spot_img

Menyibak Kasus Pembunuhan, Titik Lemah Kepolisian dan Konstruksi Framing Media

Oleh: Eko Supriatno*

SUDAH hampir dua bulan kasus pembunuhan sadis ibu-anak di Subang belum juga terungkap. Bak sinetron, pengungkapan kasus pembunuhan ini mampu membius pemirsa untuk terkesima terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku pihak-pihak yang terlibat.

Sebagai tontonan, seluruh fenomena yang terjadi di dalam penyelidikannya, tergolong unik, dan mungkin mengasyikkan. Tetapi, untuk dijadikan sebagai tuntunan, ada beberapa catatan hukum yang patut dikaji seksama.

Kasus pembunuhan sadis ini memang melahirkan sejumlah fenomena. Ada magnet tersendiri. Hingga ada sejumlah stasiun TV yang berlomba menyiarkan secara live dari TKP kejadian.

Masyarakat pun tersihir hiruk pikuk penyelidikan. Ibu-ibu rela meninggalkan channel sinetron. Semua orang pun jadi ahli hukum dadakan dengan analisis hukum sendiri-sendiri hingga persoalan mistis. Bahkan, ada yang bertaruh.

Baca Juga

Menurut penulis, pembuktian kasus pembunuhan ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Apalagi, kasus tersebut mengungkap pembunuh yang punya nyali.

Pembunuhnya merupakan sosok yang tenang dan alot. Selalu bisa berkelit dan beralibi. Seluruh gerak-gerik yang diselidiki bukankah dapat direview dan dianalisis?

Menurut penulis, kalau kukuh dengan pendapat tersebut, hingga kiamat pun kasus itu tidak akan pernah sampai terungkap. Akan menjadi X-file sepanjang zaman.

Menghadapi kasus superpelik tersebut, menurut penulis polisi harus berani menerapkan prinsip beyond reasonable doubt. Teori di batas keraguan. Dalam teori itu, ada seseorang yang bisa menjadi pelaku dan tidak ada yang bisa menggantikan posisinya.

Untuk menentukan orang itu, bisa dilihat kronologi, alibi, maupun bukti-bukti petunjuk yang ada. Artinya, siapa yang paling punya motif serta siapa yang mempunyai gelagat paling aneh, dialah pelakunya.

Itulah yang pernah diterapkan aparat penegak hukum dalam kasus Munir dan Mirna. Pollycarpus dan Jesica-lah yang diketahui punya gelagat paling aneh.

Bagaimana dengan kasus dugaan pembunuhan sadis ibu-anak di Subang? Benarkah Yosef atau Yoris adalah orang yang punya gelagat paling aneh? Kalau iya, berarti belajarlah dari kasus Munir dan Mirna. Semoga aparat penegak hukum semakin yakin terhadap orang yang punya gelagat paling aneh itu sebagai pelakunya.

Titik Lemah Kepolisian

Ragam proses penyelidikan sendiri dilakukan oleh tim gabungan Polres Subang, Polda Jabar dan Bareskrim Mabes Polri. Adapun ragam penyelidikan mulai dari autopsi, tes kebohongan, autopsi ulang hingga terakhir pendalaman aliran dana dilakukan.

Kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang belum kunjung terungkap. Polisi masih tampak kesulitan untuk dapat mengungkap misteri pembunuhan ini. Bisa jadi karena polisi terlalu terburu-buru menyatakan (pelaku) orang dekat. Ada sesuatu kekeliruan dari perkiraan awal, penyidik, analisa bukti, alibi yang ternyata di luar dugaan.

Ternyata selain kasus tersebut, Polres Subang juga belum berhasil mengungkap dua kasus pembunuhan lainnya. Pertama kasus pembunuhan seorang bocah berusia tujuh tahun yang terjadi pada 17 Januari 2021.

Foto: Ilustrasi pembunuhan (Istimewa).

Kasus tersebut juga terjadi di Kecamatan Jalancagak, Subang. Saat itu warga dihebohkan dengan penemuan karung yang menimbulkan bau bangkai. Setelah dibuka ternyata berisi mayat bocah perempuan. Tidak hanya pelaku, identitas korban pun hingga kini belum terungkap.

Kasus kedua yaitu pembunuhan seorang perempuan paruh baya di Kecamatan Pamanukan, terjadi pada tiga tahun silam tepatnya 10 Agustus 2018. Hingga kini kasus tersebut belum berhasil diungkap oleh Satreskrim Polres Subang. Bahkan untuk kasus pembunuhan ibu dan anak, Polres Subang dibantu oleh Polda Jabar dan Bareskrim Polri.

Mandeknya sebuah kasus pembunuhan adalah menunjukkan titik lemah kepolisian. Ini memang penyakit di kepolisian: Menghadapi cold cases (kasus mandek) dengan gaya biasa.

Kalau kita bicara pengalaman-pengalaman negara luar negeri, Eropa terutama, maka kasus-kasus yang tidak bisa diungkap dimasukkan ke dalam kelompok cold cases, yang cara penanganannya juga beda dengan kasus-kasus yang datang ke kepolisian dan asumsinya dapat dipecahkan dengan mudah.

Kasus-kasus mangkrak itu idealnya dikerjakan di direktorat khusus tanpa mengejar kecepatan dan tanpa batasan biaya. Dengan begitu, harapannya, kasus yang mulanya beku (cold) dapat kembali menghangat (hot) sehingga lambat-laun dapat terkuak.

Kepolisian kita memperlakukan semua kasus cold dan hot cases sama. Akibatnya, kasus-kasus sulit seperti pembunuhan Subang, yang tempat kejadian perkaranya (TKP) saja rusak, akan terus ada di tumpukan bawah, tertimbun kasus-kasus yang lebih mudah dipecahkan.

Dengan sistem kinerja yang berlaku di kepolisian, misalnya sebagai anggota Polri di bidang serse, tentu mereka ingin mencari poin, maka yang kemudian yang harus mereka urus adalah kasus-kasus yang bisa mendatangkan poin, yang mudah, jelas buktinya, jelas saksinya, jelas pasalnya, TKP-nya tidak rusak.

Cold cases makin ada di tumpukan bawah dari kasus-kasus yang bisa diselesaikan, yang bisa menjanjikan kinerja, dan ketika ditarik anggaran dapat dipertanggungjawabkan dengan mudah karena output-nya jelas.

Penulis menyarankan, kasus pembunuhan di Subang ini dilimpahkan ke Mabes Polri dan diserahkan kepada para ahli yang konsen di sana. Bagaimanapun, Polres Subang dianggap terlalu kecil untuk bisa mengurai kasus serumit itu.

Apalagi, sudah lama tak kunjung terungkap, pengungkapan kasus juga makin susah sebab saksi-saksi sudah terpencar dan memori mereka boleh jadi telah luntur. Jangankan yang bersifat penanganan khusus, yang untuk biasa-biasa saja SDM-nya kurang.

Konstruksi Framing Media

Dalam dua bulan terakhir, media massa seperti tidak habis-habisnya membahas sangkaan pembunuhan dalam kasus ini. Hal yang menarik bagi penulis justru bukan pada mengapa dan bagaimana pembunuhan itu terjadi, tetapi pada bagaimana kasus itu diberitakan atau diperbincangkan.

Berbagai penelitian memperlihatkan, pembunuhan adalah bentuk kejahatan yang paling menarik perhatian media massa. Bad news is good news, mungkin begitulah pembunuhan dilihat dalam konteks nilai berita.

Baca Juga

Pembunuhan adalah bentuk kejahatan kekerasan yang cenderung disebabkan oleh persoalan interpersonal. Sederhananya, pembunuhan terjadi karena adanya sengketa personal di antara pelaku dan korban, seperti dendam karena hinaan, masalah hutang piutang, perebutan harta, perselisihan dalam pekerjaan, hingga masalah percintaan.

Kejahatan ini masuk dalam kategori yang serius karena menghilangkan sesuatu yang dinilai paling berharga bagi diri manusia, yaitu kehidupannya. Pembunuhan pun turut memberikan dampak terhadap keluarga atau masyarakat.

Kedua hal ini pulalah yang semakin membuat pembunuhan sangat menarik untuk diberitakan. Namun demikian, memberitakan pembunuhan tidak sama dengan menjelaskannya secara mendalam dalam sebuah penelitian ilmiah.

Bila penelitian disusun dengan keharusan metodologis yang jelas dan handal, tidak demikian dengan pemberitaan. Pemberitaan cenderung merubah fenomena empiris menjadi fenomena yang sangat berbeda di dalam teks, audio, visual, dan audio visual. Sulit untuk menerima berita sebagai realitas empiris.

Framing terjadi secara tidak proporsional, maka publik akan dihadapkan pada beberapa dampak.

Pertama, pemberitaan dapat menciptakan perbedaan makna kejahatan di masyarakat. Media dapat menganggap suatu kejahatan masuk dalam kategori sangat serius sementara masyarakat atau bahkan penegak hukum menilai sebaliknya.

Fiona Brookman dalam bukunya Understanding Homicide (2005) menjelaskan bahwa pembunuhan adalah sebuah kejahatan yang maknanya dikonstruksi secara sosial.

Dalam hal ini juga dilakukan oleh media. Barry Mitchell (1998) juga menjelaskan hal serupa. Menurutnya, persepsi publik yang keliru terhadap pemberitaan pembunuhan di media terjadi karena media tidak memberikan informasi yang cukup dan bahkan tidak tepat tentang peristiwanya.

Kedua, amplifikasi kejahatan di media massa dapat berdampak pada munculnya ketakutan akan kejahatan (fear of crime). Di satu sisi, fear of crime dapat bermakna rasional ketika ketakutan akan membentuk kewaspadaan. Namun di sisi lain, ketakutan merupakan respons yang tidak beralasan, dan ini terbentuk dari pemberitaan yang tidak proporsional dari media massa.

Ketiga, media dapat mendramatisasi kejahatan menjadi sesuatu layaknya sinetron atau telenovela. Kasus Pembunuhan di Subang dalam pandangan penulis sedang berhadapan dengan dampak yang ketiga ini, dengan berbagai spekulasi yang muncul di seputaran kasus ini.

Peran media tidak mendidik atau memberikan informasi secara akurat, namun lebih untuk menjual medianya agar laku. Hal ini menjelaskan mengapa memberitakan pembunuhan, berikut dramanya, adalah sesuatu yang sangat menjual.

Sementara di lain pihak, media merupakan kontributor yang kuat terhadap pengetahuan dan kesadaran publik mengenai kejahatan. Dapat dibayangkan, kemungkinan terjadinya pemahaman yang salah tentang apa sebenarnya pembunuhan itu dari sisi keilmuan (baik psikologi maupun kriminologis).

Foto: Ilustrasi pembunuhan (Istimewa).

Masih mengenai dramatisasi pembunuhan, Lizzie Seal, menambahkan melodrama adalah frame pilihan media dalam membentuk cerita, yang cenderung memainkan emosi. Pemberitaan justru mengajak publik untuk larut dalam amarah atau kebencian. Hal mana menjadi masalah bila ternyata yang dituduh membunuh bukan pelaku sebenarnya.

Media massa adalah bisnis, sehingga aspek dramatis dari sebuah peristiwa akan dilihat sebagai sesuatu yang juga penting selain substansinya. Kemasan juga penting dalam hal ini. Bila tidak dikemas menarik, siapa yang akan tertarik membaca atau menonton.

Perubahan ke arah online media turut mendorong pemikiran ke arah tidak hanya pentingnya kemasan, tetapu juga soal kecepatan. Sejatinya, peran media massa adalah agen sosialisasi sekunder, namun di saat yang sama juga merupakan bisnis yang berorientasi pada keuntungan.

Dalam konteks pembunuhan, pemberitaan media mungkin tidak memberi manfaat sama sekali dalam konteks pencegahan mengingat sifat interpersonal dari kejahatan kekerasan ini. Namun media perlu menyadari bahwa pemberitaan dapat membentuk persepsi yang tidak proporsional di publik tentang pembunuhan.

Terlepas dari bagaimana kegeraman publik terhadap sangkaan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam kasus pembunuhan di Subang, media massa seharusnya memahami batas dari pemberitaan, seperti tidak justru masuk ke dalam berbagai spekulasi diseputar kasus.

Hal ini penting disadari karena benar atau tidaknya pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang-orang terdekat tersebut.

Dari sisi penegakan hukum, pemberitaan secara positif dapat berperan sebagai kekuatan pendorong agar dilakukannya pencegahan atau penegakan hukum. Masyarakat awam, pemirsa televisi menyaksikan betapa sibuk aparat penegak hukum memutar otak, bersilat-lidah, berargumentasi, sekalian mencocokkannya dengan ketentuan hukum yang relevan.

Mereka seolah operator-operator hukum yang sedang memasukan data ke dalam “komputer hukum” agar keluar hasil akurat seperti diinginkan. Kerja mereka sangat teknologis. Terkait dengan catatan hukum di atas, patut dipahami bahwa penyelidikan sebagai institusi moral mestinya menampung harapan dan cita-cita moral masyarakat yakni terwujud keadilan substantif.

Kemampuan segenap penegak hukum dalam memenuhi harapan masyarakat tersebut berpengaruh terhadap tingkat kepercayaannya kepada proses penyelidikan. Konkretnya, pengungkapan tersangka dapat dipastikan memunculkan pro dan kontra.

Kepercayaan masyarakat terbelah. Artinya, hukum tidak dapat dipercayai sepenuhnya sebagai rumah keadilan, apalagi institusi pemersatu bangsa. Bila masyarakat dan pengadilan masing-masing mengklaim pada kebenaran pendapatnya, sangat dikhawatirkan wibawa aparat penegak hukum semakin merosot. Gangguan terhadap netralitas aparat sebagai institusi moral terindikasikan sedemikian besar dan kompleks.

Banyak keanehan terjadi. Sering pula ada logika dipaksakan, jauh dari akal sehat masyarakat awam. Proses penyidikan menjadi esoterik. Betapa pun sulit membuktikan, jiwa sosial berbisik bahwa proses penyidikan telah teracuni kepentingan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya.

Dalam perspektif sosiologis dan moralitas hukum, masyarakat sulit meyakini bahwa para operator hukum jujur menegakkan hukum demi keadilan substantif. Masyarakat tak tahu persis apa yang ingin diraihnya dalam peran masing-masing.

Diduga, ada “udang di balik batu”. Dugaan demikian itu wajar dan rasional. Mengapa? Karena, hukum merupakan instrumen strategis bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Jangan lupa, hukum dapat digunakan sebagai alat memperkaya diri sendiri, atau alat memenjarakan orang lain, atau menutupi kesalahan seseorang, dan sebagainya.

Bila pengamatan ini valid, dalam kerangka reformasi hukum, dibutuhkan pembenahan sistem penegakan hukum, utamanya tertuju pada hukumnya, kualitas sumber daya manusianya, dan budaya hukumnya.

Ke depan para aparat penegak hukum diharapkan tidak lagi berhadap-hadapan, bertempur, dan saling mendiskreditkan, melainkan menjadi satu skuadron pemberantas kejahatan dan pelayan pencari keadilan yang visioner, berintegritas, dan profesional. Wallahualam.

*Penulisn merupakan Dosen Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten, Pembina Future Leader for Anti Corruption (FLAC) Regional Banten.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart