
KABUPATEN Tangerang gemilang kalau dilihat dari depan. Di jalur utama, di pusat pemerintahan, di area perbelanjaan, atau sekitaran kawasan industri dan perdagangan.
Tapi di belakang itu?
Misalnya di pojok kumuh belakang pasar; perkampungan sempit sekitar BSD; di pesisir komunitas nelayan; sepanjang rel kereta; atau kawasan pedesaan yang jauh dari kota. Apakah kita akan menemukan Tangerang Gemilang?
Bisa ya, tapi dipastikan bersirobok dengan fakta sebaliknya.
Baca Juga
- Refleksi Hari Jadi Kabupaten Tangerang: Setumpuk Persoalan, Segudang Masalah
- Kisah Pilu Nenek Mirah, Hidup Sebatang Kara di Gubuk Reyot
Fakta sosial ekonomi yang membuat sesak dada, terserak di banyak tempat. Per teori, pembangunan fisik yang mengagumkan mata, membawa berkah bagi segolongan elit, dan menghisap musibah bagi yang lain.
Teori ekonomi tentang “efek tetesan ke bawah”, bahwa modal besar dan industrialisasi akan mengerek peluang kerja, perputaran ekonomi, dan melebarkan aktivitas jasa, tak selalu terwujud.
Bahkan bisa sebaliknya. Disebut dengan “efek penghisapan”. Bahwa perputaran modal, industri, serta jasa, hanya bisa diikuti kalangan tertentu. Selebihnya, pribumi, malah tersingkir.
Betapa tak dihisap. Tanah beralih dari pertanian ke pabrik, pemilik awal pindah entah ke mana, atau malah jadi tukang ojek. Anak muda bisa ikut kerja jika pakai calo, dengan setoran rupiah nan mencekik (via istilah keren, yayasan atau outsourcing).
Belum lagi “penyakit kota” yang menimpa orang kampung. Ingar bingar dunia malam, narkotika, premanisme, kriminalitas, dan gaya hidup bebas melawan norma agama.
Kabupaten Tangerang pun tak lepas dari semua risiko itu.
Dan, jika dianalisis jauh, sampai ke kawasan pelosok, ketimpangan pembangunan lebih kentara.
Seperti kata David Poster, bahwa pembangunan yang benar harus dimulai dari belakang. Yakni dari desa.
Baca Juga
- Warga Cisoka Demo Bupati, Minta Pemagaran Akses Usaha Dihentikan
- Kritik Kerja DLHK Tangerang, Pencinta Alam: Jangan Rusak Lingkungan Demi Pembangunan
Perspektif ini penting. Desa kini menjadi lokus pembangunan, dan menjadi area utama pemberdayaan masyarakat. Gelontoran dana desa sudah bertahun-tahun berlangsung.
Apa yang terjadi?
Bias penyakit kota malah merusak efektivitas pembangunan desa.
Lihat. Mafia dan calo pembangunan beroperasi bebas. Mereka bergerak di semua lini. Mulai dari operator, kontraktor, sampai orang dalam. Formula usulan pembangunan lebih menjadi bancakan proyek. Kepala desa lebih sering memilih berkolaborasi dengan para pemain proyek, ketimbang berdiskusi tekun atau fokus pada aspirasi warga.
Bias kota berikutnya juga menghantam orang desa. Praktik oligarki pemerintahan tak terbendung. Politik desa menjadi mahal. Hanya kalangan berduit, didukung bandar, yang bisa menjadi penguasa.
Bias kota yang lain adalah perkara gaya hidup. Ini soal budaya. Tetapi jelas lebih banyak mudaratnya. Anak-anak dan generasi muda tak terlalu tekun belajar, mengaji, atau mengasah keterampilan spesifik.
Anak-anak tercancam penyakit mental gegara HP, tiktok, instagram, atau game online. Mereka tak lagi senang ke musala atau masjid, tapi memisahkan diri, tertutup.
Namun petaka itu bukan berarti menghabisi segalanya. Ada kabar baik tentu saja.
Mobilitas sosial di jalur ekonomi, budaya, sosial, dan politik, telah menguat. Kiprah anak-anak muda di berbagai sektor kehidupan sudah terlihat.
Mereka mengusung prakarsa, inisiatif, dan mengusung gagasan bernas.
Ada yang menggeluti usaha mikro, mempopulerkan identitas sejarah lokal, menggeluti IT, menjadi pesohor di Medsos (selegram, youtuber), atau bahkan mampu merebut posisi politik penting, misalnya menjadi Kades.
Sepertinya ini potensi legacy yang bisa dirangkul Pak Bupati. Rangkul mereka, anak-anak muda di desa.
*Ditulis oleh: Endi Biaro. Warga Parahu Kecamatan Sukamulya.