Oleh: Abdul Gofur, S.H., M.H.
PERINGATAN haul ke-11 Almaghfurlah Dr. (H.C.) K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia ke-4, jatuh pada tanggal 30 Desember 2020.
Gus Dur wafat pada Rabu, 30 Desember 2009, di RSCM, Jakarta. Setelah dirawat beberapa hari karena sakit, kemudian dimakamkan di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Wafat dalam usia 69 tahun. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur.
Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim, merupakan putra seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari. Sedangkan Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri.
Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia empat orang anak. Yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Baca Juga
- Temuan Realisasi Dana Desa, KADARKUM: Akan Laporkan Penyedia Barang dan Jasa ke Pihak Berwajib
- Kaprodi PIAUD STIT Islamic Village: Semai Benih Kepemimpinan Dengan Berorganisasi
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, juga hobi bermain bola, catur, dan musik.
Bahkan, Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lain, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi mendalam di dunia perfilman. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di Pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studi di Mesir.
Sebelum berangkat ke Mesir, paman beliau melamarkan seorang gadis untuknya. Seorang santri bernama Sinta Nuriyah, anak Haji Muhamad Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.
Sepulang dari pengembaraan mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebuireng Jombang. Tiga tahun kemudian, menjadi sekretaris Pesantren Tebuireng, dan pada tahun yang sama mulai menjadi penulis.
Gus Dur kembali menekuni bakatnya sebagai penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikirannya mulai mendapat perhatian banyak.
Pada tahun 1974, Gus Dur diminta sang paman, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu Pesantren Tebuireng sebagai sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi narasumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan. Baik dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren. Kemudian mendirikan P3M, dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU.
Saat itu Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial, dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku, dan disiplin.
Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’ —dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU— dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983.
Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987. Sesuatu yang jarang terjadi pada saat itu, bahkan hari ini.
Pada tahun 1984, Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).
Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari kebanyakan orang.
Gagasan Manaqib Gus Dur
Dalam kamus Munjid atau kamus-kamus bahasa arab lainnya, manaqib merupakan ungkapan kata jama’ yang berasal dari kata manaqiban, artinya ath-Thariqu fil-aljabal (jalan menuju gunung). Di artikan juga dengan sebuah kisah yang berisikan autografi atau sejarah hidup para sahabat Nabi, Waliullah, dan orang sholeh.
Membaca manaqib artinya membaca sejarah hidup, kebaikan amal, dan akhlak yang terpuji sesorang yang dekat dengan Allah. Dengan sebab itu kata-kata manaqib khusus hanya bagi orang-orang baik dan mulia saja.
Manaqib Sayyidina Khadijah al-Kubro, Manaqib Umar ibn Khattab, Manaqib Ali bin Abi Thalib, Manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Manaqib Sunan Bonang, dan sebagainya merupakan misal dari apa yang disebut di atas.
Dalam sebuah hadis diterangkan keutamaan ketika membaca autobiografi (manaqib) para Wali, Ulama, serta orang-orang shaleh dapat melebur dosa serta mendatangkan rahmat Allah.
”Mengingat para Nabi sebagian dari Ibadah, mengingat para orang shaleh adalah pelebur dosa, mengingat kematian adalah sedekah, dan mengingat neraka adalah jihad.” (HR. ad-Dailamy)”.
Gagasan manaqib Gus Dur diinisiasi oleh ketua umum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Manaqib atau pembacaan sejarah pemikiran dan perjuangan Gus Dur melalui testimoni para tokoh.
Muhaimin Iskandar menilai, membaca kembali manaqib Gus Dur, penting dalam merefleksikan situasi sosial saat ini. Ketika masalah-masalah sosial tentang keberagaman dan pluralisme kembali terusik seperti saat ini, semua pasti rindu kehadiran Gus Dur. Maka, selain berdoa, pembacaan manakib ini jadi upaya meneruskan perjuangan Gus Dur.
Gus Imin atau Cak Imin sapaan akrabnya, adalah keponakan Gus Dur yang mewarisi kepiawaian politik sang paman. Tak ayal selama dari kepulangan dari Jogja, Gus Imin diminta Gus Dur untuk ke Jakarta membantunya dalam berbagai perjuangan membuat forum demokrasi, membela kaum minoritas, bahkan turut andil membidani PKB mendampingi Gus Dur dari kalangan anak muda pada saat itu.
Dari perjalan panjang itulah Cak Imin banyak belajar tentang Gus Dur, menerangkan ada enam pelajaran yang selalu relevan untuk terus diperjuangkan. Yakni: Ketauhidan, keberanian, kemanusiaan, persamaan dan kebersamaan, silaturrahim atau komunikasi, dan perdamaian.
Menurut Muhaimin Iskandar, Ketauhidan Gus Dur itu istilahnya sudah mencapai level ‘tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih’. Dan itu diterjemahkan dalam kehidupan sosial.
Salah satu contohnya, Cak Imin mengisahkan, Gus Dur di zaman ORBA sempat dilarang berziarah ke makam Ayahnya, di Jombang. Bahkan, ketika itu semua akses masuk diperintahkan ditutup saat Gus Dur sudah mendekati maqbarah.
Kalau orang biasa, tentu akan marah besar, sebab hak untuk berdoa di makam ayah sendiri, kok dilarang. Tapi Gus Dur tidak marah dan dendam. Dia pun tetap ziarah dan tahlil meski di pinggir jalan dekat makam tersebut.
Gus Dur, Pancasila Fitrah Keragaman
Menurut Gus Dur, dalam bukunya Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Pancasila adalah ideologi yang mendukung sistem demokrasi, sehingga sering disebut sebagai demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi secara Islam.
Gus Dur berpendapat, Pancasila merupakam hasil dari kompromi-kompromi politik yang ingin menjaga keutuhan negara Indonesia. Sekaligus memungkinkan semua warganya bisa hidup bersama-sama secara harmoni, dengan menerima semua aspek kekayaan tradisi yang sudah ada.
Menurut Presiden RI ke-4, itu merupakan langkah konkret realistis secara politik bila melihat dari pluralitas agama di Indonesia.
Gus Dur pernah menguraikan Pancasila dalam makalah yang dipaparkan di Seoul, pada 25 Agustus 1990 bertajuk Islam and Pancasila: Development of a Religious Political Doctrine in Indonesia. Menurutnya, Pancasila justru merupakan doktrin politik religius yang sesuai dengan Islam. Nilai-nilai agama ini menyinari ruang publik bangsa melalui Pancasila.
Jika dianalogikan, Islam adalah tebu, sedangkan Pancasila merupakan gula sebagai agama yang turun dari Tuhan, Islam adalah sumber, tebu. Namun, jika kita ingin membuat teh manis, haruskah tebu yang digunakan? Tentu saja gula, perasan dari tebu, yang kontesktual dengan kebutuhan.
Dalam kehidupan berbangsa yang memiliki konteksnya tersendiri, Islam menerangi bangsa melalui “saripati manis”-nya, yakni nilai-nilai Pancasila. Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila yang bermahkota Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi jalan keluar dari dua kebuntuan. Pada satu sisi, kebuntuan teokrasi yang menghendaki penegakan kedaulatan Allah (hakimiyatullah).
Ikhtiar Gus Dur Untuk Pancasila dan NKRI
Pada awal-awal masa Orde Baru, wacana menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal banyak pertentangan dari berbagai kalangan Islam fudamental, termasuk Gus Dur dan NU.
Gusdur Tampil di depan, memainkan gagasan Islam Kebangsaan dan pancasila melalui Nahdlatul Ulama (NU), sebuah institusi yang telah banyak mewarnai pemikiran Gus Dur, mengingat organisasi terbesar se-Indonesia ini dilahirkan oleh keluarga besarnya kakeknya, Hadratusyeh K.H. Hasyim As’ari beserta jaringan pesantren yang memiliki tradisi kuat tentang keindonesiaan.
Bersama NU, Gus Dur terus mencoba untuk merespons dan menguatkan Pancasila dalam sendi kehidupan masyarakat, tepatnya pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, pada 21 Desember 1983. Di sana Gus Dur menampung dan menguatkan hubungan Islam dan Pancasila melalui sebuah deklarasi yang berbentuk penegasan-penegasan tentang perbedaan falsafah kenegaraan dan posisi keagamaan masyarakatnya.
Menurut Nur Syam, dalam NU Pancasila dan Civil Religion, menyebutkan deklarasi tentang hubungan Islam dan Pancasila tersebut secara jelas, NU berikut Gus Dur berusaha untuk menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap Pancasila yang merupakan falsafah dasar Indonesia, namun sekaligus, penjelasan tersebut tidak semata-mata membuat Islam harus berdiri berseberangan dengan Pancasila.
Sumbangsih Gus Dur menganggap penerimaan Pancasila melalui beberapa pertimbangan penting, antara lain:
Pertama, konsep fitrah. Yang merupakan sangat penting dalam Islam. Fitrah merupakan dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemukan Tuhannya. Dorongan tersebut menyebabkan manusia menyerah diri (Islam) kepada Allah.
Kedua, konsep ketuhanan. NU menilai rumusan yang Maha Esa menurut Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa” disini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara adalah bersifat rumit dan krusial.
Ketiga, pemahaman sejarah. Maksudnya ialah penerimaan Pancasila diperkuat oleh Mukatamar NU dengan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahan kemerdekaan bangsa.
Gus Dur Benteng Pancasila dan Demokrasi
Terdapat beberapa poin kiprah Gus Dur dalam mengawal Pancasila, diantaranya:
Pertama, kelompok penentang Pancasila dapat diimbangi dengan istilah “peminjaman budaya yang selektif”, pernah didengungkan Ki Hajar Dewantoro. Di mana pembaruan harus dilihat dari segenap faedah dan mempertimbangkan nafas lokal Indonesia.
Karena harus benar-benar diakui bahwa kelompok ini merupakan bagian dari reaksi jaringan global, bukan skala lokal, jangan sampai, masa depan Pancasila diberangus oleh istilah pembaruan dan kelompok lainnya tidak dapat berperan karena terperangkap oleh kesan kontra-pembaruan.
Kedua, seperti yang dilakukan oleh Gus Dur, bahwa Pancasila harus dikawal dengan baik oleh pelaku yang baik pula. Bukan Pancasila yang terlampau diagungkan menjadi senjata pamugkas era Orde Baru. Bukan pula dilebur-totalkan melalui penerjemahan pemerintahan sekular.
Pancasila harus menempati posisi semula, sebagai polisi yang adil di antara berbagai kelompok, dan sebagai meja diskusi untuk mendengar masing-masing aspirasinya. Karena fungi-fungsi tersebutlah yang menjadikan Gus Dur berkata, tanpa Pancasila, Indonesia tidak akan ada, atau jika pun ada, Indonesia sekadar raksasa mati dan bukan sebagai negara yang dicita-citakan.
Perjuangan Gus Dur terhadap pengawalan Pancasila, saat Ia menjabat sebagai seorang Presiden. Terkait hubungan Islam dan Pancasila, Gus Dur menerbitkan kepres No. 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.
Dalam keputusan tersebut, Gus Dur merasa bahwa Pancasila harus diperankan dalam pengakuan hak-hak sipil penganut Konghucu, semisal memberi keleluasaan untuk merayakan Imlek dan beribadah sesuai dengan keimanannya. Gus Dur jelas menimbang dirinya sebagai seorang tokoh muslim, namun menjalankan prinsip-prinsip bernegara yang menjamin kebebasan beragama adalah suatu keharusan, meskipun harus bertentangan dengan pemerintahan sebelumnya dan satu-dua kelompok Islam yang cenderung menganut dominasi mayoritas.
Gus Dur Pembela Kemanusiaan
Gagasan mencabut TAP MPRS Nomor XXV/1966, Presiden kelima Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid, selalu menjadi perhatian sampai saat ini. Selain makna yang sangat dalam, cara pandang Gus Dur soal kehidupan berbangsa dan bernegara diakui memang telah membuka jalan pikiran bagi setiap yang mendengarnya.
Dasar argumentasi yang disampaikan Gus Dur memang tepat dan sesuai dengan kondisi yang terjadi. Meski begitu, saat menjabat sebagai presiden, kebijakan Gus Dur selalu menjadi polemik. Salah satu alasannya karena pemikiran Gus Dur terlampau sudah melesat jauh ke depan dibandingkan dengan tokoh lain yang menolaknya.
Seperti saat Gus Dur mencabut TAP MPRS Nomor XXV/1966 Tentang Pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ramai-ramai Gus Dur dihujat dan dicaci maki oleh lawan politiknya. Ternyata setelah diungkap, apa yang dilakukan Gus Dur tersebut sudah tepat dan tidak bertentangan dengan konstitusi negara.
Gus Dur mempunyai tiga alasan secara obyektif, mencabut TAP MPRS Nomor XXV/1966. Pertama, konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Soviet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.
Menurut Gus Dur, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Menetapkan konsep negara hukum dalam pelaksanaan negara, seperti persamaan hak-hak yang diatur berdasarkan ketetapan hukum. Karena, negara Indonesia berdasarkan atas hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 amandemen ketiga menyatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, Negara hukum yang dimaksud ialah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan menurut hukum. Akan tetapi, Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri mengenai pandangan tentang negara hukum, yakni negara hukum Pancasila.
Kepulangan Gus Dur menyisakan duka dan kepiluan yang amat mendalam bagi bangsa Indonesia. Karena kehilangan tokoh agama, pejuang demokrasi, pemimpin politik, pembela kaum minoritas, pengusung hak asasi, pahlawan pluralisme, penganjur perdamaian, dan penentang kekerasan.
Semua karya dijalaninya dengan sepenuh hati sebagai panggilan hidup, sekaligus sebagai perwujudan keyakinan dan nuraninya. Dalam memperjuangkan prinsip hidup, Gus Dur tidak pernah ragu-ragu, tegas, tanpa kehilangan rasa humor yang tertinggi. Ia dikenal sebagai sosok yang humoris dan pemberani di semua medan dalam membela kemanusiaan.
*Penulis adalah Dosen Tetap STISNU Nusantara dan Wakil Ketua DPC PKB Kabupaten Serang.