
DALAM memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia yang mendominasi tidak hanya laki-laki, tetapi juga kaum perempuan ikut andil dan terlibat langsung. Pergerakan pada masa Penjajahan misalnya, bertujuan untuk memajukan status perempuan pribumi di bidang sosial, politik, dan pendidikan.
Dengan begitu, perempuan Indonesia mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perjuangan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Peran Organisasi Perempuan Sebelum Kemerdekaan
Flashback pada tahun 1912, muncul organisasi perempuan pertama di Indonesia, bernama Putri Mardika. Organisasi ini memiliki tujuan dalam pendidikan dan kesejahteraan hidup perempuan di Indonesia. Tokoh-tokoh Putri Mardika kerap menggunakan gagasan-gagasan R.A. Kartini sebagai dasar pergerakan organisasi.
Tokoh utama penggerak organisasi Putri Mardika ialah Sabaruddin, R.A. Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo.
Baca Juga
Lalu pada sisi lain, Kartini Fonds atau Dana Kartini merupakan organisasi pergerakan perempuan yang didirikan pada 27 Juni 1913 di Kota Den Haag, Belanda. Dalam buku Kartini: Sebuah Biografi (1983) karya Soeroto, Kartini Fonds didirikan atas prakarsa dari penganut kebijakan Politik Etis bernama Ny. C. Th. Van Deventer.
Kartini Fonds bertujuan untuk memajukan pendidikan kaum perempuan bumiputra melalui program pendirian sekolah-sekolah alternatif bernama Schol Kartini.
Pasca kemerdekaan, gerakan perempuan masih terus menunjukan eksistensinya. Dibuktikan dengan munculnya gerakan gerakan perempuan seperti: Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), lalu Gerakan Wanita Taman Siswa, Aisyiyah, Wanita Utomo, dan lain sebagainya.
Sejarah telah mencatat peran perempuan dalam mengawal bangsa dan negara dari prakemerdekaan hingga saat ini sudah tidak diragukan lagi. Perempuan selalu terlibat dalam setiap proses yang dihadapi oleh negara ini.
Perempuan Memiliki Hak yang Sama Dengan Laki-Laki
Sudah sejak lama Indonesia mengesahkan undang-undang terkait dengan Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan melalui UU No.68 Tahun 1958.
Undang-undang yang ditetapkan tanggal 17 Juli 1958 tersebut tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita. Dalam memori penjelasan di bagian Penjelasan Umum menyebutkan bahwa “Undang‐undang Dasar Sementara Republik Indonesia menjamin hak‐hak yang sama dengan kaum pria bagi kaum wanita dalam segala lapangan.
Perempuan Indonesia pada waktu sekarang mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan apapun saja dalam segala hal di pemerintahan. Juga hak untuk memilih dan dipilih.
Kaum perempuan dalam semua badan‐badan yang dipilih secara umum telah dijalankan dan telah terbukti, oleh sebab itu Pemerintah Republik Indonesia dapat menyetujui maksud dan tujuan Konvensi Hak‐hak Politik Kaum Wanita yang pada dasarnya sejalan dengan Undang‐undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Tentu ini adalah kesempatan besar bagi kaum perempuan Indonesia untuk berkiprah di ruang publik. Khususnya di lembaga politik dan birokrasi. Tanpa ada tekanan dan diskriminasi dari siapapun dan dari manapun, sebab semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam kontestasi politik sehingga terbentuk kesetaraan gender dalam demokrasi.
Kesetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki pada ranah domestik dan publik serta bebas dari diskriminasi merupakan salah satu unsur dari demokrasi.
*Penguatan Keterlibatan Perempuan Dalam Politik Afirmasi*
Keterwakilan Perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam pencalonan sebagai anggota DPR dan DPRD untuk pertama kalinya diterapkan pada pemilu 2004, setelah disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1):
Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Upaya afirmasi mendorong keterwakilan perempuan di parlemen melalui penerapan kuota minimal 30% untuk calon legislatif perempuan pada pemilu 2004 masih belum optimal. Karena masih jauh dari harapan yang hanya 11,24% anggota legislatif terpilih perempuan di DPR. Hal ini dikarenakan terpinggirkannya posisi calon perempuan pada nomor urut terbawah dalam pencalonan.
Untuk itu gerakan perempuan mendorong diberlakukannya regulasi untuk memperbaiki dan melengkapi upaya afirmasi yang sudah dilakukan. Maka pada pemilu 2009 ditambahkan aturan zipper system, selain aturan kuota minimal Calon Legislatif perempuan 30%.
Affirmative action ini dibuktikan dengan lahirnya undang-undang paket politik yang digunakan dalam pelaksanaan pemilu 2009, yaitu UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Pada periode 2004-2019 keterwakilan perempuan masih di bawah 30% dari jumlah kursi parlemen yang tersedia. Padahal jika kita melihat jumlah penduduk di Indonesia masih lebih besar perempuan dibanding laki-laki, bahkan angka DPT pemilih perempuan tahun 2024 lebih tinggi perempuan.
Maka dari itu, perempuan harus mengupayakan kesempatan ini dan memaksimalkan dengan baik apabila merasa layak dan mampu terjun di dunia politik. Selain itu, masyarakat pun harus mendukung keterwakilan perempuan, terutama bagi kaum hawa.
*Ditulis oleh: Muhamad Yunus. Kader HMI Insan Pembangunan Cabang (p) Kabupaten Tangerang*