spot_img

Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB

Foto: Logo NU dan PKB (Istimewa).

PEMBICARAAN soal hubungan Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali mencuat. Terbaru, mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj membantah pernyataan yang menyebut NU harus jauh dari PKB. Menurut Said, pernyataan tersebut hanya diucapkan oleh orang yang melupakan sejarah antara PKB dan NU.

Sebelumnya, pada 2022, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan organisasi massa Islam itu bukan untuk partai politik tertentu, melainkan untuk seluruh bangsa. Dia pun meminta partai politik tak mengeksploitasi NU untuk kepentingan politik identitas menjelang Pemilu 2024.

Pemaknaan relasi antara NU dan PKB memang perlu dibingkai dengan tafsir jernih, fragmen, konteks zaman dan dinamika politik. Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB perlu dimaknai dalam bingkai dinamika zaman, bentangan ideologi, dan tantangan politik masa kini.

Catatan Kritis

Menurut penulis, setidaknya ada 3 (Tiga) catatan kritis dalam tulisan Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB:

Baca Juga

Pertama, politik merupakan strategi atau cara, dan bukan tujuan. Politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi politik untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, melainkan juga menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Kebaikan bersama, politik kebangsaan dan politik kerakyatan, menjadi tujuan utama. Politik sebenarnya itu ‘mulia’ bertujuan membawa kesejahteraan rakyat, dengan kontribusi untuk membawa umat ke ‘tujuan utama kemanusiaan’, yakni keselamatan dunia akhirat.

Dalam sejarah politik nahdliyin, prinsip utama yang jadi rujukan adalah konsep maslahah ammah. Artinya, politik ditujukan untuk kebaikan bersama, yang jadi alat untuk mengonstruksi kesejahteraan masyarakat. Inilah yang dalam sejarah politik kaum nahdliyin, diperjuangkan oleh KH Hasyim Asyari (1875-1947), KH Wahab Chasbullah (1888-1971), KH Wahid Hasyim (1914-1953), KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) dan sejumlah santri yang berkhidmat di panggung politik.

Misal, penulis mencoba memaknai relasi NU dan politik dari sudut pandang ‘narasi’ gerak NU selama ini. NU justru sudah sangat jelas dalam mengartikulasikan konsep politik kebangsaannya. Dalam konteks ini, moral dan etika politik yang jadi prinsipnya, berada dalam rumusan fikih sosial, dengan menempatkan sumber-sumber hukum Islam sebagai etika sosial.

Dari etika politik, dalam prinsip, pemikiran dan tentunya ujung-ujungnya adalah tuntunan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan membela bangsa.

Kedua, NU itu jamaah, PBNU itu jam’iyah atau organisasi massa. Organisasi bisa saja tidak berpolitik, tapi warga NU pasti punya preferensi yang jelas. Dalam ranah organisasi, NU perlu menjaga marwah sebagai tulang punggung politik kebangsaan, yang berpolitik dengan etika dan berjuang untuk mengukuhkan NKRI. Secara personal warga nahdliyin juga memiliki hak menyalurkan aspirasi politiknya.

Karena sesuai dengan khittah-nya, warga NU secara individual diberi kebebasan untuk memilih wadah politiknya, dengan ungkapan yang populer: “NU tidak kemana-mana tetapi berada di mana-mana”.

NU bukan saja berpotensi menyumbangkan basis suara, tetapi juga memastikan bahwa pemerintahan ke depan masih tetap menjaga Ke-Indonesiaan seperti yang dicita-citakan para founding fathers. Meminjam istilah Andree Feillard dalam NU Vis-a-Vis Negara (1999) pada dasarnya, khitah NU tidaklah membatasi gerak warga NU untuk berpolitik, “NU mungkin bukan sebuah gerakan politik, tetapi ia tetap akan menjadi suatu kekuatan politik. Dengan demikian, ia tidak bisa menjauh dari arena politik.”

Pada pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin ini, banyak kader NU terserap dalam lingkaran kekuasaan. Ini bisa menjadi pelecut supaya kader nahdliyin berkontribusi untuk bangsa.

Ketiga, semangat perjuangan yang sama. Dalam konteks hari ini, sebenarnya tidaklah penting untuk mempertentangkan antara NU dan PKB. Pada kenyataannya, keduanya memiliki semangat perjuangan yang sama.

Bila terus-menerus mempertentangkan antara NU dan PKB maka akan justru menyertakan suatu penundaan untuk berbuat kebajikan bagi semua pihak, baik dalam tataran dakwah Islam ahlus sunnah wal jama’ah maupun dalam hal pendidikan politik.

NU dan PKB merupakan sebuah keniscayaan politik yang harus tumbuh dan berkembang baik secara historis, kultural, dan institusional. Jika dilihat dari basis sosio-kulturalnya, memang kebanyakan kiai memilih wadah politiknya ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

NU merupakan organisasi bangsa yang berdiaspora pada lintas partai. NU adalah rumah perjuangan umat, fondasi bangsa, sendi negara. NU bukan alat politik, tapi PKB lah alat politik NU. PKB bagian dari yang menjalankan visi dan misi NU. Misal soal moderasi, toleransi, dan lainnya.

Merajut Kembali Tenun Perjuangan

Merajut kembali tenun perjuangan antara NU dan PKB memberi pelajaran berharga, betapa keduanya memiliki ‘power’ dahsyat, sekuat apa pun potensinya manakala lengah, tidak bersatu, dan mudah ‘baper’ maka muaranya, yakni kekalahan dan kehancuran. Tentu sebaliknya, jika selalu waspada, tidak ‘baper’ serta bersatu maka akan meraih kemenangan dan kejayaan.

NU dan PKB memiliki semangat perjuangan yang sama, yakni ‘berbuat kebajikan’. Bukankah berbuat kebajikan di negeri ini harus dibangun terus menerus?

Keberagaman paham tak perlu dicemaskan dan sebaliknya bisa juga menjadi kekuatan jika jiwa ‘semangat perjuangan’ ditanamkan guna membangun kemajuan bersama.

Tanpa harus terjebak pada eksklusivisme naif, ikhtiar membangun merajut tenunan yang kokoh demi meraih kekuatan bersama untuk berbuat kebajikan menjadi niscaya. Jika ‘semangat perjuangan’ bersatu, bangsa pun menjadi kokoh.

Agenda merajut tenunan relasi antara NU dan PKB memang harus terus dirintis dan tak henti diikhtiarkan.

Namun, penting ditarik ke relasi yang lebih substantif, yang berbasis pada kekuatan ‘semangat perjuangan’, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 10:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”

Umat itu laksana satu tubuh. Satu bagian saling berhubungan. Jika bagian anggota sakit, yang lain ikut sakit.

Maka, rajutlah tenunan relasi yang lebih jernih dan dijadikan sebagai sumber kekuatan kebangkitan rakyat. Sisihkan berbagai perbedaan paham dan kepentingan secara ikhlas dengan menjalin persaudaraan yang lebih autentik.

Dalam keragaman bangun kebersamaan yang tulus. Belajar saling berbagi peran dan tugas. Jika memperoleh posisi-posisi politik di pemerintahan, mau saling mengayomi, peduli, berbagi, dan tidak aji mumpung serta menzalimi.

Insyaallah manakala merajut kembali tenun perjuangan antara NU dan PKB berbasis ‘spirit’ itu kuat, plus modal kekuatan moral, ekonomi, dan politik yang unggul maka umat di negeri ini maupun di ranah global akan menjadi penentu sejarah peradaban ke depan, merawat jagat membangun peradaban.

Ditulis oleh: Eko Supriatno. Gusdurian, Dosen, Penulis buku “Islam Simpul Cinta Bagi Semesta”.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

Krisis Keteladanan Pejabat Negara

Jokowi di Persimpangan: Golkar atau Gerindra?

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart