spot_img

Melawan Perang Dusta di Pilkada

Penulis: Endi Biaro*

JIKA engkau menceritakan aibmu kepada pohon, pohon akan berbisik kepada daun, daun bercerita pada burung, burung berkicau kepada angin, dan angin menghembuskan ke seluruh dunia.

Selarik bait puisi Kahlil Gibran ini, terasa mengena di suasana Pilkada.

Pujangga kelas dunia kelahiran Lebanon ini mengingatkan, agar kita berusaha menjaga rahasia. Sekali aib terbongkar, maka sulit dikendalikan.

Masalahnya, dalam konstalasi Pilkada, terjadi hal sebaliknya.

Seseorang bukan hanya dibongkar aib dan kelemahannya. Melainkan juga diserang dengan fitnah, dusta, kebencian, dan kegaduhan

Baca Juga

Kerap terjadi, pihak yang berbeda, jadi sasaran amuk penyebar dusta. Aib dan kelemahan, sengaja diciptakan. Padahal pihak yang dijadikan sasaran tembak, tak ada kesalahan apapun (kecuali bahwa dia punya suara dan opini berbeda).

Mengapa?

Riset para pakar mendeteksi, terjadi operasi buzzer yang sistematis. Dengan pabrik fitnah berbayar. Guna menghabisi lawan politik. Fenomena ini meletup dahsyat di Pilkada Jakarta 2017. Hari ini, sisa praktik busuk itu, masih potensial terjadi.

Gerakan para pendengung, berbasis media sosial (multi platform), bergerak banyak pola.

Modus kerja utama adalah menggaungkan api isu, atau amplifikasi pesan, agar viral dan memenangkan tagar.

Mereka mengkapitalisasi pesan rekayasa (fitnah, dusta, penyesatan, pembodohan). Membanjiri dunia Medsos dengan algoritma negatif.

Celakanya konten dusta itu, juga disertai dengan kriminalisasi terhadap lawan.

Kalangan politik yang dianggap berseberangan, diracuni, dibongkar privasinya, atau populer disebut doxing.

Jika aksi doxing ini lemah, kurang nendang, maka dilanjutkan dengan gertakan ancaman. Semisal dilaporkan, atau rumah diteror, atau sanak keluarga ditakut-takuti. Ini disebut blaffing.

Formulasi pesan hoax oleh buzzer memang sulit teratasi.

Bukan hanya membanjiri publik dengan disinformasi (pesan keliru yang sengaja diglorifikasi, dibesar-besarkan). Juga penyesatan opini. Sekaligus melampiri pesan dengan kebencian (hate speech), labeling (memberi nama buruk), bullying (merisak, olok-olok), stereotyping (menjelek-jelekan identitas kelompok), dan juga stigmatisasi (cap jelek kelompok tertentu).

Secara keseluruhan gerakan politik buzzer punya daya rusak dahsyat. Jauh lebih mengerikan tinimbang agitasi dan propaganda.

Lantaran sasaran serang, media yang digunakan, target audien, serta feedback dan respons, lebih luas dan massif. Serta melibatkan mesin besar, dan diramaikan keterlibatan pengikut fanatik yang tak terdidik dengan baik.

Hingga kini, tak ada solusi menyeluruh membendung buzzer. Kaidah hukum, aturan teknis, dan pencegahan penindakan, masih di aras kasus per kasus, sedikit dan kecil dampaknya. Tak melahirkan efek jera.

Sisa energi yang tersedia adalah gerakan bersama, meningkatkan kecerdasan bermedia.

Kemampuan literasi netizen wajib ditingkatkan. Pun dengan khalayak, harus bersama menyebar informasi official, resmi, dan berkualitas.

Kalangan sipil, kelas menengah, pegiat demokrasi, mahasiswa, LSM, praktisi media, ulama, profesional, jangan lelah bersuara. Dalam kontestasi Pilkada, kemampuan kita terbatas untuk membendung operasi buzzer.

Namun kita berkesempatan mencerdaskan publik. Dengan informasi Pilkada yang benar, sahih, serta berkualitas. Semoga.

*Ditulis oleh: Endi Biaro. Anggota KPU Kabupaten Tangerang.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart