spot_img
spot_img

Jalan Liku Demokrasi Indonesia

Penulis: Abdul Haris*

RATUSAN juta rakyat Indonesia akan kembali berpesta pora dalam merayakan demokrasi. Pemilihan umum mencakup eksekutif dan legislatif, yaitu Pilpres, Pileg, dan kepala daerah.

Akan tetapi lika-liku demokrasi menuju kontestasi sangat amat sulit dicapai, rintangan demi rintangan terus berdatangan menguji kesabaran demokrasi kita. Sungguh melelahkan sekali, seakan kita sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia untuk kesekian kalinya.

Duri itu sedang diciptakan oleh kelompok tertentu yang menginginkan demokrasi ini merosot dari kesepakatan awal seperti yang termaktub dari hasil para pejuang reformasi. Tentu hal semacam ini membuat indeks demokrasi di Indonesia jauh menurun dari negara-negara lain.

Pertama, muncul statement orang-orang istana dan para loyalis/relawan Presiden Jokowi mengatakan akan ada kemungkinan bisa menunda Pemilu sampai bahkan bisa memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. Narasi ini terus digaungkan seakan datang dari akar rumput rakyat.

Baca Juga

Padahal rakyat tahu betul bahwa konstitusi kita telah mengamanahkan masa jabatan presiden itu maksimal 5 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih lagi apabila mencalonkan kembali. Namun, hanya 1 kali saja penambahan masa periode. Artinya total hanya 10 tahun saja, dan tidak bisa diganggu gugat.

Di sisi lain memang bisa mengubah apabila memungkinkan, yaitu dengan cara amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota.

Tetapi hal itu tidaklah baik bagi demokrasi kita, sebab negara akan merasa puas dengan kepemimpinan yang statis, namun tidak dimanis. Sebab idealnya negara yang baik dan sehat ialah negara yang sistem perpindahan kekuasaannya dapat berubah (dinamis).

Kedua, kaitannya dengan sistem Pemilu, semua elemen demokrasi sudah sepakat bahwa sistem Pemilu ialah sistem proporsional terbuka. Dengan ini rakyat tetap dengan leluasa memilih pemimpin daerah serta calon wakil rakyatnya dengan baik dan benar.

Apabila sistem proporsional tertutup dilakukan maka kemungkinan terjadi transaksi politik kotor semakin besar adanya. Karena partai akan punya kuasa yang besar mengatur nama-nama orang yang justru tidak disukai oleh rakyat tetapi mendapatkan kursi, asal kepentingan partai politik dan kelompok nya bisa diakomodir. Sehingga tidak lagi ada pembicaraan mengenai bekerja untuk rakyat, semata hanya untuk kelompok dan konco-konconya.

Itulah fenomena yang akan terjadi apabila sistem pemilu legislatif dilakukan tertutup. Rakyat tidak lagi menjadi tuan, tetapi hanya bagian dari aksesoris demokrasi semata, atau fitur-fitur demokrasi semata untuk menghasilkan kekuasaan saja. Setelah itu selesai.

Selanjutnya sistem Pemilu tertutup akan sangat menguntungkan partai-partai besar seperti yang berada di kekuasaan saat ini, partai kecil hanya menjadi pengisi dan pelengkap jalannya demokrasi saja. Tidak lebih dari itu.

Dengan sistem tertutup akan memungkinkan penguasa dapat berkuasa kembali dengan cara-cara seperti ini. Merubah sistem melalui kekuatan hukum yang mereka bisa atur.

Namun, pada akhirnya rakyat menang, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa sistem proporsional terbuka tetap dilakukan. Itulah kemenangan rakyat, sehingga kebebasan dalam memilih wakilnya tetap sesuai keinginan hati nurani mereka.

Ketiga, kaitannya dengan membegal partai politik. Tidak ada dalam sejarah dunia bahkan dalam sejarah mahabrata membegal hak kelompok tertentu dengan cara yang tidak masuk akal. Tidak pernah menjadi kader partai sedetikpun namun mampu mengendalikan kekuatan besar untuk mendapatkan rumah besar yaitu partai politik.

Tentu ini semua lagi-lagi akan mencoreng demokrasi kita, betapa buruknya hal-hal seperti ini dibiarkan. Dengan kata lain pemerintah sering sekali membela Palestina agar tidak dijajah oleh israel, tapi di sisi lain membiarkan dalam lingkaran istana merebut partai politik yang berseberangan dengan kekuasaan. Lalu apa bedanya posisi politik saat ini yang dilakukan oleh orang-orang istana?

KSP Moeldoko harus belajar pada Fahri Hamzah membangun partai Gelora dan Amien Rais membangun Partai Ummat. Bahkan Anas Urbaningrum membangun partai PKN bersama loyalisnya walau saat di penjara sekalipun.

Jadi penulis berpikir, Moeldoko lebih terhormat apabila berjiwa besar dan bersikap seperti ketiga tokoh di atas. Kita yakin dengan masa sebanyak itu, KSP Moeldoko pasti bisa.

Fenomena seperti ini apabila terus menerus dibiarkan, maka akan mencapai pada Indeks demokrasi yang sangat buruk dan akan menggoyang kebinekaan kita.

Ditulis oleh: Abdul Haris. Pengurus HMI Badko Jabodetabeka-Banten.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

Krisis Keteladanan Pejabat Negara

Jokowi di Persimpangan: Golkar atau Gerindra?

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart