Oleh: Eko Supriatno
“Saya nggak tahu prestasinya apa ya? Belum ada, mohon maaf, belum ada yang menonjol yang ada malah permasalahan yang semakin rumit”
(Rakyat Pinggiran)
KEPALA daerah adalah seseorang yang ditugaskan untuk mengemban amanah warganya.
Tentunya tidaklah ringan, seluruh harapan warga dibebankan kepada kepala daerah untuk masa lima tahun mendatang.
Melihat ekspektasi dari masyarakat yang tinggi, semestinya kepala daerah atau wakil kepala daerah selama masa jabatan tidak diberikan cek kosong.
Sederhananya, kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mempunyai kinerja bagus dapat dinilai berhasil dalam pemerintahannya. Sebaliknya, jika mereka berkinerja buruk maka kepemimpinannya boleh dikata gagal.
Berhasil atau gagal adalah rapor dari kepala daerah dan wakil kepala daerah selama memimpin. Termasuk menjadi pertimbangan bagi masyarakat apabila pejabat itu maju kembali dalam pilkada (incumbent).
Baca Juga
Ironisnya, persoalan prestasi incumbent seringkali dilupakan publik. Di daerah yang tingkat kematangan demokrasi warganya masih rendah, faktor subyektif (misal money politics) lebih dominan mempengaruhi keterpilihan calon kepala daerah dibanding faktor obyektif (misal track record atau prestasi calon).
Kekuasaan dan uang yang mereka miliki, mereka dapat membungkus ketidakmampuan mereka dengan iklan yang sangat masif sebagai seolah-seolah pemimpin atau pejabat negara yang berhasil.
Padahal sesungguhnya mereka belum melakukan sesuatu yang signifikan, yang setimpal dengan segala fasilitas yang mereka dapatkan sebagai pemimpin dan penyelenggara negara.
Pameo “Kerja Nyata, tapi Boong! tersebut sedikit-banyak telah menjadi bukti bahwa sebagian besar kepala daerah memang telah melakukan kebohongan-kebohongan dalam pernyataan-pernyataan mereka. Kepandaian atau kelihaian dalam melakukan kebohongan bahkan dijadikan sebagai salah satu ukuran kehebatan dalam berpolitik mereka.
Maksud penulis dari pameo “Kerja Nyata, tapi Boong!” adalah:
Pertama, untuk mengklaim sesuatu yang sesungguhnya tidak dikerjakan. Kepala daerah yang miskin prestasi kinerja dan ingin tetap mempertahankan kuasa biasanya berusaha untuk membangun citra dengan melakukan iklan di berbagai media massa. Citra yang ada sama sekali bukan berdasarkan fakta, melainkan sekadar buah rekaan belaka.
Kedua, untuk berapologi agar tidak terlalu disalahkan ketika tidak mampu menyelesaikan atau mengatasi permasalahan yang terjadi, terutama permasalahan yang menyangkut kepentingan publik luas. Biasanya kebohongan jenis ini dilakukan dengan cara beretorika, misal: “Ini yang harus kita tuntaskan dengan bersama kita pasti bisa!”. Retorika ini agar masyarakat tidak menangkap pokok permasalahan yang seharusnya dibicarakan.
Titik Tolak Kerja Nyata
Secara normatif, titik tolak penilaian kinerja kepala daerah dan wakil kepala daerah berawal dari visi dan misi yang diusung sejak mereka mendaftarkan diri mengikuti Pilkada. Visi misi merupakan ‘’tonggak perjuangan’’ pemimpin daerah.
Persoalannya adalah visi yang diusung masih sebatas kata-kata yang setiap orang dapat saja melakukannya. Visi sangat mudah untuk diungkapkan tetapi sulit untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata. Dalam politik praktis, seringkali politisi menjadikan visi sebagai lipservices (buah bibir) tanpa makna baik bagi perubahan kehidupan masyarakat.
Visi hanya dijadikan sebagai senjata sesaat untuk meraih simpati rakyat. Seringkali visi yang diusung hanya disusun begitu saja tanpa kajian mendalam, pertimbangan rasional, dan tidak berdasarkan data-data riil yang terkait dengan kehidupan masyarakat dan pembangunan.
Visi biasanya disusun sepihak oleh para kepala daerah, gagasan dan idenya belum tentu searah dengan kebutuhan masyarakat sebagai sasaran dari visi itu.
Visi misi harus menjadi fokus perhatian utama yang wajib diwujudkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga, ketercapaian visi dan misi menjadi salah satu parameter penting untuk melihat keberhasilan pemimpin daerah.
Visi misi yang pada awalnya diajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak jarang hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan administratif calon semata.
Terbukti, visi misi calon sering hanya berupa dokumen instan yang disusun dalam tempo amat singkat, miskin dukungan data, tidak sustainabel, dan tidak rasional.
Karakter visi misi seperti itu jelas akan menyulitkan kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta birokrasinya menjalankan roda pemerintahan berdasar fokus dan sasaran yang jelas.
Atau dalam bahasa pesimistis, pemerintahan dengan visi dan misi yang ‘’tidak jelas’’ akan sulit diharapkan memiliki arah pembangunan yang jelas pula. Pada tataran praktis, visi dan misi dijabarkan lebih lanjut melalui kebijakan dan program teknis.
Baca Juga
- Peringati Kemerdekaan Sekaligus Muharram, Warga Perumahan Kalanganyar Gelar Lomba dan Santunan
- Akademisi: Kebijakan APBD Pandeglang Tidak Pro Rakyat
Pemerintah sendiri telah memiliki PP Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang di dalamnya terdapat aspek-aspek penilaian evaluasi kinerja.
Urusan pemerintahan wajib di antaranya pelayanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketenteraman, sosial, tenaga kerja, pangan, dan perhubungan. Sedangkan urusan pemerintahan pilihan seperti pertanian, kelautan, perikanan, perdagangan, dan perindustrian. Dari perspektif kinerja penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan indikator kinerja utama atau indikator kinerja kunci untuk menilai kinerja dipandang perlu.
Dengan kata lain, hasil evaluasi tersebut bisa menjadi refleksi keberhasilan kepemimpinan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Urusan-urusan yang langsung berhubungan dengan masyarakat akan langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. Misalnya, bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan bagaimana kualitas pendidikan di daerahnya, atau kondisi jalan dan fasilitas umum lainnya.
Visi Kerja Nyata!
Harapan di Pilkada 2020, semoga tidak terdapat kepala daerah yang hanya menjadikan visi sebagai alat untuk meraih simpati belaka namun benar-benar menjadikan visi sebagai bagian dari ideologis yang melekat dalam diri, pikiran, dan hati sehingga nantinya dapat diwujudkan dalam tindakan nyata.
Mewujudkan visi dalam “kerja nyata” dibutuhkan karakter visioner dari pemilik visi itu. Karakter visioner yang dimaksud adalah karakter yang bertanggungjawab terhadap visi yang dimiliki. Karekter ini akan mendorong seseorang untuk berusaha sekuat tenaga menjadikan visi dalam tindakan nyata, menggerakan seluruh komponen organisasi untuk berperan aktif dalam menjalankan program pembangunan, dan memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas.
Upaya untuk mengukur “Kerja Nyata” kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu ditradisikan, agar para pemimpin daerah terjaga akuntabilitasnya. Tidak ada jalan lain, sebagai langkah awal instrumen dan perangkat untuk menilai kinerja harus diperjelas dan dipertegas terlebih dahulu.
Semoga karakter visioner ini dimiliki para calon kepala daerah, sehingga pesta demokrasi tidak sekadar pertarungan politik lima tahunan semata namun memberi arti baik untuk kesejahteraan masyarakat seutuhnya. Semoga!
*Penulis adalah Pengamat Politik UNMA Banten.