spot_img
spot_img

Menjadi Manusia Merdeka, Bukan Boneka

Foto: Penulis Mohammad Fajar Setiawan.

MANUSIA, terlepas dari pandangan teologis yang menyatakan jalan hidupnya telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi ia merupakan makhluk yang seharusnya mampu menentukan jalan hidupnya sendiri.

Sebab manusia memiliki kebebasan untuk menentukan arah langkah hidupnya. Selama itu tidak mengganggu kebebasan orang lain.

Namun, semua itu hanyalah konsep belaka. Karena pada praktiknya, manusia sulit menentukan bentuk eksistensi dirinya sendiri.

Hal itu disebabkan banyak faktor. Entah karena dominasi dari sebuah lembaga, atau orang lain yang mengharuskan manusia itu menjadi apa yang dikehendaki oleh sistem. Oleh karenanya manusia dalam hal ini sangat sulit untuk menyadari jati dirinya sendiri sebagai makhluk.

Baca Juga

Dominasi yang mendikte manusia ini, dalam menentukan arah langkahnya sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, mambuat manusia mengalami dehumanisasi. Karena adanya paksaan membuat manusia terasingkan dari kesadaran itu sendiri.

Bagi para pemikir eksistensialis, manusia seharusnya mampu mengekspresikan eksistensi dari dalam. Bukan hasil bentukan dari lingkungan, agama, lembaga, atau lain sebagainya.

Dalam hal ini seorang filsuf dari Prancis, hidup di abad ke-20, Jean Paul Satre, mengatakan bahwa manusia seharusnya mampu memaksimalkan kebebasannya dalam menentukan pilihan hidup. Hal itu disebabkan dalam diri manusia terdapat sebuah kesadaran yang ada untuk dirinya, being for it self.

Namun, itu akan sulit karena adanya keinginan dari setiap manusia untuk menunjukan dominasinya terhadap manusia lain. Hasrat ingin menguasai dalam diri manusia inilah akhirnya membuat manusia lain -kalah dalam pertarungan ideologi- terpaksa mengikuti ketentuan dari si pemenang tersebut.

Pemenang dalam pertarungan ideologi ini pada akhirnya akan menjadi penguasa. Dan atas kekuasaannya itu, ia memiliki kesempatan untuk memaksa orang lain mengikuti apa yang diinginkan.

Mengenai hal ini Thomas Hobbes seorang filsuf dari Inggris, hidup pada abad ke-17, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk antisosial.

Kondisi tersebut disebabkan ketika manusia ingin mengimplementasikan kebebasannya, maka manusia akan bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Sehingga menimbulkan persaingan dan saling ingin menguasai atas manusia lain. Dalam persaingan itu, manusia menjadi serigala bagi sesamanya, homo homini lupus.

Satre menyatakan pandangannya bahwa manusia boleh memberikan nasihat atau masukan bagi orang lain. Akan tetapi ia tidak bisa menunjukan dominasinya terhadap orang lain tersebut. Karena itu akan mengganggu kebebasannya dalam menentukan arah langkah hidupnya.

Ketika seseorang memberikan opsi bagi orang lain, maka biarlah orang itu yang menentukan apa yang ia pilih tanpa tekanan dan keharusan yang ditunjukan oleh seseorang yang menasihatinya.

Karena bagi Satre, setiap manusia adalah penemu nilai sekaligus juri terhadap moralitas tersebut. Maka dari itu, biarlah dirinya sendiri yang menentukan kemana dan jalan apa yang mereka pilih atas dasar kehendaknya sendiri.

Foto: Ilustrasi meditasi (Istimewa).

 

Bila hal ini diterapkan, maka tidak akan ada lagi manusia yang menjalani hidupnya karena keterpaksaan. Sudah semestinya seseorang bila memberikan nasihat atau ajakan, tidak perlu menegaskan akibat apa yang akan timbul dari hal tersebut.

Dalam ungkapan Immanuel Kant, hal ini dikenal dengan istilah imperatif. Menurut pandangannya, ketika seseorang mengajak pada suatu hal dan ajakan itu mengandung syarat yang merujuk pada akibat yang diinginkan, maka hal itu hanya akan menjadi hipotesis belaka.

Karena bisa saja akibat yang ditimbulkan berbeda dari akibat yang disyaratkan. Sejauh kehendaknya bisa mencukupi atau tidak terhadap akibat yang ditimbulkan tersebut.

Pada dasarnya, jika sebuah imperatif itu hadir dengan sebuah syarat berupa akibat, itu hanyalah ketentuan dari asas kausalitas atau asas sebab-akibat. Dalam hal ini Kant menganggap kausalitas hanyalah sebuah konsepsi manusia belaka yang berupa hipotesis dan belum menjadi sebuah kebenaran.

Maka dari itu ketika seseorang menganjurkan suatu hal, biarlah kehendak orang tersebut yang menentukan akibat seperti apa yang ingin didapatkan. Sejauh kehendaknya mencukupi atas akibat tersebut.

Manusia hendaknya menjadi penentu arah hidupnya sendiri, tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Sebab manusia memiliki kesadaran dan kehendak atas hidupnya sendiri.

Manusia sebisa mungkin harus memaksimalkan daya bebas dalam dirinya, agar ia hidup seperti apa yang ia inginkan selama itu tidak mengganggu kebebasan orang lain. Hal ini pula dapat menimbulkan sebuah keikhlasan dalam diri manusia dalam menjalani hidupnya.

Di saat manusia itu ingin menjadi seseorang yang taat beragama tanpa tekanan, maka ia akan menjalani itu semua dengan penuh keikhlasan, kesukarelaan, serta penuh tanggung jawab atas pilihannya tersebut.

Barangkali, hal itu akan membawa manusia mengetahui jati dirinya. Serta bisa menentukan jalannya sendiri. Menjadi manusia yang merdeka, bukan boneka.

*Ditulis oleh: Mohammad Fajar Setiawan. Mahasiswa UIN Bandung. Aktif di HIMATANGBAR.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

Memberangus Rentenir Berkedok Koperasi

Nuzulul Qur’an dalam Bingkai Sejarah

Pesona Pinjol pada Bulan Ramadan

THR Tidak Merata, Islam Punya Solusinya

Ritual Usang Ramadan

Beras Mahal Saat Ramadan

Tangerang, Wilayah Tak Bertuan

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart