
PULUHAN tahun lalu, teori komunikasi massa meramal suatu era, yang disebut retribalisasi.
Dari kata re, artinya mengulang, dan tribal (purba, kampungan, tak beradab).
Rincinya, teori itu menyebut, media massa (dan Medsos hari ini), hanya akan menggiring manusia ke perilaku tribal dan barbar. Hilang rasionalitas dan turun daya nalar.
Terbukti kini. Ribuan kasus, tiap saat, tak henti, perihal kelakuan manusia yang bermain Medsos, lalu terjerembab pada perilaku nirahlak, anti kesantunan, melawan adab kesopanan.
Mengapa?
Baca Juga
- Warga Cisoka Demo Bupati, Minta Pemagaran Akses Usaha Dihentikan
- Pasar Sentiong Raup Ratusan Juta Setiap Bulan, Warga Desa Tobat Gigit Jari
Setidaknya ada tiga teori besar yg menjelaskan perilaku agresif kontroversial para pengguna Medsos.
Pertama, menyorot sisi interaksi bebas.
Basis komunikasi individu kini bebas dari segala aturan. Relasi sosial dibangun suka-suka. Maka bermunculanlah tradisi flexing (main pamer), exhibisionis (ingin menonjol), notorious (biar jahat asal tenar), dan social climbing (pansos, panjat sosial, ingin naik kelas).
Kedua, interaksi komunikasi yang bermotif mendominasi, menguasai, menaklukan, mengolok-olok, dan menghabisi. Medsos akhirnya menjadi medium penaklukan.
Yang kaya menghipnotis yang miskin (via konten hedonis, umbar kemewahan, gaya hidup glamor dan sejenisnya). Yang berkuasa membuat mesin Medsos untuk memprovokasi lawan, mengintimidasi oposisi, dan menghamburkan agitas propaganda.
Yang tenar dan beken, menggarap Medsos untuk mendominasi panggung dunia maya, dengan konten rupa-rupa. Mulai dari mengerjai orang (prank), gimmic permainan, iming-iming hadiah (give away), atau garapan video apa saja yang penting viral.
Lalu perspektif ketiga, Medsos di kalangan awam atau manusia biasa, selesai sebagai media permainan. Mengahmburkan hasrat terpendam, untuk bisa eksis, diakui, dilirik, dipuja. Dalam dunia nyata, mereka biasa-biasa saja. Di dunia maya, ingin menjadi apa saja.
Tak ayal, polah tingkah di Medsos menjadi banal (kasar, cetek, tak mutu, dan vulgar).
Justru yang menonjol adalah kalangan awam menjadi “bayi besar”, yang bertingkah asal meniru, asal ikut, asal diperhatikan.

Istilah bayi besar ini cocok untuk menggambarkan publik luas yang gagal berlaku bijak dalam menggunakan Medsos.
Mereka secara fisik dan biologis sudah matang dan dewasa. Tetapi perlilaku psikologis labil, mudah tersugesti, tidak mandiri bersikap, dan adaptasi autoplastis.
Inilah masalah utama. Kaum awam gagal melalukan adaptasi cerdas terhadap Medsos. Mestinya yang dilakukan adalah adaptasi alloplastis, yakni mengendalikan Medsos sesuai dengan jati dirnya.
Bukan sebaliknya, terpengaruh adaptasi autoplastis, yakni mereka justru dipengaruhi, disugesti, diracuni, untuk ikut-ikutan, gaya-gayaan, dan jadi korban.
Dalam konteks ini, maka insiden racun Medsos, yang menimpa Dirut PD Pasar di Kabupaten Tangerang, tak perlu ditanggapi histeris, over dramatik, dan gegabah.
Beliau hanya contoh perilaku bayi besar yang tersugesti. Ikut-ikutan gegayaan. Tetapi tentu tak permanen, hanya sesekali. Bukankah ada jiwa kekanak-kanakan dalam diri kita?
Beliau hanya gagal beradaptasi. Mestinya dia memanfaatkan Medsos untuk memperkuat posisi sebagai pejabat publik. Bukan ikut meracuni publik dengan konten norak.
Jadi, sejatinya, ini hanya cacat kecil. Karena di tingkat pejabat publik, masih banyak kelakuan yang lebih barbar dan sadis. Serta merugikan rakyat banyak. Mestinya perilaku ini yang ditindak tegas.
*Ditulis oleh: Endi Biaro. Pegiat literasi.