Oleh: Endi Biaro*
PUNCAK pencapaian manusia, kata Sastrawan Albert Camus, adalah menjadi: legenda.
Di posisi ini, seorang besar yang akan kita perbincangkan, yakni almarhum Abuya Uci Turtusi, bahkan telah menjadi legenda sejak beliau masih bersama kita.
Abuya Uci telah menggenapkan dengan nyaris sempurna. Semua aspek untuk selalu kita kenang dengan kagum. Beliau legendaris.
Legenda secara harfiah dikaitkan dengan aneka kelebihan, keunggulan, kedahsyatan, dan luar biasa. Legenda juga kerap berdengung abadi lantaran sulit ditandingi.
Baca Juga
- Melalui Program Kemitraan, Serikat Pedagang Kecil dan BTN Inisiasi Akses Permodalan
- Serdang Wetan Wakili Banten Dalam Ajang Pemilihan Desa Brilian Bacth 1 Tingkat Nasional
Ukuran yang kita sebut di atas, melekat paripurna dalam sosok beliau.
Kedalaman ilmu, kematangan akhlak, konsistensi sikap, dan keikhlasan berdakwah, begitu kuat terpancar. Beliau lantas menjadi panutan ribuan (atau mungkin jutaan) ummat.
Daya tarik beliau membetot bukan hanya kalangan santri dan kaum terdidik. Melainkan nyaris semua pihak terpesona. Pengajian rutin di Cilongok yang dihadiri puluhan ribu jama’ah, juga rekaman video Youtube yang diakses ribuan orang, jadi penanda bahwa Abuya adalah figur kharismatik.
Daya tarik yang kuat itu, tak semata soal keramaian ummat.
Melainkan pada dampak lebih luas. Fatwa beliau diikuti. Pendapatnya diamini. Dan lebih mencengangkan, ceramah beliau yang kritis dan menohok pemerintahan, tetap saja diterima. Bahkan oleh kalangan pejabat dan pendukung rezim.
Agak jarang ulama yang berani keras terhadap penguasa lalu sama sekali tak diganggu.
Dalam konteks ini, ulasan atau tausiyah beliau sungguh menjadi oase. Di saat ummat kehilangan petunjuk, beliau hadir memberi jawaban pasti. Tidak plin-plan, dan tidak memihak penguasa. Di saat ummat gelisah atas fenomena Islamophobia, beliau tanpa ragu memberikan pembelaan. Semisal pendapatnya tentang Habib Bahar dan Habib Rizieq Shihab.
Pejabat level Presiden, Menteri, Gubernur, hingga Ketua RT, kerap disentil, dan mengundang gelak tawa jamaah. Tetapi tak ada ledakan kemarahan ataupun balas dendam.
Sangat mungkin, semua pihak menerima petuahnya karena disampaikan secara ikhlas. Tanpa tendensi politik.
Lantas semua keagungan itu, apakah sirna seketika?
Dalam khasanah sosial budaya di tingkat lokal Banten, ada ungkapan bahwa Ulama adalah paku bumi, menjadi tiang pancang yang mengendalikan keseimbangan kosmis (jagat kehidupan), bukan hanya untuk sesaat, tetapi abadi.
Dalil ini menyiratkan, bahwa Ulama adalah pelindung utama kehidupan. Sejauh Allah SWT belum menghadirkan kiamat, maka para paku bumi atau para Ulama akan tetap ada.
Dengan demikian, kepergian beliau bukan berarti pelindung ummat juga lenyap. Melainkan hanya berganti peran.
Abuya Uci Turtusi jelas telah menjadi paku bumi, sekaligus juga adalah energi yang menyalakan api Islam. Secara fisik beliau telah mangkat. Tetapi berbagai warisan penting, akan selalu hadir.
Murid-murid Abuya, para Ulama pengikut, khasanah ilmu yang telah diajarkan, berbagai fatwa yang sudah disampaikan, dan nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah, akan terus menyala.
Jika memakai kaidah hukum fisika, maka kita berharap energi dakwah Sang Abuya tidak hilang, melainkan hanya berubah bentuk.
Energi, kata hukum fisika, tidak musnah melainkan hanya berganti wadah.
Abuya secara fisik tak lagi bersama kita. Namun warisan keilmuan, keteladanan, dan ajaran-ajarannya, akan selalu ada. Insya Allah.
*Penulis adalah Pegiat Literasi.