
Tulisan ini menanggapi artikel berjudul Kritik al Ghazali Terhadap Filsafat Barat, telah terbit sebelumnya.
SELAMA bertahun-tahun, para cendekiawan menuduh Abu Hamid al Ghazali yang hidup antara tahun 1055 hingga 1111, secara sepihak membawa budaya Islam ke arah fundamentalisme agama. Menutup pintu kultur independen ilmu pengetahuan Islam.
Mereka menganggap al Ghazali telah memantik sikap antipati terhadap sains di kalangan umat muslim. Kemudian berujung pada kemunduran dan kehancuran peradaban Islam. Setidaknya ini menurut para akademis dan orientalis.
Karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, dianggap telah membunuh ilmu falsafah. Sehingga tidak bisa lagi tumbuh di dunia muslim.
Alasannya jelas, sikap al Ghazali terhadap filsafat terlihat ambivalen. Pada satu sisi, ia menerima beberapa bagian dari filsafat. Seperti ilmu alam dan logika. Di sisi lain, al Ghazali berusaha menguasai filsafat untuk melakukan kritikan terhadapnya.
Baca Juga
Polemik al Ghazali dengan para filsuf —yang ia tuliskan dalam karyanya Tahafut al-Falasifah— membuat sebagian orang memandang bahwa al Ghazali ialah orang yang anti filsafat, anti rasio, dan seorang ulama ortodoks semata.
Dari sini kemudian al Ghazali banyak mendapat kecaman. Dituding sebagai seorang yang bertanggung jawab memundurkan capaian intelektual umat Islam.
Dalam buku tersebut, ia menerangkan kelemahan-kelemahan argumentasi para filsuf barat dan muslim. Terutama pemikiran Ibnu Sina dan al Farabi.
Al Ghazali mengkritik para filsuf dengan menyanggah tiga butir pendapat. Yaitu kadimnya alam, Allah tidak tahu yang juz’iyyat dan partikular, serta kebangkitan jasmani di akhirat. Bahkan tak segan-segan al Ghazali menghukumi kafir.
Tak ada satupun filsuf muslim yang berani untuk menjawab kritik terhadap al Ghazali, kecuali Ibnu Rusyd. Filsuf muslim asal Andalusia. Ibnu Rusyd menyanggah argumen al Ghazali dengan karyanya berjudul Tahafut al-Tahafut.
Menurutnya, bukan argumen filsuf muslim yang sesat pemikirannya, melainkan pemikiran al Ghazali yang keliru (rancu) dalam menanggapinya.
Ibnu Rusyd, yang hidup antara tahun 1126 hingga 1198 dan dikenal dengan nama Averroes di Benua Eropa ini, merasa terpanggil untuk meluruskan pemikiran para filsuf dari serangan dan pengkafiran al Ghazali.
Dia menulis Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Ibnu Rusyd menunjukan secara tegas bahwa al Ghazalilah yang sebenarnya dalam kekacauan pemikiran. Berikut penjelasannya terhadap 3 masalah tersebut.
1. Kadimnya alam
Para filsuf mengatakan, bahwa alam itu kadim. Dalam artian tidak bermula. Sedangkan menurut al Ghazali, alam diciptakan Tuhan dari sesuatu yang tidak ada.
Karena menurutnya, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Jika alam tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.
Sementara Ibnu Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam) atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud).
Barangkali yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah “menjadi ada” dalam bentuk lain. Artinya, alam ini kadim. Alam diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Bagi Ibnu Rusyd, al Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan. Tidak ada seorang filsuf muslim satu pun berpendapat kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah.
Akan tetapi, yang mereka maksudkan ialah yang “ada” berubah “menjadi ada” dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada, ialah suatu yang mustahil. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti kadim.

2. Pengetahuan Tuhan
Al Ghazali menyatakan bahwa para filsuf berpendapat Allah tidak mengetahui yang bersifat juz’iyyat dan partikular di alam. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang telah diciptakan.
Menanggapi hal ini, Ibnu Rusyd menegaskan al Ghazali telah salah paham. Sebab para filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.
Jadi menurut Ibnu Rusyd, pertentangan antara al Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan antara pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.
Padahal, pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera. Oleh sebab itu, pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya.
Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal. Sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.
Jadi perbedaan antara al Ghazali dan para filsuf muslim lainnya tentang pengetahuan Tuhan itu sudah jelas. Ia menyamakan ilmu Allah dengan manusia.
3. Kebangkitan jasmani di akhirat
Persoalan terakhir yang menjadi gugatan al Ghazali terhadap para filsuf ialah menolak terhadap kebangkitan jasmani di akhirat.
Menurutnya, para filsuf mengatakan di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam bentuk jasmani. Hal ini bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam membantah pemikiran al Ghazali, Ibnu Rusyd menandaskan bahwa filsuf tidak menolak adanya kebangkitan rohani.
Namun, Ibnu Rusyd sendiri tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama rohani. Dengan catatan, jasad tersebut bukanlah yang ada di dunia. Karena yang sudah mati itu hancur disebabkan kematian. Sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.
Menurut Ibnu Rusyd, dalam hal ini al Ghazali terdapat pertentangan dengan pendapatnya sendiri. Karena di dalam kitab Tahafut al-Falasifah, al Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani.
Sedangkan kitabnya yang lain, tentang tasawuf, al Ghazali menyebut bahwa kebangkitan bagi kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Tidak dalam bentuk jasmani.
Sementara bila dilihat sejarah kehidupan al Ghazali, di akhir hidupnya dia adalah seorang sufi. Dengan demikian, kritikannya terhadap filsuf lain gugur dengan sendirinya oleh pendapatnya sendiri.
Perdebatan panjang antara al Ghazali dan Ibnu Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan argumen dari kedua pemikir Islam tersebut.
Al Ghazali dari golongan filsafat di dunia Islam Timur (Persia). Sedangkan Ibnu Rusyd merupakan salah satu pemikir dari golongan filsafat di dunia Islam Barat (Andalusia/Spanyol). Keduanya memiliki pendapat berbeda.
Ditulis oleh: Ani Apriani. Mahasiswa Pascasarjana ITB Ahmad Dahlan. Saat ini menjabat Ketua Umum Kohati Cabang Jakarta Barat.