TEORI politik klasik, menempatkan anak muda sebagai kelompok penekan (the pressure grup).
Posisi mereka, berada di luar kekuasaan, namun kerap mampu melahirkan perubahan penting.
Di tanah air, pembuktian atas daya gedor anak-anak muda, nyaris terjadi tiap dekade. Terakhir, saat mereka mampu mengawal putusan MK, soal syarat dukungan menjadi calon kepala daerah.
Senyatanya, paradigma lama soal anak muda (dalam relasi kuasa), teramat sempit, jika hanya berhenti di situ.
Fakta berhamburan bahwa relasi kuasa anak muda, terjadi intensif, dengan frekuensi tinggi.
Baca Juga
Jika memakai analogi, maka kaum muda bukan hanya menjadi palu godam yang merontokkan tembok kekuasaan. Namun mereka bisa melukis, mewarnai lanskap politik. Juga menentukan pola kebijakan, sekaligus malah menjadi tukang bangunan, yang mampu mendirikan bangunan politik.
Sederhanya, eksistensi faktual generasi muda, hadir dalam berbagai faktor.
Mereka memberi warna, atas wajah politik terkini. Betapa nalar kritis, keberanian, keributan di Medsos, terhadap isu-isu politik, acapkali mampu mengubah arah kebijakan publik. Atau setidaknya, para pengambil keputusan menghitung respons kaum muda, terutama netizen, dalam memutus kebijakan.
Berikutnya, semacam ada pola baru dalam dialektika politik, yakni memberikan peran kepada para tokoh-tokoh muda, untuk berkiprah langsung.
Kita bisa menyebut senarai program pemerintah, yang dikelola (mayoritas) kaum muda.
Meski klise, ungkapan bahwa anak muda tak lagi jadi objek, melainkan beranjak sebagai subjek politik.
Paling menonjol, pintu masuk kaum muda untuk berperan dalam sirkulasi kekuasaan, terjadi saat momentum Pemilu dan Pilkada. Dipastikan, jutaan anak muda terlibat. Baik sebagai penyelenggara (KPU, PPK, PPS, Pantarlih, dan KPPS, plus Bawaslu serta badan Ad Hoc di bawahnya). Sektor lain, mereka yang menjadi konsultan, pendamping, surveyor, atau tim sukses.
Ringkasnya, ranah Pemilu Pilkada, adalah medan keberadaan peran politik kaum muda.
Lalu apakah ini produktif dalam konsolidasi demokrasi?
Menurut Dan Nimmo, dalam buku Komunikasi Politik, fungsi agensi politik anak muda punya ciri khas. Mereka lebih kredibel (karena belum pekat dengan kepentingan politik praktis). Relatif bebas bermain. Terbuka terhadap ide-ide. Dan cepat merespon isu-isu perubahan.
Komunikasi politik kaum muda nyaris kontras dengan penguasa, yang cenderung status quo (mempertahankan gaya lama, meskipun jelek dan merusak).
Dalam konteks Pilkada Kabupaten Tangerang, maka pembedahan interaksi multi fungsi kaum muda, yang disebut Dan Nimmo di atas, bisa diterapkan.
Pertama, kiprah mereka sebagai penyelenggara (bahkan setingkat KPPS), jelas membuka ruang eksperimen yang berfaedah banyak.
Mereka akan mengerti pengorganisasian, administrasi, dan juga pengelolaan IT (data base pemilih atau logistik yang Pilkada).
Berikutnya, yang kedua, jika anak-anak muda mau menjadi bagian dari penyelenggaraan Pilkada, maka serapan pengetahuan akan mereka sedot. Setidaknya membaca aturan main, regulasi, dan instrumen hukum yang dibutuhkan. Diskusi cerdas dan percakapan mereka, akan tersentuh sesuatu yang mencerahkan.
Ketiga, ini yang terpenting, dialektika keterlibatan anak muda di penyelenggara, menggiring mereka berinteraksi dengan aktor politik atau tokoh publik, yang punya komitmen membangun demokrasi. Artinya, edukasi politik sehat bisa mereka peroleh.
Berikutnya yang terakhir, keempat, dengan ikut serta sebagai penyelenggara, mereka terjauhkan dari polisi dan penyesatan informasi (hoax). Lantaran mereka berada dalam kutub interaksi officially (informasi resmi dari PPS, PPK, atau KPU). Jadi, mereka akan menjadi mesin anti hoax.
Lalu bagaimana dengan anak muda yang menjadi konsultan, pendamping, atau surveyor politik? Sepertinya sama saja sehatnya. Karena bagaimanapun mereka akan belajar banyak soal strategi, pengelolaan jaringan, pelatihan, kampanye publik, aturan hukum, plus manajemen informasi.
Anak-anak muda, bergeraklah!
*Ditulis oleh: Endi Biaro. Anggota KPU Kabupaten Tangerang.