Oleh: Eko Supriatno*
LABUAN dari yang semula hanya sebuah kota kecil di pesisir pantai selat sunda, kini telah berkembang menjadi sebuah kota besar yang tentunya ikut terkoneksi dengan ‘karut marut’ peradaban kota-kota lainnya.
Labuan yang dikenal dengan sebutan kota Nelayan, kini telah melaju pesat dan menjadi ‘kota’ dengan jumlah penduduk terbanyak dibanding ‘kota’ lainnya di Kabupaten Pandeglang.
Berdasar data BPS tahun 2021, jumlah penduduk Kota Labuan ada sekitar 56,947 jiwa, dalam perkembangannya yang sekarang, barangkali Kota Labuan adalah salah satu kota yang paling pesat pertumbuhannya di Pandeglang.
Baca Juga
- Masyarakat Minta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Tangerang Dihidupkan Kembali
- Palestina dan Sikap Penghianatan Terhadap Kemanuisaan
Sebagian besar warga dunia saat ini adalah warga kota. Oleh karenanya, kontestasi dan persaingan global hari ini barangkali adalah apa yang kita saksikan setiap hari di ruang-ruang kota.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin membumbung, memaksa kota menjadi medan peperangan kepentingan yang tak berkesudahan.
Persoalan yang dihadapi kota Labuan hari ini barangkali juga adalah apa yang dialami oleh berbagai kota di Indonesia.
Ruang sosial dan daya dukung ekologi kota yang demikian terbatas semakin hari semakin tenggelam ditelan oleh pertambahan jumlah penduduk serta lahapnya mesin ekonomi yang sepertinya tak pernah merasa kenyang
Masa depan kehidupan kota yang lestari membutuhkan kebersamaan warga. Selain itu juga dibutuhkan nalar dan pengetahuan agar warga dapat mengurai sekaligus memecahkan persoalan kehidupan kota secara bersama-sama.
Kehidupan kota membutuhkan kebersamaan agar narasi dan identitas kehidupan kota tidak tercerabut dari akarnya. Tanpa keterlibatan warga, kehidupan berkota akan kehilangan ‘spirit’-nya.
Kehidupan kota membutuhkan diskusi, diskusi-diskusi yang membicarakan kehidupan berkota dari pengalaman keseharian di Kota Labuan, termasuk beberapa aspek yang terkait dengan lapisan sejarah dan narasi yang terekam di dalam dunia ingatan.
Selain itu diskusi harus dibarengi ‘ngopi’ karena dengan ‘ngopi diskusi’ bisa cair suasana, dengan cair suasana mudah-mudahan warga tergugah untuk ikut mengembangkan ruang bersama (common space) untuk menghadapi kompleksitas kehidupan kota.
Mengapa Ngopi Diskusi?
Di masa hiruk-pikuk penuh salah paham inilah, kemudian teringat betapa kita terlalu banyak mengganti silaturahim konvensional dengan teknologi.
Jarang sekali terdengar ajakan ‘Ngopi sambil Diskusi’ dimana ngalor-ngidul topiknya sederhana yang ada disekitar kita.
Ya, sambil menikmati kopi sebagai bentuk kearifan lokal untuk menyelesaikan segala masalah, perbedaan pendapat, bahkan perseteruan antar sahabat.
Percayalah, ngopi (minimal sambil menikmati kopi cap kupu-kupu atau cap angkot yang mulai mendunia), Diskusi adalah ngobrol bertemu muka dengan hati gembira, tentu suasananya akan terasa berbeda
Yu, ajak warga untuk diskusi, ngopi, bersolidaritas, dan bersuara. Yu, kita geser kongkow tak berguna menjadi percakapan-percakapan yang berkualitas.
Kritik saya, di Labuan semakin menjamur tempat ngopi, tapi miskin diskusi apalagi literasi. Bahasa anak muda hari ini ‘Kafe hadir cuma buat memuaskan nafsu posting di media sosial semata’.
Kota Labuan sekarang sedang butuh-butuhnya budaya ngobrol, omong-omongan, dialog, ngopi bareng untuk mencari solusi.
Jadi tunggu apalagi, mari menghidupkan kembali budaya ngopi, diskusi dan solusi. Sambil ‘tabayyun’ tentang perbedaan dan persamaan kita, beda pilihan tetep babarayaan, sebenarnya sangat cocok dan sesuai dengan tagline Baraya Labuan: ‘akur jeng dulur, heman ka baraya’.
* Penulis merupakan warga Labuan.