Oleh: Ginanjar*
SUDAH dua dekade berlalu sejak pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, pada 7 September 2004. Namun, hingga hari ini, dalang dibalik peristiwa tragis tersebut belum tersentuh hukum.
Pembunuhan Munir bukan hanya kejahatan terhadap individu, tetapi juga simbol kegagalan negara dalam melindungi warganya. Khususnya mereka yang berani menyuarakan kebenaran.
Kasus pembunuhan Munir telah melalui empat periode pemerintahan yang berbeda. Namun tak satu pun berhasil menuntaskan kasus ini secara menyeluruh.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai masa jabatannya di tengah gempuran kasus ini. Ia memang membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus Munir, namun hasil dari laporan tersebut masih menjadi misteri hingga kini.
Baca Juga
- Menimbang Dampak Positif dan Negatif Pembangunan PIK 2
- September Kelam, BEM se-Tangerang Gelar Aksi Solidaritas
Laporan TPF yang disusun pada era SBY seharusnya menjadi pijakan penting dalam mengungkap siapa dalang sebenarnya di balik pembunuhan Munir. Namun, meskipun ada bukti kuat yang terungkap, proses hukum yang dijalankan terkesan setengah hati. Beberapa pelaku hanya dihukum ringan atau bahkan dibebaskan.
Masuk ke era Presiden Joko Widodo, harapan publik untuk keadilan semakin memudar. Alih-alih melanjutkan upaya pengungkapan, pemerintahan Jokowi malah terlihat mundur dalam penanganan kasus ini.
Publikasi laporan TPF yang seharusnya menjadi langkah transparansi justru ditolak oleh Kementerian Sekretariat Negara. Terkesan abai.
Keputusan untuk tidak mempublikasikan laporan TPF menimbulkan pertanyaan besar terkait komitmen pemerintah dalam menuntaskan kasus ini.
Padahal, laporan tersebut bisa menjadi kunci untuk membuka tabir misteri yang masih menyelimuti pembunuhan Munir. Bahkan, SBY sendiri pernah mengatakan bahwa kasus ini adalah ujian sejarah bagi bangsa Indonesia.
Tidak hanya itu, di era Jokowi, tidak ada langkah konkret dari kepolisian maupun Kejaksaan Agung untuk memburu para aktor intelektual di balik pembunuhan Munir. Para pelaku yang seharusnya bertanggung jawab masih bebas berkeliaran, sementara keadilan bagi Munir dan keluarganya masih jauh dari harapan.
Pengabaian terhadap kasus Munir tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga memberikan sinyal negatif bagi perlindungan aktivis HAM di Indonesia. Para pejuang hak asasi manusia menjadi semakin rentan ketika negara tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai.
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi memang sempat mengungkapkan niat untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM berat, termasuk kasus Munir. Namun, pernyataan tersebut hanya sebatas retorika tanpa diikuti oleh langkah nyata. Ketidakseriusan ini menimbulkan kekecewaan di kalangan aktivis dan masyarakat luas.
Dua dekade berlalu, dan pembunuhan Munir masih menjadi luka yang belum sembuh. Luka ini akan terus menganga jika negara tidak segera mengambil langkah tegas untuk menuntaskan kasus ini. Munir bukan sekadar korban, tetapi simbol dari perjuangan melawan ketidakadilan.
Berbagai organisasi hak asasi manusia baik di dalam maupun luar negeri terus mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus ini. Tekanan internasional juga datang dari berbagai negara dan lembaga yang menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lemah, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kekuasaan.
Publik Indonesia, terutama generasi muda, juga mulai menunjukkan kepedulian terhadap kasus ini. Mereka mengingatkan bahwa keadilan untuk Munir adalah keadilan untuk semua. Aksi-aksi solidaritas terus digelar, menuntut agar pemerintah tidak menutup mata terhadap kasus ini.
Di tengah situasi yang semakin suram, harapan akan keadilan tidak boleh padam. Munir Said Thalib telah mengorbankan hidupnya untuk memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Sudah menjadi kewajiban negara untuk menegakkan keadilan bagi Munir dan semua korban ketidakadilan lainnya.
Kasus Munir bukan hanya ujian bagi pemerintahan Jokowi, tetapi juga ujian bagi seluruh bangsa Indonesia. Apakah kita akan terus membiarkan pelanggaran HAM berlalu tanpa hukuman, atau kita akan berdiri tegak dan memperjuangkan keadilan?
Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi sejarah tidak akan melupakan siapa yang berdiri di pihak yang benar, dan siapa yang memilih untuk diam.
*Ditulis oleh: Ginanjar. Kepala Bidang Hukum dan HAM Cabang (p) Kabupaten Tangerang.