Oleh: Erna Ummu Aqilah*
SETIAP insan manusia selalu mendambakan hidup bahagia. Serba kecukupan dari segi sandang, pangan, maupun papan.
Tak perlu khawatir ketika sakit mendera, pusing mikirin besok makan apa. Istilah kata saat muda kecukupan, dan ketika tua hidup tenang, bahagia, bisa khusyu beribadah untuk persiapan menghadap Sang Kuasa.
Faktanya, impian sederhana ini tak bisa diwujudkan semua manusia. Banyak di antara kita yang justru hidup menderita dari kecil, dewasa, hingga hari tuanya.
Nenek Mirah salah satunya. Seperti yang diberitakan banyak media beberapa waktu lalu. Ia merupakan nenek renta berusia 75 tahun. Hidup sebatang kara di Kampung Jati RT. 01 RW. 04 Desa Slapajang Kecamatan Cisoka Kabupaten Tangerang.
Baca Juga
Nenek Mirah tinggal di sebuah gubuk reyot seorang diri. Suami dan anaknya telah meninggal dunia.
Karena tubuhnya yang renta, ia tak lagi mampu mencari nafkah. Selama ini untuk bertahan hidup mengandalkan belas dari keponakan dan tetangga sekitar.
Miris, padahal lokasinya tidak jauh dari pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Namun luput dari para pejabatnya.
Meski menurut pejabat desa setempat, sudah semaksimal mungkin membantu dan berupaya memberikan sembako, materi bahkan sudah didata untuk diajukan program bedah rumah, dengan menggunakan anggaran desa atau kecamatan.
Namun karena terkendala administrasi, seperti tidak memiliki, E-KTP dan Kartu Keluarga (KK), terpaksa hingga sampai saat ini, Nenek Mirah harus tinggal dan menikmati hari tuanya di gubuk reyot.
Fakta ini sungguh membuat miris, bagaimana bisa negara yang sudah 76 tahun merdeka, masih banyak didapati warga yang hidup menderita. Bahkan sampai hari tua.
Padahal dalam UUD 1945 pasal 34 menyatakan, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dipelihara berarti dijaga, dirawat, dan dilindungi. Namun, karena alasan administrasi yang sebenarnya sangat bisa diupayakan, terpaksa membuat Nenek Mirah sulit mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Dalam sistem kapitalis sekuler saat ini, apalagi dalam masa pandemi, kemiskinan semakin hari semakin meningkat.
Banyak masyarakat yang sulit mendapatkan pekerjaan, kehilangan mata pencaharian, pelaku UMKM terpaksa harus gulung tikar, karena tidak mampu bersaing dengan serangan produk impor.
Namun di sisi lain, banyak pejabat dan anggota dewan, yang justru di masa pandemi ini harta kekayaannya naik berlipat-lipat. Padahal mereka itu dibayar oleh rakyat, dan sudah seharusnya mereka bekerja sepenuhnya demi melayani rakyat.
Seharusnya mereka malu, saat rakyatnya hidup susah, mereka malah hidup mewah. Mereka telah melupakan janji-janji manis saat kampanye dulu. Seolah-olah rakyat hanya dijadikan alat meraih kesuksesan semata.
Berbeda dengan pandangan Islam. Dalam Islam, pemimpin sangat bertanggung jawab terhadap rakyatnya, karena takut dan taat pada aturan Tuhannya, yakni Allah Swt. Karena Rasulullah saw telah bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Seharusnya para pemimpin di negeri ini waspada, dengan apa yang menjadi amanahnya. Sebab kelak mereka akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt.
Mereka seharusnya memiliki rasa empati, simpati, kasih sayang, serta rela mengorbankan waktu, tenaga, harta bahkan nyawa demi kepentingan rakyatnya.
Semoga kita dikaruniahi pemimpin-pemimpin yang adil, amanah, bertanggungjawab, beriman, bertakwa, serta tunduk pada aturan Allah Swt, aamiin. Wallahualam Bissawab.
*Penulis tinggal di Desa Pete Kecamatan Tigaraksa.