Oleh: Erna Ummu Aqilah*
BARU-BARU ini masyarakat digegerkan dengan berita perundungan yang dialami oleh salah satu pegawai KPI pusat. Korban yang berinisial MS, mengalami berbagai pelecehan dan perundungan yang dilakukan teman kejanya sendiri.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nuning Rodiyah, dalam beberapa media menyatakan, telah menyerahkan seluruh proses hukum ke polisi. Menurutnya, KPI akan memberikan pendampingan hukum dan pemulihan kejiwaan terhadap korban.
Menurut pengakuannya, korban telah mengalami pembulian sejak tahun 2012 silam. Akibatnya sering mengalami sakit, setres, dan trauma berat. Namun demi alasan mencari nafkah, korban terpaksa bertahan di KPI pusat.
Fakta tersebut tentunya membuat kita miris. Bagaimana bisa KPI yang merupakan lembaga negara, dan sesuai amanah UU, berkewajiban menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar, tetapi dengan adanya kasus di internal KPI pusat, tentunya telah mencorang lembaga ini.
Baca Juga
Bagaimana bisa KPI yang memiliki tugas sangat mulia, namun bisa terjadi pelecehan di internal hingga bertahun-tahun lamanya. Tentu hal ini memicu pertanyaan di tengah masyarakat akan keseriusan kinerja KPI.
Sebab baru-baru ini keseriusan KPI juga dipertanyakan, terkait kebebasan seorang artis penyanyi dangdut berinisial SJ.
Sebab SJ dihukum atas kasus pencabulan anak di bawah umur. Juga terbukti melakukan penyuapan dengan tujuan mempengaruhi bukti dalam meringankan hukuman.
Meriahnya penyambutan kebebasan SJ, memicu reaksi di tengah masyarakat. Kok bisa ya, seorang pelaku kejahatan seksual anak di bawah umur, disambut dengan meriah. Seolah-olah atlet baru pulang bertanding dan mendapatkan kemenangan.
Ini tentunya membuka luka lama bagi korban dan keluarga sekaligus bisa melukai perasaan korban-korban pedofil yang lainnya. Apalagi di hari yang sama, SJ menjadi bintang tamu program televisi.
Dalam sistem kapitalis sekuler seperti saat ini, wajar terjadi. Sebab sistem sekuler telah berhasil menjauhkan masyarakat dari ajaran agamanya. Sehingga apapun yang dilakukan tidak lagi bersandar pada halal dan haram, melainkan senantiasa berorientasi pada keuntungan materi semata.
Ringannya hukuman terhadap pelaku kejahatan, membuat kejahatan tersebut susah untuk dihentikan. Sebab hukum yang berlaku tidak mampu membuat para pelaku menjadi jera.
Seharusnya pelaku kejahatan tidak lagi diberikan panggung. Apalagi seorang artis yang tentu banyak penggemar dan biasanya akan selalu ditiru segala tingkah lakunya.
Namun dalam sistem kapitalis sekuler, tentu bagi para pemilik modal keuntungan materi adalah segala-galanya. Jadi tidak aneh meskipun tidak ada manfaatnya bagi masyarakat, asalkan menguntungkan secara materi akan dilakukannya.
Berbeda dengan hukum Islam, para pelaku kejahatan akan mendapatkan sangsi seberat-beratnya dan seadil-adilnya. Karena hukum yang berlaku bersumber dari Yang Maha Adil Allah Swt.
Dalam Islam, hukum yang dijatuhkan memiliki dua fungsi, yakni sebagai penebus dan pencegah.
Pertama sebagai penebus, bagi pelaku kejahatan apabila telah dihukumi dengan hukum Allah Swt, maka kelak di akhirat dia terbebas dari hukuman tersebut.
Kedua sebagai pencegah, yakni kerasnya hukum yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, akan mampu memberi rasa takut para calon pelaku kejahatan, sehingga berfikir ulang ketika hendak melakukan kejahatan.
Selain itu dalam Islam, media memiliki fungsi sangat mulia yakni, sebagai sumber informasi dan edukasi bagi masyarakat. Setiap apa saja yang ditayangkan harus bermanfaat dan senantiasa terikat dengan syari’at.
Apabila ada yang melanggarnya akan dikenakan sangsi seadil-adilnya. Jadi media sangat berperan dalam mendidik sekaligus menjaga akidah dan moral bangsa. Wallahu A’lam Bishshawwab.
*Penulis tinggal di Desa Pete Kecamatan Tigaraksa.