Oleh: Dede Nova Andriana*
DALAM rentang waktu yang cukup panjang, masyarakat Indonesia khususnya komunitas muslim menjalankan ritual keagamaan tahunan, atau biasa disebut dengan Idulfitri. Setelah sebulan penuh menjalankan puasa sebagai bentuk ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Jika dilihat dari historis, keragaman di Indonesia yang mayoritas adalah warga muslim membuat hegemoni masyarakat secara kultural ikut merasakan atmosfer bulan suci ini.
Tentu menjadi momentum bagi sebagian kalangan untuk memanfaatkan bulan kemulyaan dengan cara yang beraneka ragam. Bagi umat muslim, momentum Ramadan dijadikan sebagai bentuk aktualisasi diri, baik secara vertikal maupun horizontal.
Ketakwaan, ketaatan, dan nilai-nilai religius merupakan spiritualitas yang bersifat vertikal. Sementara dalam aspek sosiologis (horizontal), tercermin dalam aktifitas masyarakat.
Baca Juga
- NU dan Muhamadiyah Kompak, Lebaran Hari Kamis
- GEMA Mathla’ul Anwar Kecam Penyerangan Tentara Israel Terhadap Warga Palestina
Gejala ini acap kali dijadikan keuntungan bagi para kapital. Para pengusaha memanfaatkan momen ini sebagai ceruk karena angka permintaan kebutuhan pasar melonjak.
Sirup Marjan misalnya. Produk ini menjadikan Ramadan sebagai peluang untuk meraup omzet dalam skala besar. Karena selama satu bulan, permintaan pasar mampu melampaui sebelas bulan dalam kurun waktu satu tahun sebelumnya.
Sirup Marjan menggunakan strategi sensasional, atau biasa juga disebut dengan “strategi musiman”. Sirup Marjan memusatkan iklan pada bulan Ramadan, menggunakan media televisi.
Dengan menggunakan strategi sensasional dalam beriklan, sirup Marjan akan meraup keuntungan sekaligus membangun image brand itu sendiri dengan waktu yang singkat.
Sehingga, masyarakat Indonesia mendapati suatu fenomena sosial gaya baru. Ada pelbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda. Namun, mempunyai hubungan yang erat sehingga tidak dapat dipisahkan.
Iklan merupakan satu bentuk tanda dan penanda bahwa telah terjadi interaksi yang pada akhirnya menimbulkan asimilasi secara multidimensi.
Kita akan mengingat, jika iklan sirup Marjan mulai meramaikan televisi, itu pertanda sebentar lagi Ramadan tiba. Selain produk seperti sirup tentunya, segala kebutuhan disediakan dengan stok yang lumayan banyak dengan fasilitasi oleh kaum feodal.
Dan bagi para peziarah, bulan ini merupakan wujud penantian untuk mudik ke tanah kelahiran. Bertemu keluarga dan sanak saudara.
Perayaaan hari raya di Indonesia memiliki ciri tidak tunggal. Namun demikian, tetap memiliki esensi yang relatif sama, yakni ajang silaturahmi dan saling emaafkan satu sama lain. Dengan cara beda-beda.
Dengan bantuan teknologi yang sudah semakin canggih di era globalisasi, hambatan lain bisa dilalui. Teknologi bisa menjadi solusi juga problem.
Dengan bantuan teknologi, tentu silaturahmi terasa begitu dekat. Cukup beberapa menit ucapan demi ucapan bertebaran di mana-mana.
Bayangkan bila setiap manusia bisa melihat setiap pesan yang terkirim, tentun langit-langit terasa ramai dan padat. Bahkan jumlah seluruh penduduk di pulau jawa pun bisa kalah oleh jumlah pesan yang terkirim lewat jejaring internet.
Tanpa datang dan melihat langsung kondisi lawan bicara, pesan silaturahmi dengan mudah sampai tanpa khawatir ada yang cacat atau sobek akibat proses pengiriman.
Bayangkan bila tidak ada internet dan masih menggunakan kantor pos dengan weselnya. Saya rasa pesan akan ditulis dari jauh-jauh hari sehingga kata-kata bisa di susun sedemikian rupa tanpa perlu kopas sana sini.
Manusia akan lebih kreatif ketimbang bergantung pada penemuan Lawrence G. Tesler dengan copy dan pastenya. Memang komputer mulai populer, tetapi tidak langsung mudah seperti sekarang ini.
Di era 60-an, sederet command panjang harus diketik untuk digandakan dengan mengkopi sebuah tulisan tadi. Memudian mempaste di tempat tertentu.
Sedikit perubahan di era 1974-1975, seorang karyawan Xerox bernama Lawrence G. Tesler menemukan cara kopi paste yang lebih sederhana. Disusul kemudian oleh Apple (1981) yang mulai memunculkan penggunaan tombol ctrl + C untuk mengkop, ctrl + X untuk Cut, dan ctrl + V untuk mempaste.
Baca Juga
- Melalui Raker, IKA PMII Tangerang Inisiasi Pembangunan Gedung Pergerakan
- Kecewa Kinerja Dinsos Tangerang, Ayah Korban Penyiraman Air Panas Laporkan ke Ombudsman
Teknologi tersebut semakin lengkap dengan munculnya ctrl + Z untuk pembatalan (undo). Windows pun mengadopsi teknologi hasil temuan Apple tersebut. Maka jadilah proses kopi paste menjadi sangat mudah seperti yang hadir di depan meja kita sekarang ini.
Saya jadi teringat novel “Sepotong Senja untuk Pacarku” karya Seno Gumira Adjidarma. Dalam novel itu, tokoh utama bernama Sukab yang mengirimkan sekerat senja dalam amplop untuk Alina, pujaan hatinya. Namun baru sampai sepuluh tahun kemudian.
Saya tidak bisa membayangkan, bila hal ini sungguh terjadi pada kehidupan nyata. Seseorang yang mengirim pesan lalu butuh sepuluh tahun untuk sampai.
Kondisi seperti itu mungkin tidak etis untuk kondisi budaya di Indonesia sekarang. Jangankan menunggu sampai sepuluh tahun, lima menit mendapati gangguan sinyal internet saja manusia sudah sempoyongan ketar-ketir seperti tidak gajian sepuluh tahun.
Di sisi lain, masyarakat kita juga terlalu pragmatis. Dalam bahasa Yunani, pragmatisme merupakan suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang bermanfaat secara praktis.
Aliran ini bersedia menerima segala hal bila membawa akibat praktis. Patokan pragmatisme adalah manfaat bagi hidup praktis. Bagi mereka, orang yang pragmatis mengucapkan bahwa aliran ini semakin banyak manfaatnya maka semakin benar suatu hal.
Maka dari itu bisa kita pahami bahwa pragmatisme itu merupakan sebuah aliran yang mengajarkan, bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang terbukti yang nyata dengan melihat manfaat secara praktis simple.
Jika kita meliihat kondisi ekonomi politik serta budaya. Sekarang segala sesuatu perlu cepat dan singkat tapi tidak berarti menjadikan manusia semakin moderat.
Bahkan dalam level makanan pun manusia sekarang lebih memilih fast food atau makanan cepat saji di bandingkan makan yang memiliki proses sedikit lebih lama dalam penyajiannya.
Budaya singkat—cepat telah melahirkan manusia dalam pusaran pragmatis lalu membunuh proses pencapaian. Hal yang sering terlewati ini sebenarnya adalah yang paling punya arti.
Tahun ini mungkin menjadi tahun yang berbeda dengan dua atau tiga tahun ke belakang. Karena masyarakat dunia merasakan Idulfitri dengan hegemoni bersama wabah Corona.
Sebuah kultus yang akhirnya makin memantapkan manusia dalam pusaran pragmatis. Penggunaan Internet semakin terdepan. Bahkan lebih terdepan dari jargon Yamaha yang mengaku semakin di depan.
Secara tersirat, penggunaan sosial media makin merambah dan masuk ke dalam sela-sela kehidupan manusia. Sebuah sela-sela yang tak dapat di jangkau oleh manusia, namun mampu terjangkau dengan sosial media.
Momentum Idulfitri hendaknya dijadikan kontemplasi, kemudian mendekonstruksi ulang sifat kefitrahannya.
Sebeb, setelah satu bulan penuh berjuang demi meraih hari kemenangan, hendaknya kita teladani dengan bertabayun bersama membuka hati untuk menjadi insan yang lebih mulia. Bukan dengan cara mengobral kata.
* Penulis adalah aktivis kebersihan yang bergelut dibidang jasa laundry sepatu dan Helm.