TANGERANG | Mentari pagi mulai beranjak naik ketika Mang Nasmar ke luar rumah, keliling, berjualan tape singkong. Hal itu ia lakukan setiap hari.
Nasmar sudah membuat dan menjual singkong sejak tujuh tahun lalu. Meneruskan giat orang tuanya, yang juga memiliki usaha serupa.
Saat berbincang dengan Vinus, Nasmar mengaku, bahan baku singkong yang masih mudah didapat, membuat usahanya tetap bertahan hingga saat ini.
Baca Juga
Nasmar tinggal di Tigaraksa. Belajar cara membuat tape singkong langsung dari sang Ayah. Hingga kini, ia dan Rumsiah sudah bisa mandiri. Produksi tape sendiri.
“Produksi sendiri dari tahap awal sampai proses penjualan. Dibantu istri,” ujarnya saat berbincang dengan Vinus, pada Minggu, (23/05).
Ayah 5 anak ini mengaku, bahan bakunya didapat dengan membeli singkong satu kebun dari petani. Biasanya sekali beli bisa untuk 3 minggu. Bahkan sampai 1 bulan.
Makanan fermentasi tradisional ini menjadi camilan masyarakat untuk disantap langsung atau diolah menjadi bahan makanan lain. Seperti pembuatan kue, tape goreng, kolak, dan sebagainya.
Singkong yang biasa diolah Mang Nasmar menjadi tape, merupakan singkong manis yang berwarna kekuningan.
Nasmar sedikit menjelaskan, tape singkong warna kekuningan lebih enak ketimbang singkong putih. Sebab singkong kuning dagingnya lebih halus tanpa ada serat-serat kasar.
Ketika ditanya cara pembuatannya, ia mengatakan, pertama-tama singkong yang sudah dibersihkan kulitnya, dikukus hingga matang sekitar 30 menit.
Kemudian didinginkan dan ditaburi bubuk ragi. Hal ini dilakukan untuk resapan fermentasi pada singkong hingga menjadi tape.
Fermentasi biasanya dilakukan di dalam keranjang bambu. Namun, sekarang bisa juga menggunakan keranjang plastik. Lalu beri alas daun pisang, diamkan pada suhu ruang selama 2-3 hari.
Setiap hari ia berkeliling di Kecamatan Tigaraksa. Tape singkong yang dijual Nasmar, dihargakan 10 ribu. Setiap hari, ia bisa menghabiskan 35 Kg.
“Alhamdulillah ada aja yang membeli. Kalau untungnya, rata-rata dapat 100-150 ribu setiap hari,” ungkapnya.
Satu hal yang nenarik, Nasmar mengaku selain mencari penghasilan, jualan tape singkong juga untuk melestarikan makanan tradisional. Seperti yang telah dikenalkan orang tua dahulu.
Hal itu yang sedang ia rawat. Melestarikan camilan tradisional. Agar generasi saat ini dan yang akan datang tidak melupakan keberadaannya.
Namun demikian, keberadaan tape singkong seakan tersingkirkan dengan jajanan modern. Atau makanan cepat saji.
Menurut Nasmar, tidak sedikit generasi saat ini kurang mengenal tape singkong. Bahkan ada yang belum pernah mencicipi.
“Selain cari penghasilan, jualan tape itung-itung ikut melestarikan budaya aja, Kang,” ujar Nasmar sembari melayani tape singkong.
Pria asal Tigaraksa ini mengatakan, penyebab makanan tradisional kurang diminati oleh anak muda saat ini ialah adanya digitalisasi. Keberadaan tape singkong tidak mendapat ruang untuk promosi lewat media online.
“Kalau masarin lewat aplikasi online, siapa yang mau beli,” ujarnya sembari tertawa kecil.
Nasmar berharap, pemerintah daerah mulai melirik para pelaku makanan tradisional. Sebab, tanpa ada uluran tangan pemangku kebijakan, makanan tradisional lambat laun akan terlupakan.
“Semoga saja pemerintah lebih peduli terhadap pelaku makanan tradisional. Entah dengan cara apa, yang jelas makanan seperti tape singkong ini terus dilestarikan,” pungkasnya. |We