan “barekat” juga.
Rezeki bisa bertambah-tambah, jika keluarga musibah adalah orang berlimpah.
Ini memang lelucon. Namun khas dunia pesantren. Segala hal dibuat rileks dan lucu. Kata Gus Baha, urusan ibadah kudu dibuat bahagia.
Baca Juga
Lalu bagaimana lebaran dukun politik, urusannya panjang dan membingungkan.
Teman saya, Lurah Nana (Kades Kubang, Sukamulya), punya istilah asyik. Kata dia, kalau mau menang Pilkades, wajib siap ilmu ruyuk, ilmu manuk, dan ilmu penakluk.
Rajin ziarah ke makam Mbah, pasang jimat kanan kiri, beli mahar ka Sabrang ka Palembang, dan kalau perlu sewa khodam (jin pendamping), ini adalah konsep ilmu ruyuk (ruyuk dalam bahasa Indonesia adalah kebun atau hutan, atau tempat angker).
Lantaran itu tak cukup, maka lengkapi dengan ilmu manuk.
Pura-pura jinak seperti burung merpati, ini praktik ilmu manuk itu (manuk = burung). Kalau perlu selalu senyum jika bertemu warga desa, apalagi jika berpapasan dengan Janda Muda dan Kembang Desa.
Awas mata dan awas telinga seperti burung elang, ini juga harus dilakukan. Maksudnya memata-matai lawan tanding. Serta ketat memantau perkembangan. Dan kalau perlu seangker burung gagak, agar disegani banyak orang.
Kalau dua formula itu sukses, maka insyaallah calon Kades menjadi penakluk, menang dalam pertarungan.
Harap catat, kata insyaallah di paragraf barusan, biasanya jarang disebut dalam dunia perdukunan.
Ini serius. Dukun tak pernah salah. Kalaupun keliru, maka pasti ada syarat yang kurang terpenuhi.
Bikin celaka. Jadwal Pilkades yang rajin mundur, membuat calon kades gelagapan. Mereka terpaksa menghadap ulang ke Mbah.
Dalam dunia perdukunan, ada dua pasal yang mutlak berlaku. Pasal pertama, fatwa mbah tak pernah salah. Pasal kedua, kalaupun salah, maka balik lagi ke pasal pertama.

Semisal ada dua orang calon Kades (di desa berbeda) yang tumbang, lalu protes, maka Sang Dukun hanya manggut-manggut lalu bergumam pelan.
“Kamu kemarin saat menuju lokasi TPS, langkah pertama kaki kiri atau kanan?” tanya si Dukun.
Lalu calon Kades A menjawab, “Wah, saya melangkah kaki kiri Mbah!”
Sementara calon Kades B menjawab, “Kalau saya melangkah dengan kaki kanan.”
Dengan rileks, Mbah Dukun menukas:
“Nah, itu salah kalian. Mestinya kalian melangkah dengan kaki berbarengan! Seperti pocong.”
Pokoknya, selalu ada syarat yang aneh dan tak masuk akal.
Memang rumus politik Mbah Dukun teramat pelik. Sekelas Denny JA bosnya LSI pun pasti berurai air mata, karena metodologi riset mereka yang presisi, sama sekali tak ada arti.
Polah tingkah dukun politik kerap membuat stres tim sukses!
Saya pribadi, yang pernah pengalaman menjadi manajer tim dari level Pilkades, Pileg, dan Pilkada, hanya bisa usap dada.
Bayangkan, sebagai Ketua Tim Pemenangan, oleh Mbah Dukun dicurigai tak setia. Karena saya menolak persyaratan yang ia ajukan.
Tapi si Mbah cerdik juga. Ia meminta orang lain yang melakukan. Persis di malam jelang pemungutan suara, ba’da subuh, tiga gayung air kembang menyiram tubuh saya sampai kuyup.
Saat berbalik mau marah, si penyiram langsung teriak: “Maaf bang, ini perintah Mbah! Nah.
Seandainya saya menjadi dukun politik di Pilkades Kabupaten Tangerang, maka nasihat saya cuma dua kata: Tahajudlah kamu!
*Penulis merupakan pegiat literasi.