DPRD Pandeglang kembali mendapat sorotan tajam. Kali ini berasal dari ulah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pandeglang, YT (43) ditetapkan tersangka kasus pencabulan.
Dia jadi tersangka setelah dilaporkan berbuat cabul terhadap seorang perempuan pada April 2022 lalu.
Laporan untuk dirinya masuk ke Polres Pandeglang dengan Nomor LP/B/126/IV/2022/SPKT/Res. Pandeglang/Banten tanggal 22 April 2022 tentang tindak pidana perbuatan cabul.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Pandeglang mengaku sudah mengantongi petunjuk penting perkara kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh oknum anggota DPRD Pandeglang berinisial YT. Saat ini Kejari tinggal menunggu kelengkapan berkas dari kepolisian untuk menaikan kasus tersebut ke tahap P21.
Baca Juga
Celakanya, penangangan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan YT cenderung minim. Terhadap tersangka hanya diberikan sanksi teguran lisan yang tentu saja jauh dari harapan publik. Perilaku tidak terpuji yang dipertontonkan wakil rakyat itu cenderung melukai rakyat. Seorang anggota DPRD sudah semestinya tidak melakukan perbuatan tercela dan melanggar kode etik.
Info dari media bahwa tersangka, selalu absen rapat paripurna DPRD Pandeglang. Dia tercatat sudah enam kali tidak mengikuti rapat paripurna.
Akibat perbuatan indisplinernya tersebut, bukankah seharusnya BK segera mengirimkan surat teguran kepada yang bersangkutan. Bila perlu, jika terus kembali mangkir dalam rapat paripurna, BK harus segera mengusulkan untuk dilakukan pengganti antarwaktu (PAW).
Bukankah dalam regulasi DPRD sangat jelas, jenis sanksi yang diberikan kepada DPRD yang dinyatakan bersalah berdasaran putusan MKD:
a) sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis; b) sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaam pada alat kelengkapan DPRD atau pemberhentian dari jabatan pemimpin DPRD atau pemimpin alat kelengkapan DPRD dan diumumkan kepada publik; c) sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat tiga bulan, atau pemberhentian sebagai anggota.
Kini bola liar sudah berada di tangan lembaga yang bersangkutan. Namun, diharapkan kasus ini tidak dipolitisasi dengan transaksi politik. Kasus ini harus dapat diselesaikan dengan tuntas untuk memulihkan martabat dan integritas anggota DPRD.
Publik memang meragukan lembaga yang menangani benar-benar bisa bertindak transparan dan independen. Lembaga bentukan DPRD dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan karena yang diadukan adalah anggota DPRD.
Kredibilitas YT sebagai wakil rakyat memang dalam ujian berat. Seorang wakil rakyat dalam posisi apa pun adalah panutan dan teladan bagi masyarakat.
Dennis F Thompson (1987) dalam buku Political Ethics and Public Office menegaskan, para wakil rakyatbukan warga negara biasa.
Mereka mewakili kekuasaan atas nama daerah, juga merupakan representasi dari daerah. Dengan posisi itu mereka harus profesional dengan memperhatikan sisi etis dari seluruh tindakan.
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Dan, Tuhan adalah sumber kebenaran tertinggi.
Hal ini peting karena tindakan wakil rakyat akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rakyat akan santun dan hormat kepada wakil rakyat yang menghargai diri sendiri.
Dengan begitu, mereka mampu menghargai warga. Ini merupakan garansi bahwa legitimasi politik dan hukum lebih rendah dibandingkan legitimasi moral etik.
Mereka yang pantas memimpin harus diakui memiliki perilaku yang baik, terhormat, dan layak menjadi panutan.
Bahkan William Bruce (2001) dalam Classics of Administrative Ethics, mencatat setidaknya ada beberapa kualitas moral seorang pejabat publik.
Itu antara lain terdapat komitmen kuat untuk menjalankan amanat yang dipercayakan masyarakat berdasarkan kualitas etik yang berlaku.
Kejujuran yang diterima sebagai nilai keutamaan dalam semua agama menjadi dasar bagi seorang wakil masyarakat menjalankan tugasnya. Integritas pribadi tercermin dalam kesungguhan, keinginan dan kesediaan bertindak dalam melayani masyarakat.
Mengundurkan Diri adalah Tindakan Bijak
Seorang wakil rakyat, yang tidak mau memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kejujuran sebagai landasan etik, akan luntur martabatnya di muka masyarakat.
Mereka berkuasa tetapi tidak mempunyai legitimasi. Mereka seperti badan namun tidak memiliki jiwa.
Kita mempertanyakan kualitas dan moral pejabat oknum anggota DPRD yang tidak mau menjunjung tinggi nilai etik sebagai pegangan tertinggi. Kualitas moral macam itu layak digugat karena tidak sesuai pendapat sebagian besar orang.
Pelanggaran demi pelanggaran tidak hanya membuat publik jengah, tetapi juga apatis.
Di negeri dengan jabatan diperebutkan bahkan diperjualbelikan ini, memang sangat sulit mendorong seorang pejabat bersikap jantan.
Kualitasnya masih diukur, bahwa untuk meraih jabatan itu melalui proses yang panjang. Lupa bahwa ketika jabatan semakin tinggi seperti pohon tinggi yang kian kencang sehingga tantangan semakin berat. Kita berharap, lembaga yang menangani benar-benar mendorong pengusutan kasus ini demi martabat wakil rakyat di masa depan.
Tanpa dipandu moral, seorang wakil rakyat hanya akan menjadi boneka kekuasaan. Mereka tidak mampu memindai kebenaran dan keadilan menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari. Pelayanan tanpa moral dan etika tidak mampu menyejahterakan orang lain. Kepemimpinan tanpa etika tidaklah berarti dalam hidup bersama.
Pengadilan etik mestinya lebih ditakuti ketimbang pengadilan umum karena berujung legitimasi. Buah pengabdian cenderung mudah melenceng untuk mencari kekuasaan dan keuntungan bukan untuk masyarakat.
Konstruksi peradilan etik mendesak bagi pejabat daerah. Ini bukan semata-mata untuk menghukum mereka yang bersalah, melainkan agar lembaga-lembaga daerah dan pemerintahan benar-benar memiliki kredibilitas yang dapat diandalkan.
Dengan adanya peradilan etik, pelanggaran-pelanggaran serupa tidak akan terulang di masa mendatang. Kasus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pandeglang, YT (43) ditetapkan tersangka kasus pencabulan adalah contoh pelajaran berharga bagi pejabat dan wakil rakyat di Pandeglang. Merekalah yang pertama-tama harus menjadi pelopor penegakan etika.
Mengundurkan diri adalah tindakan bijak agar kedudukannya tidak mengganggu lembaga lain dalam melakukan pemeriksaan.
Lagipula, mengundurkan diri menjadi pelopor perilaku ksatria dan terpuji sekaligus memulihkan kepercayaan lembaga DPRD yang terpuruk.
Ditulis oleh: Eko Supriatno. Dosen dan Penulis Buku “Menggugat Kinerja Birokrat”.