spot_img

Cisadane Saksi Bisu Perlawanan Masyarakat Tangerang

Penulis: Lutfi Kamil Maulana.

INDONESIA merupakan salah satu negara kepulauan. Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG), tahun 2022 saja terdiri dari 17.024 pulau. Baik yang sudah berpenghuni maupun belum. 

Jumlah itu kemungkinan bisa bertambah atau berkurang. Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 16.056 pulau.

Dengan jumlah pulau yang begitu banyak, negara Indonesia masuk dalam lingkaran cincin api pasifik. Artinya negeri ini akan sering mengalami gempa bumi baik tektonik maupun vulkanik. Walaupun masuk dalam lingkaran Ring Of Fire, negara tercinta kita ini amatlah subur.

Salah satu faktor kesuburan ini lantaran banyaknya sungai yang mengalir melintasi daratan. Sehingga dijadikan salah-satu sumber produksi pangan bagi kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan.

Salah satu sungai terpanjang di Banten adalah sungai Cisadane. Sungai ini melintasi daerah Bogor sampai Tangerang yang kemudian bermuara ke Laut Jawa.

Baca Juga

Sejak zaman kerajaan Hindu Budha (Tarumanagara-Padjajaran) sungai Cisadane dijadikan jalur transportasi perdagangan menuju teluk Jakarta selain sungai Ciliwung. Begitu ramai lalu lintas di sepanjang sungai ini.

Hingga pada zaman Kesultanan Banten, terutama ketika era Sultan Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa, sungai Cisadane adalah batas kekuasaan antara VOC dan Kesultanan Banten. Sungai ini juga sering dijadikan tempat pertempuran melawan VOC yang ingin memonopoli perdagangan di jalur perairan.

Salah satu jalur yang dilewati sungai Cisadane adalah daerah yang sangat terkenal, yaitu Lengkong Ulama atau Lengkong Sumedang. Penyebutan istilah Lengkong Ulama berawal dari seorang anak keturunan Raja Sumedang beserta tentaranya yang pergi ke Banten pada tahun 1631-1633.

Tujuan awal mereka ke Banten untuk menolak pengaruh Kerajaan Mataram. Dan juga karena ketidakmauannya mengejar pemberontakan Dipati Ukur yang juga memberontak kepada Kerajaan Mataram.

Di Lengkong Ulama ada sebuah makam keramat, orang Tangerang sering menyebutnya dengan pangeran Raden Aria Wangsakara yang mempunyai gelar Aria Wiraraja. RA Wangsakara sering juga disebut dengan pangeran santri karena mengikuti kebiasaan para Bupati Sumedang saat itu. Beliau berasal dari Sumedang yang mana jika ditelusuri masih keturunan Kanjeng Sunan Gunung Djati Cirebon.

Sungai Cisadane yang hulunya berasal dari Lereng Gunung Pangrango ini mempunyai sejarah panjang dan menjadi saksi bisu perlawanan kaum pribumi melawan penjajah VOC. Kaum pribumi yang didukung oleh Kesultanan Banten tidak henti-hentinya melakukan aksi pemberontakan dan perlawanan terhadap VOC.

Diantara peperangan yang terjadi adalah apa yang dilakukan oleh RA. Wangsakara sendiri pada tahun 1651 sampai akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1683.

Perlawanan terhadap VOC juga dilakukan oleh Kiai Tapa dan Tubagus Buang pada abad 18 M yang menjadikan Gunung Munara di daerah Rumpin sebagai basis pertahanan.

Perlawanan kaum pribumi mulai melemah ketika Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap akibat pengkhianatan anaknya sendiri, yaitu Sultan Haji yang ingin menguasai kesultanan yang didukung oleh pasukan kolonial Belanda. Akibat pengkhianatan itu, Sultan Ageng Tirtayasa dipenjara di Batavia hingga akhir hayatnya.

Tidak seperti ayahnya yang keras terhadap Belanda, Sultan Haji tidak melakukan perlawanan apa pun terhadap VOC. Bahkan ia lebih akrab dan lebih banyak bekerja sama dengan VOC.

Pada tanggal 2 Juli 1686, Kiai Mas Sutadilaga adalah Bupati Tangerang pertama yang berada di bawah perlindungan Belanda setelah kesultanan Banten dikuasai oleh Sultan Haji.

Sejak berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, orang yang menjadi regent atau Bupati Tangerang selalu atas perlindungan VOC sampai pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad 19, yang mana gubernur Hindia Belanda saat itu Herman Williem Daendels menghapus peta kesultanan Banten dan dipecah menjadi beberapa karisidenan.

Cisadane menjadi lambang benteng pertahanan dan menjadi saksi bisu perlawanan masyarakat Tangerang. Pada saat itu masuk wilayah kekuasaan Kesultanan Banten.

Untuk mengingatkan sejarah perlawanan masyarakat Tangerang maka logo Kabupaten Tangerang terdapat gambar susunan batu yang melambangkan benteng. Dua tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya tahun 1943 adalah tahun berdirinya Kabupaten Tangerang.

Mari kita berdoa seraya mengenang jasa pahlawan masyarakat Tangerang. Lahumul fatihah untuk RA. Wangsakara, Sultan Ageng Tirtayasa, Kiai Tapa, Tubagus Buang, Tubagus Angke, dan lain-lainnya. Amin.

*DItulis Oleh: Lutfi Kamil Maulana. Wakil Ketua PERGUNU Curug-Tangerang.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart