Oleh: Yani Suryani*
AKHIR-AKHIR ini berita tentang wakaf menjadi trend. Di waktu yang sama, pemerintah pun melirik potensi wakaf.
Kata wakaf sendiri berasal dari Bahasa Arab, artinya menahan. Yaitu menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah milikkan. Sementara dalam Bahasa Indonesia, kata itu sudah diserap. Memiliki arti benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian yang ikhlas.
Pemerintah menilai potensi wakaf di Indonesia masih cukup besar. Tercatat potensi wakaf secara nasional sebesar Rp217 triliun atau setara 3,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Baca Juga
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, Indonesia sedang menuju pusat produsen halal dunia. Dengan potensi wakaf yang besar ini mengajak seluruh masyarakat untuk memulai instrumen surat berharga negara syariah (SBSN) atau sukuk.
Dijelaskan pula, instrumen sukuk memiliki jangka waktu dua sampai enam tahun. Artinya aset yang diwakafkan tidak diserahkan selamanya kepada pemerintah.
Apapun itu, yang jelas Islam sangat mendorong umatnya agar gemar untuk berzakat, infak, sedekah, dan wakaf. Kegiatan wakaf dapat ditemui dengan berbagai bentuk, tapi yang paling kita sering temukan ialah wakaf berupa tanah.
Tanah wakaf biasanya digunakan dengan tujuan untuk kepentingan umum. Seperti pembangunan masjid, tempat pemakaman umum, atau untuk lembaga pendidikan.
Islam sebagai sebuah aturan yang maha sempurna, mengatur banyak tata cara dan hal-hal yang berkaitan hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah). Serta hubungan manusia dengan manusia (muamalah).

Kesempurnaan Islam telah dijelaskan dalam Al Qur’an surat al Maidah ayat 3 yang turun saat Rasul sedang melakukan Haji Wada (perpisahan) yang artinya sebagai berikut:
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu”.
Kesempurnaan Islam seharusnya bisa menjadi sebuah renungan: Apakah aturan yang diambil oleh kita hanya karena dalam pikiran kita itu ada maslahat? Bukankah Allah menurunkan kesempurnaan aturan karena Allah tahu manusia itu serba terbatas.
Sementara, jika membuat aturan sendiri, akan dipenuhi dengan kepentingan dan serakahnnya manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam H.R. Bukhori No. 6439 dan Muslim No. 1048, yang artinya sebagai berikut:
“Sungguh, seandainya anak Adam memiliki satu lembah dari emas, niscaya ia sangat ingin mempunyai dua lembah (emas). Dan tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah”.
Jika wakafnya saja banyak sekali maslahat, apalagi Islam kafahnya itu sendiri. Jangan alergi Islam dan aturannya. Setiap muslim harus bangga dengan aturan sempurna yang berasal dari dzat maha sempurna.
Ayo kita kenali dan pelajari Islam secara paripurna, agar kita mendapatkan keberkahan. Bukankah Islam itu rahmat bagi semua? Wallahu A’lam bisshowab.
*Penulis adalah Pendidik di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Tangerang.