Oleh: Muhdi Perdiansyah*
SANTRI, ketika mendengar kata ini apa yang terlitas di pikiran ? Ya, mungkin jawabannya ialah kaum sarungan, berkopiah, atau pun yang mengkaji ilmu di pondok-pondok pesantren. Memang benar, dari aspek tingkah laku mungkin hal tersebut lebih merujuk kepada ciri itu sendri.
Lalu apakah yang menjai definisi santri itu? Secara harfiah, sebagian dari versi ulama kata SANTRI merupakan singkatan dari Sabar, Amanah, Niyabah, Tawakkal, Ridho, dan Istiqomah.
Maka dari makna singkatan SANTRI tersebut sudah mencakup tiga pokok ajaran Islam yang telah disampaikan Rasulullah SAW, yakni akidah, syariah, dan akhalak (tasawuf). Kemudian dilanjutkan oleh Wali Songo yang memberikan apresiasi terhadap budaya Indonesia terutama di tanah Jawa.
Tentu hal itu merujuk sebagai keharusan atau kepantasan perwujudan dari perangai dan sikap laku yang umumnya harus dimilki seorang santri. Baik yang mengkaji ilmu di surau, pondok pesantren, atupun tempat ilmu lainya.
Baca Juga
- Peringati Hari Santri, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Launching Aplikasi NU Tangerang
- Pak Bupati, Lihatlah Tangerang dari Belakang, Jangan-Jangan Belum Gemilang
Kosmopolitanisme peradaban pesantren berarti menceritakan hubungan akrab orang-orang pesantren dengan dunia ini. Memahami, bersikap, bertindak, dan berusaha mengenal lebih detail, berjiwa agamis dan tentunya nasionalis. Dalam artian, pesantren mempunyai entitas peran dan kontribusi besar bagi bangsa ini.
Jika kita membaca sejarah nasional, tidak mungkin mengabaikan ulama dan kaum santri yang telah teruji dalam mengwal negri ini. Pada dasarnya dan seiring perjalanan selama 76 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia tidak pernah terlepas dari perjuangan para ulama dan santri.
Bahkan menjadi komponen terpenting dalam asas keberhasilan melawan para penjajah dimasa itu. Di era revolusi fisik (tahun 1945-194) para ulama dan santri berjuang melawan penjajah belanda yang kembali datang ke Indonesia pada bulan Oktober 1945.
Dengan itu pula, para ulama dan santri yang dipimpin oleh Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari sepakat atas resolusi jihad Nahdlatul Ulama. Tujuannya untuk mengobarkan semangat para pejuang demi mempetahankan keutuhan NKRI di medan perang yang hukumnya wajib.
Maka dari peristiwa tersebut, Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015 menetapkan tanggal 22 Oktober dijadikan sebagai Hari Santri Nasional (HSN).
Pada peringatan tahun 2021 ini, Kementrian Agama mengusung tema “Santri Siaga Jiwa Raga”. Adapun filosopi logonya menggambarkan seseorang sedang shalat. Menafsirkan bahwa kaum santri senantiasa berserah diri kepada Tuhan sebagai puncak dari aktiviatas jiwa dan raga. Menunjukan bahwa santri harus memiliki kebersamaan, selalu bekerjasama dalam suka maupun duka.
Maka dari itu, di tengah berbagai masalah yang mendera bangsa Indonesia saat ini, perlu kiranya seluruh elemen merenungi kiprah dan etos jihad para ulama dan kaum santri, di antaranya ialah sebagai pilar kebangsaan, kecendikiaan, dan pilar kemandirian.
Pilar kebangsaan perlu terus dipupuk dan di kembangkan di tengah tarikan faham fundamentalisme agama dan umum. Pilar kecendikiaan harus ditegakkan karena hal tersebut merupakan pilar peradaban dan syarat sebuah bangsa meraih harkat dan martabatnya dihadapan bangsa lain. Kecendikiaan tidak hanya diukur dari pendidikan formal, tetapi mental dan intelektual yang terbuka terhadap pemikiran dan inovasi baru.
Terakhir, Pilar kemandirian, sangatlah penting ditanamkan dalam diri setiap insan agar tak terus ketergantungan dengan yang lain, terus memelihara (menjaga) nilai atau ajaran tradisi lama yang baik, serta menciptakan dan mengambil nilai atau ajaran tradisi baru yang lebih baik.
Maka dengan adanya peringatan HSN ini, serta diakuinya peran santri oleh pemerintah, penulis berharap semoga para santri senantiasa menambah semangat juang dalam menuntut ilmu, menjadi pilar peradaban bagi umat dan bangsa, dan menjaga nilai-nilai wasatiyah (moderat) dalam artian tidak ekstrem kiri ataupun kanan.
Marilah kita jadikan momentum HSN ini untuk melestarikan kemurnian agama, meneguhkan kesetiaan pada negri, mengawal dan mempertahankan Pancasila, NKRI, serta UUD 1945.
*Penulis merupakan muhibb anggota Dzuriyyat Panembahan Maulana Yusuf Kesulthanan Banten.