Oleh: Rosita, M.Pd
BULAN November mememiliki momen bersejarah dalam dunia pendidikan. 20 November sebagai Hari Anak Internasional (World Children’s Day). Sedangkan 25 November, Hari Guru Nasional.
Kedua momen itu sangat relevan. Hari Anak Internasional diperingati untuk merayakan kesejahteraan anak-anak di seluruh dunia. Hak-hak mereka untuk mendapat stimulasi pendidikan, sandang, pangan, papan, dan spesialisasi bagi anak bermasalah atau pun yatim piatu.
Sementara Hari Guru Nasional merupakan bentuk penghargaan dari negara pada pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka mencetak anak-anak Indonesia menjadi bibit unggul di masa yang akan datang. Terutama menjelang 1 abad hari kemerdekaan Indonesia 2045.
2045 merupakan momen besar bagi bangsa Indonesia. 1 abad kemerdekaan Indonesia itu akan diisi oleh anak-anak masa kini. Sebuah demografi anak Indonesia.
Baca Juga
- Menggunung Akibat Tidak Pernah Diangkut, Sampah Pasanggrahan Kembali Jadi Masalah
- Abuya Muhtadi Pimpin Deklarasi Damai
Hal ini akan menggambarkan masa depan dan karakteristik Bangsa Indonesia ke depan. Karena jumlah 25% anak-anak dari total penduduk, menentukan 100% masa depan bangsa.
Karakter (Kemendiknas: 2010) merupakan nilai unik. Baik yang terpatri dalam diri maupun terjewantahkan dalam perilaku. Menurut Thomas Lickona, “Pembangunan karakter bangsa sama pentingnya dengan pembahasan ekonomi dalam arti luas (pendidikan, kependudukan, gizi dan kesehatan, investasi, serta sains dan teknologi).”
Sementara Francis Fukuyama mengatakan, “Suatu bangsa akan maju jika mempunyai social capital, yaitu high trust society.” Salah satu cirinya masyarakat yang individunya layak dipercaya.
High trust society adalah karakter bangsa yang memiliki nilai integritas, kerja sama, tenggang rasa, etos kerja tinggi, amanah (jujur), dan bertanggung jawab menjadi perilaku kehidupan.
Salah satu faktor yang menjadi karakter bangsa dalam antropologi (khususnya masa lampau), merupakan tata nilai budaya. Serta keyakinan yang tercermin dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri khas eksternal. Sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut.
Dahulu Bangsa Indonesia dikenal memiliki prinsip ideologi kebangsaan yang eksklusif, berkebudayaan tinggi, memiliki tata krama, sopan santun, toleransi, gotong royong, semangat juang, dan nasionalisme yang tinggi.
Namun, beranjak pada abad 20 dengan banyaknya penetrasi budaya melalui teknologi dan sebagainya, karakter bangsa yang dahulu tercermin mulai luntur. Sudah memasuki fase kritis yang perlu diwaspadai, karena akan berdampak pada kehancuran bangsa.
Hal ini terlihat dari meningkatnya kekerasan di kalangan remaja seperti buliying, berbicara dengan menggunakan bahasa yang kasar dan buruk, pengaruh peer-group yang kuat dalam tindakan kekerasan (premanisme), meningkatnya perilaku yang merusak diri; penggunaan narkoba, seks bebas, dan alkohol.
Selain itu, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, ketidakjujuran yang begitu membudaya, konsumtif, dan daya juang rendah. Sehingga mengakibatkan mudah menyerah. Berakhir dengan memilih bunuh diri dan lain-lain.
Perilaku yang mulai luntur dari karakter asli Indonesia tempo dulu dengan masa sekarang bisa disebabkan dengan kurangnya penanaman nilai budaya yang menjadi karakter sejak usia dini. Karena orang tua atau pun beberapa lembaga pendidikan serta masyarakat lebih fokus pada kecerdasan intelektual (IQ) daripada kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual ataupun daya tahan (adversity).
Sehingga seorang anak akan lebih dihargai apabila cerdas angka dan bahasa. Tak jarang anak sejak usia dini lebih fokus diajarkan untuk dapat membaca dan menulis terlebih dahulu. Ketimbang berperilaku dan bersosialisasi yang baik atau menstimulasi kecerdasan sosial emosionalnya.
Padahal saat anak usia dini merupakan masa untuk memberikan berbagai macam stimulasi positif. Sebab usia 0-4 tahun merupakan proses penyerapan otak 50% lebih pesat, dan akan menyusut seiring perjalanan usia anak. Jadi waktu terbaik dalam memulai pembangunan karakter, dimulai sejak usia dini.
Menstimulasi karakter anak sejak usia dini dibaratkan seperti mengukir karakter masa depan bangsa. Karena saat usia dini otak anak bagaikan spons yang akan menyerap semaksimal mungkin informasi yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari lingkungannya.
Otak memiliki dua belahan, dan menurut Paul Maclean, seorang peneliti otak, memiliki tiga bagian dasar yang disebut “Otak triune (Three in one)”, yaitu batang otak (otak reptil), sistem limbik (otak mamalia), dan neokorteks.
Inilah modal pertama seorang anak untuk mencapai sebuah peradaban dan kecerdasan yang akan berkembang dengan pesat dan maksimal jika terstimulasi dengan baik.
Menurut Bobby de Porter dan Mike Hernacki dalam bukunya Quantum Learning, otak pertama adalah otak reptil (batang otak). Manusia mempunyai unsur-unsur yang sama dengan reptilian; inilah komponen kecerdasan terendah dari spesies manusia.
Bagian otak ini bertanggung jawab atas fungsi-fungsi motor sensor (pengetahuan tentang realitas fisik yang berasal dari panca indera). Perilaku yang ada dalam otak reptil berkaitan dengan insting mempertahankan hidup, dorongan untuk mengembangkan spesies. Sehingga perhatiannya tidak lebih dari makan, minum, mengembangkan reproduksi, dan perluasan wilayah.
Dan ketika merasa tidak aman, maka otak reptil ini spontan bangkit dan bersiaga atau melarikan diri dari bahaya. Inilah yang disebut reaksi “hadapi (fight) atau lari (flight)”.
Pada masa-masa perkembangan awal manusia, reaksi ini merupakan keharusan. Namun sayangnya jika otak reptil ini dominan, seseorang tidak dapat berpikir pada tingkat yang lebih tinggi (tidak mencapai topi berpikir/korteks).
Di sekeliling otak reptil (batang otak) terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas, disebut otak mamalia. Sistem limbik ini berada di tengah dari otak. Sistem limbik disebut juga dengan pusat perasaan yang akan membuka korteks atau topi berpikir pada anak, sehingga anak akan mudah mendapat stimulasi informasi dengan baik dan dapat belajar memecahkan masalah.
Sistem limbik akan dapat berkolaborasi dengan baik dengan topi berpikir apabila anak-anak diberi suasana yang nyaman dan menyenangkan dengan bernyanyi, eksperimen yang menyenangkan, serta bicara dengan ungkapan yang baik.
Dari stimulasi otak three in One inilah yang akan membuat anak mudah menyerap informasi. Dapat memecahkan masalah dan tidak bereaksi menyerang atau lari (fligt or fight). Sehingga, anak tidak mudah menyerah dengan bunuh diri atau menyerang seperti tawuran.
Oleh sebab itulah menjelang momen penting Bangsa Indonesia tahun 2045, sepatutnya kita semua sebagai guru mulai mendidik bibit penerus bangsa. Dengan memberikan stimulasi pendidikan berbasis karakter.
Sebab, karakter anak usia dini saat ini akan menjadi cermin bangsa di masa yang akan datang.
*Penulis adalah Dosen STIT Islamic Village Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini.