spot_img

Analisis Kampanya Pilkada di Era Post Truth

Penulis: Endi Biaro.

HAROLD Laswell mengatakan, politik adalah cara mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan.

Lasswel, pakar politik legendaris ini dari Amerika ini, begitu akurat mendefinisikan metode inti politik, yakni mempengaruhi orang lain.

Kurun sejarah memperkenalkan kita tentang aneka rupa praktik mempengaruhi khalayak luas.

Era kuno, saat manusia masih terkungkung logika mistika, takhyul, serta klenik supranatural, maka metode “meyakinkan” alam pikir orang lain adalah dengan narasi mitologi.

Baca Juga

Bahwa seseorang layak didukung atau dipilih untuk jadi penguasa karena mereka titisan dewa, atau titipan Tuhan (teokrasi).

Kampanye publik saat itu, sudah tentu pekat dengan kisah-kisah dongeng, gelar-gelar agung, atau ritual-ritual perdukunan. Agar rakyat tesihir dan hilang nyali.

Berikut modus operandi mempengaruhi opini orang lain, di era klasik, juga tak kalah seram. Rakyat dihegemoni (ditaklukan pikirannya), lewat kampanye propaganda dan agitasi.

Seseorang menampilkan diri bak pahlawan atau ratu adil. Dicitrakan sebagai penyelamat satu-satunya.

Maka di era ini politik moderen bersentuhan dengan kampanye yang megah, jorjoran, atraktif, dan show of force (unjuk kekuatan).

Guna melengkapi kampanye propaganda seperti ini, ditopang oleh metode agitasi, yakni menyerang, memprovokasi, dan menjelek-jelekan lawan.

Fase berikut, nuansa propaganda dan agitasi tetap berlanjut. Hanya saja ada perbedaan sedikit, yakni melibatkan sentuhan pencitraan, memakai buzzer atau pendengung, seraya melibatkan begitu banyak instrumen media.

Lantas bagaimana kira-kira pola kampanye Pilkada saat ini?

Sebagaimana ungkapan populer soal era post truth, bahwa fakta tak lagi menjadi basis pembentuk opini publik, melainkan sentimen dan emosi.

Sepertinya ini yang terjadi.

Kampanye Pilkada di era post truth, masih akan kental dengan permainan persepsi, sensasi, dan daya gugah yang mengaduk perasaan.

Di era post truth, reaksi orang lahir dengan cepat dan ekspresif. Karena terbiasa dengan scroll tiktok, orang tak mau lagi berpikir atau menyimak pesan detil dan argumentatif.

Dengan demikian, pesan kampanye Pilkada era post truth akan gagal menyentuh minat audiensi jika bertele-tele. Khalayak Ingin pesan singkat, pendek, tapi menarik.

Celakanya, model pesan post truth seperti ini, kerap dimenangkan oleh konten yang sensasional, provokatif, polutif (penuh kebohongan), dan click bait (judul dan kata kata bombastis).

Lalu apakah kampanye Pilkada masih bisa edukatif dan mencerdaskan?

Undang Undang Pemilu dan Pemilihan selalu menyebut kampanye sebagai bagian dalam pendidikan politik.

Ini soal tanggungjawab moral. Harus tetap ada upaya mengirim pesan cerdas dan mencerahkan, dalam kampanye.

Semua itu bisa dilakukan oleh, terutama, pihak-pihak yang terlibat langsung dalam Pilkada. Baik partai, calon, penyelenggara, kampus, kaum profesional, media, dan lain-lain.

*Ditulis Oleh: Endi Biaro.Anggota KPU Kabupaten Tangerang.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart