PANDEGLANG | Peristiwa pemulangan paksa tiga siswa berprestasi dari Sekolah Dasar Islam Terpadu Mathla’ul Anwar (SDIT ICMA) akibat telat bayar SPP telah memicu reaksi keras dari masyarakat.
Tak terkecuali Pengamat Sosial, Eko Supriatno. Menurutnya, peristiwa tersebut sangat memalukan bahkan mencerminkan elitisme dalam dunia pendidikan.
Eko Supriatno menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar yang tidak seharusnya terhalang oleh masalah apa pun termasuk finansial.
Baca Juga
- Debat Perdana Pilbup Pandeglang Digelar 6 November 2024
- Forum Dosen Desak Polres Pandeglang Hentikan Kriminalisasi terhadap Rektor UNMA Banten
“Anak-anak tidak seharusnya menjadi korban dari kesulitan ekonomi orang tua mereka. Memulangkan siswa hanya karena masalah biaya mencerminkan ketidakadilan yang mendalam pada sistem pendidikan kita,” ucap Eko saat dihubungi Vinus pada Rabu, (30/10).
Ia menambahkan, pendidikan seharusnya inklusif, memastikan semua anak terutama yang kurang mampu memiliki akses yang sama.
“Perhatian utama haruslah pada dampak psikologis yang dialami anak-anak. Bukan pada urusan konflik internal keluarga atau masalah administrasi,” ujar Eko.
Kondisi ini lanjut Eko, bisa menciptakan stigma negatif dan merusak kepercayaan diri pada anak. Mereka ini seharusnya mendapat dukungan dari berbagai pihak bukan malah sebaliknya dipulangkan karena masalah keuangan.
Tak hanya itu, Eko bahkan mengkritik keras kebijakan yang mendorong terjadinya elitisme dalam pendidikan.
“Praktik seperti ini menciptakan kasta dalam sistem pendidikan. Di mana hanya siswa dari keluarga mampu saja yang mendapatkan akses ke pendidikan yang berkualitas. Ini tidak dapat diterima,” tegasnya.
Ia mendesak pihak sekolah dan yayasan untuk mencari solusi yang lebih baik, seperti pengembangan program beasiswa dan penyesuaian biaya bagi siswa yang membutuhkan.
“Masukan ini bukan hanya untuk sekolah, tapi juga pemerintah daerah. Kiranya Pemda harus berperan aktif dalam memastikan pendidikan yang adil bagi semua. Alokasi anggaran untuk pendidikan perlu ditingkatkan, dan layanan yang diberikan tanpa diskriminasi,” harapnya.
Hal senada juga disampaikan Bupati Pandeglang, Irna Narulita. Ia menyayangkan peristiwa memulangkan siswa yang dilakukan oleh pihak sekolah.
Menurut Irna Narulita, terkait persoalan tersebut, pihaknya telah berupaya melakukan mediasi kedua belah pihak. Namun yayasan tetap bersikukuh menuntut pembayaran tunggakan.
Bupati Irna bahkan mengancam untuk memindahkan dokumen siswa ke sekolah baru jika yayasan tidak merespons permintaan pemindahan Dapodik.
Dengan perhatian publik yang semakin meningkat, diharapkan langkah nyata dapat diambil untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adil di Banten dan seluruh Indonesia.