Oleh: Yani Suryani*
USAI gaduh penolakan legalisasi Miras, Jokowi mencabut Perpres. Tentu setelah melalui berbagai pertimbangan dengan banyaknya penolakan atas pelegalan tersebut.
Sebelumnya, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 yang di dalamnya mengatur produksi Miras, sudah sesuai dengan kearifan lokal. Dapat meningkatkan wisatawan asing untuk datang ke Indonesia.
Namun, beberapa hari setelah dikeluarkannya Perpres soal legalisasi Miras tersebut, masyarakat Indonesia membuat tagar penolakan. Ramai diberbagai media, baik Facebook, Instagram, Twitter, maupun status pribadi WhatsApp.
Baca Juga
- Warga Tangerang Minta Kepastian Jadwal Pilkades, Kepala DPMPD: Perbupnya Sudah Keluar
- Gelar Kompetisi Akustik, Tangerang Volume Angkat Karya Musisi Lokal
Hal itu merupakan bentuk ketidaksetujuan masyarakat. Bahkan bisa dibilang kemarahan umat Islam dengan adanya Perpres yang sudah dikeluarkan.
Saat ini, meski Perpres tersebut sudah dicabut, tetapi hati umat Islam sudah terlanjur dilukai. Sekali terluka akan tetap terluka.
Pencabutan bukan berarti obat yang mampu menenangkan. Justru dari sinilah terlihat ketidakkonsistenan pemerintah dalam menentukan apa yang harus diputuskan.
Di sisi lain, Indonesia sebagai negera muslim terbesar di dunia. Jumlah penganut agama Islam mencapai 86,7 % dari 267.670.543 penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2018. Data ini menunjukkan luar biasa potensi umat Islam yang ada di Tanah Air ini.
Islam sebagai sebuah agama yang diyakini oleh lebih dari setengah penduduk Indonesia mengatur tentang makanan dan minuman. Terkait dengan minuman keras, sangat dilarang bagi umatnya untuk meminum minuman yang memabukkan.
Kurikulum yang digunakan di Madrasah Ibtidaiyah pun menjelaskan terkait materi halal haram makanan dan minuman. Pelajaran Fikih kelas VI (Enam ) semester ganjil, menjelaskan haram meminum Miras dan bahaya ketika kita mengkonsumsi sesuatu yang telah dilarang oleh Allah.

Kebijakan pemerintah saat melegalkan miras beberapa waktu lalu, jelas-jelas bertolak belakang dengan apa yang menjadi keyakinan sebagian besar rakyat Indonesia.
Seharusnya, jumlah muslim yang begitu besar, setidaknya bisa menjadi pertimbangan terkait legalisasi miras ini.
Jika ingin meningkatkan jumlah wisatawan asing, apakah dengan cara yang justru membuat muslim Indonesia seolah tidak dihargai?
Berbusa-busa kita menjelaskan kepada murid saat belajar materi tentang minuman dan makanan yang halal dan haram. Namun, justru pemerintah memberikan ruang yang besar terhadap sesuatu yang sudah jelas diharamkan oleh Allah.
Bukankah sudah banyak fakta terkait Miras yang banyak menimbulkan keresahan. Bahkan belum lama ini terjadi penembakkan di sebuah kafe di Cengkareng. Dilakukan oleh Bripka CS dalam kondisi mabuk, menembak empat orang di dalam kafe tersebut.

Jika kita mau jujur pada diri sendiri, apakah kita rela dengan dalih meningkatkan investasi tapi ada aturan yang kita langgar. Yaitu aturan dari sang kholik.
Minuman keras atau khamr, jelas dilarang untuk dikonsumsi umat muslim, karena dapat memabukkan. Jika memang pemerintah ingin mengambil manfaat dari miras tersebut, bukankah jelas bahwa mudharatnya jauh lebih besar di banding manfaatnya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 219 yang artinya sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang meraka nafkahkan. Katakanlah; “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya supaya kamu berpikir”.
Pemerintah dan para penguasa negeri ini seharusnya berfikir jernih dengan aturan dan kebijakan yang dikeluarkan. Bukankah mereka berjanji akan menjadi wakil rakyat dan memperjuangkan aspirasi saat berkampanye? Lalu sebenarnya aspirasi siapa yang sebenarnya mereka perjuangkan? Wallahua’lam.
*Penulis adalah Pendidik di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Tangerang.