Oleh: Alfin Putrawan, S.H., CIL.
PEMERINTAH Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat penambahan kasus terkonfirmasi positif. Ada sebanyak 585, sehingga totalnya menjadi 28.818 orang.
Sampai hari ini, pasien sembuh menjadi 8.892. Setelah ada penambahan sebanyak 486 orang. Selanjutnya untuk kasus meninggal bertambah 23 orang, totalnya menjadi 1.721.
Gugus Tugas merinci akumulasi data positif Covid-19 di seluruh Indonesia. Untuk Provinsi Banten terkonfirmasi 965 kasus. Hal ini diketahui melalui keterangan resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Virus Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China. Pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan.
Di Indonesia sendiri sudah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus ini. Kurang lebih hampir lima pekan.
Dalam penanganan Covid-19, terutama untuk mengantisipasi lonjakan jumlah terinfeksi, ada banyak pendekatan. Salah satunya pendekatan yuridis. Hukum memiliki peran yang sangat penting dalam proses penanganan maupun upaya dalam pencegahan.
Dari segi regulasi, setidaknya Indonesia memiliki dua Undang-Undang dan satu Peraturan Pemerintah yang tegas mengatur spesifikasi penanganan wabah, yaitu UU No. 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Ketiga instrumen dimaksud secara regulasi belum terlalu lengkap diatur oleh peraturan teknis di bawahnya, terutama UU No. 6/2018. Hal ini tentu wajib menjadi prioritas pemerintah.
Ketentuan pada UU No. 4/1984 khusus dalam konsideran menimbang; memberikan landasan mengapa UU ini terbit. Salah satunya antisipasi perkembangan iptek dan lalu lintas internasional.
Sedangkan dalam pasal-pasalnya, merumuskan ketentuan strategis. Seperti mendefinisikan wabah penyakit menular sebagai:
“Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.” (Pasal 1 huruf a). Jenis penyakitnya apa saja bisa ditetapkan Menteri (Pasal 3).
Upaya penanggulangannya beraneka bentuk seperti pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita. Termasuk tindakan kekarantinaan. Selain itu, dapat melakukan penyuluhan kepada masyarakat Pasal 5 ayat (1).
Menariknya, Pasal 6 ayat (1) UU No. 4/1984 memuat aspek demokrasi dengan pernyataan “upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif”. Yang menarik lainnya pada Pasal 8 ayat (1) disebutkan, mereka yang mengalami kerugian harta benda akibat penanggulangan wabah dapat diberikan ganti rugi.
Agar regulasi efektif, Pasal 14 mengatur pula siapa saja yang menghalangi penanganan wabah baik sengaja maupun alpa dipidana (bila dengan sengaja diancam pidana paling lama satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta dan apabila alpa, pidana selama-lamanya enam bulan dan/atau denda setinggi-tingginya lima ratus ribu).

Apabila pilihan pemerintah melakukan kekarantinaan kesehatan maka diatur dalam UU No. 6/2018. Kekarantinaan kesehatan pada pintu masuk dan wilayah terpadu merupakan kewenangan pemerintah pusat, namun dapat melibatkan pemerintah daerah (vide: Pasal 5 ayat (1) dan (2)).
Penyiapan sumber daya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah (Pasal 6). Sedangkan Pasal 9 ayat (1) setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Jika tidak mematuhi atau menghalang-halangi diancam pidana paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah (Pasal 93).
Pada Pasal 15 diatur kekarantinaan kesehatan, tepatnya di pintu masuk dan wilayah serta tindakan kekarantinaan kesehatan dapat berupa isolasi, pembatasan sosial skala besar, pemberian vaksinasi dan sebagainya. Sedangkan dalam Pasal 49 dalam rangka mitigasi dibagi jenis karantina, ada karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selain itu membentuk satuan gugus tugas (satgas) untuk itu. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 10 UU No. 6/2018.
Kemudian dalam pertimbangannya, pemerintah memilih opsi lockdown yang dalam istilah regulasi Indonesia lebih dikenal karantina wilayah. Pembatasan sosial berskala besar dengan cirinya tampak pada Pasal 59 ayat (2) UU No. 6/2018 yakni (a) peliburan sekolah dan tempat kerja; (b) pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Hanya memang, pemerintah dituntut untuk melakukan kajian cepat, tepat dan terukur melalui perspektif multi disiplin. Seperti kesiapan pangan, stabilitas ekonomi, dampak sosial budaya serta keamanan. Hal ini juga diamanatkan pada Pasal 49 UU No. 6/2018.
Tentu para ahli baik praktisi maupun teoritis sangat diharapkan kontribusinya dalam memberikan pertimbangan matang agar pemerintah dapat memutus akurat dalam mematahkan lingkaran persebaran pandemi Covid-19.
Optimalisasi transparansi akses informasi. Pemerintah perlu diapresiasi setiap saat mengumumkan pasien yang positif Covid-19 diikuti dengan peta persebaran.
Sosialisasi, edukasi, dan penyuluhan masif dengan memanfaatkan pelbagai wahana, termasuk teknologi digital yang terukur dan tepat. Partisipasi publik harus terus dibangun.
Saat ini, mulai korporasi, perguruan tinggi, dan ormas turut bergerak guna melakukan beberapa upaya untuk mengurangi beban sesama yang terdampak Covid-19 dengan pemberian bantuan. Ini adalah contoh baik saat pandemi.
Publik wajib patuh mengikuti panduan yang dibuat pemerintah, seperti: Panduan ibadah Ramadan di tengah pandemi Covid-19, e-book apa yang harus dilakukan masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19, tips mengurangi risiko tertular virus corona, panduan isolasi diri, tips mencuci tangan yang benar, protokol bepergian dan keluar rumah.
Jika pilihannya karantina wilayah, maka penegakan hukum harus tegas. Ini saatnya negara berwibawa. Termasuk pula memastikan lalu lintas hoaks dan informasi menyesatkan ditindak secara hukum. Semua tindakan harus terukur, merawat publik untuk selalu optimistis, berpikir positif dan pelajaran atas pandemi Covid-19.
Dalam upaya merespon dampak sosial dan ekonomi akibat pendemi Covid-19, Potensi gelombang dirumahkan, terkena PHK dan diputus kontrak kerjanya buruh tentu sangat besar. Hal ini menjadi landasan utama mengapa LBH PW GP ANSOR Banten launching posko pengaduan, pada Rabu, (08/4).
Kehadiran posko pengaduan terdampak Covid-19 ini merupakan bentuk ikhtiar LBH PW GP ANSOR Banten dalam membantu masyarakat hadapi pandemi virus corona. Terutama buruh pabrik. Agar buruh atau pekerja dapat terdata dengan baik, perlu hadir sebuah central aduan.
Selanjutnya dari data tersebut akan berupaya memberi informasi sekaligus sebagai katalisator bagi stakeholder dan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan berkaitan Program Jaring Pengaman Sosial. Kami menghimpun laporan dari kawan-kawan Buruh. Setidaknya sekitar 23 ribuan dari berbagai perusahaan terdampak Covid-19.
*Penulis adalah Ketua LBH PW GP ANSOR Banten.